Baru-baru ini dua nama perusahaan asuransi besar yang juga termasuk dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersangkut kasus gagal bayar yang nilainya diprediksi mencapai nilai yang fantastis, yakni lebih dari Rp 20 triliun. Kasus gagal bayar ini mengingatkan kita pada kasus yang lumayan mirip sebelumnya, yakni kasus dari Narada dan Minna Padi Asset Manajemen yang kala itu gagal membayar uang investor karena mengelola dananya ke instrument investasi yang sangat tinggi risikonya. Apakah kasus Jiwasraya dan Asabri ini merupakan kasus yang serupa?
Daftar Isi
Sekilas tentang Jiwasraya dan Asabri
- Jiwasraya
Jiwasaraya atau dengan nama sah perusahaannya – PT Asuransi Jiwasraya (Persero) – merupakan perusahaan asuransi jiwa tertua di Indonesia yang merupakan awal dari terbentuknya perusahaan asuransi jiwa milik Belanda NILLMIJ van 1859, yang akhirnya dinasionalisasikan dan menjadi milik negara pada tahun 1960. Setelah beberapa kali mengalami perubahan nama, PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) merupakan satu-satunya perusahaan Asuransi Jiwa milik pemerintah Republik Indonesia (BUMN) dan saat ini merupakan perusahaan Asuransi Jiwa lokal terbesar di Indonesia.
Asuransi Jiwasraya merupakan perusahaan asuransi jiwa tertua di Indonesia yang merupakan cikal bakal dari perusahaan asuransi jiwa milik Belanda NILLMIJ van 1859, yang akhirnya dinasionalisasikan dan menjadi milik negara pada tahun 1960. Setelah beberapa kali mengalami perubahan nama, PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) merupakan satu-satunya perusahaan Asuransi Jiwa milik pemerintah Republik Indonesia (BUMN) dan saat ini merupakan perusahaan Asuransi Jiwa lokal terbesar di Indonesia.
Jiwasraya memiliki beragam produk baik individu maupun grup/kumpulan dan selalu mengalami perkembangan dan peningkatan, disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat. Untuk memberikan layanan prima bagi pemegang polisnya, saat ini Jiwasraya memiliki Kantor Pusat Bancassurance & Strategi Aliansi, Kantor Pusat Program Manfaat Karyawan, 14 Kantor Wilayah, 71 Kantor Cabang, dan 494 Unit Kerja Area dengan dukungan 15 ribu agen diseluruh Indonesia.
- Asabri
PT ASABRI (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Perseroan Terbatas dimana seluruh sahamnya dimiliki oleh negara yang diwakili oleh Menteri Negara BUMN selaku Pemegang Saham atau RUPS berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2003 tentang Pelimpahan kedudukan, tugas dan kewenangan Menteri Keuangan pada Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Jawatan (Perjan) kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, menurut jenis usahanya PT ASABRI (Persero) merupakan asuransi jiwa, sedangkan menurut sifat penyelenggaraan usahanya PT ASABRI (Persero) bersifat sosial, sehingga dapat dikatakan bahwa PT ASABRI (Persero) adalah perusahaan asuransi jiwa yang yang bersifat sosial yang diselenggarakan secara wajib berdasarkan undang-undang dan memberikan proteksi (perlindungan) finansial untuk kepentingan Prajurit TNI, Anggota Polri dan PNS Kemhan/Polri. Penyelenggaraan kegiatan asuransi PT ASABRI (Persero) menekankan pada prinsip dasar asuransi sosial yaitu kegotongroyongan, dimana “yang muda membantu yang tua, yang berpenghasilan tinggi membantu yang berpenghasilan rendah dan yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi”.
Kronologis Kasus Jiwasraya dan Asabri
Dua perusahaan pelat merah ini diduga telah terjadi korupsi yang dapat merugikan negara lebih dari Rp 20 triliun. Setelah kasus Jiwasraya terkuak ke public di sekitar Oktober 2019 lalu, di Januari 2020 ini kembali terkuak kasus yang serupa, yang dialami oleh perusahaan asuransi milik BUMN juga, yakni PT Asabri.
Sebelumnya, Jiwasraya gagal bayar klaim polis mencapai Rp 12,4 triliun. Tak hanya itu, Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK menemukan penyimpangan pengelolaan investasi asuransi Jiwasraya pada 2010-2019. Potensi kerugian negara diduga Rp 13,7 triliun. Dugaan nilai korupsi di Asabri, bahkan disebut tak jauh berbeda dengan kasus Jiwasraya. Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan atau Menko Polhukam Mahfud Md, nilainya di atas Rp 10 triliun.
Saking besarnya kasus gagal bayar yang membelit Jiwasraya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun mengklasifikasikan kasus ini berskala gigantic atau sangat besar sehingga memiliki risiko sistemik.
Terkait kasus Jiwasraya sendiri, diprediksi telah mulai sebenarnya pada 2006, berikut kronologisnya :
- 2006
Ketika itu BPK menyebut Jiwasraya memanipulasi laporan keuangan di tahun 2006, ketika itu Jiwasraya mencatatkan laba yang kemudian disinyalir laba semu karena ditemukan adanya rekayasa akuntansi.
- 2008
BPK memberikan opini disclaimer (opini tidak menyatakan pendapat) terhadap laporan keuangan Jiwasraya pada tahun 2006-2007 lantaran penyajian informasi cadangan yang tidak dapat diyakini kebenarannya. Defisit perusahaan Jiwasraya kala itu semakin melebar, yakni Rp 5,7 triliun pada 2008 dan defisit Rp 6,3 triliun pada tahun 2009.
- 2000 – 2012
Jiwasraya mencatatkan surplus sebesar RP 1,3 triliun pada akhir 2011, yang didapat dari menggunakan skema reasuransi. Disebutkan oleh Kepala Biro Perasuransian Isa Rachmatawarta, bahwa metode reasuransi merupakan penyelesaian sementara terhadap seluruh masalah, karena keuntungan operasi dari reasuransi hanya berupa keuntungan semu saja dan tidak memiliki keuntungan ekonomis. Kemudian pada Mei 2012 ketika Jiwasraya mengajukan perpanjangan reasuransi lagi, pengajuan tersebut ditolak oleh Isa dengan alasan laporan keuangan Jiwasraya pada 2011 mencerminkan angka yang tidak wajar.
- 2014
Dengan kondisi keuangan yang dapat dikategorikan tidak sehat, Jiwasraya masih menggelontorkan dana sponsor untuk klub sepakbola asal Inggris – Manchester City.
- 2018
Jiwasraya membukukan kerugian sebesar Rp 15,3 triliun dan sampai dengan September 2019 diperkirakan rugi sebesar Rp 13,7 triliun. Posisi pada November 2019 Jiwasraya diperkirakan mengalami negatif ekuitas sebesar Rp 27,7 triliun.
Direktur Pengawasan OJK, Ahmad Nasrullah kala itu sampai menerbitkan surat pengesahan cadangan prei 2016 sebesar Rp 10,9 triliun. Pada bulan yang sama, Dirut Jiwasraya dan Direktur Keuangan Jiwasraya dicopot. Sejak penurunan direksi inilah mulai banyak yang mencairkan JS Saving Plan mereka karena mencium kebobrokan direksi yang lama.
Pada bulan Oktober – November 2018 kemarin barulah tekanan likuiditas Jiwasraya mulai terkuak. Perusahaan Jiwasraya mengumumkan tidak dapat membayar klaim polis jatuh tempo nasabah JS Saving Plan yang kala itu sebesar Rp 802 miliar.
- 2019
Kementrian BUMN yang sekarang dipimpin Erick Thohir mengaku melaporkan kecurangan yang dilakukan oleh Jiwasraya ke Kejaksaan Agung. Hal itu dilakukan setelah pemerintah melihat secara rinci laporan keuangan perusahaan yang dinilai pemerintah tidak transparan.
Penyidik dari Kejaksaan Agung sendiri menyebut adanya pelanggaran prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi yang dilakukan oleh Jiwasraya, di mana Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan bahwa Jiwasraya banyak menempatkan 95 dana investasi pada aset-aset berisiko.
Untuk PT Asabri sendiri juga disinyalir akar masalahnya kurang lebih sama, yakni penempatan dana investasi di aset-aset yang berisiko tinggi. Saham-saham milik PT Asabri mengalami penurunan yang sangat dalam pada tahun 2019 kemarin, di mana penurunan saham ini terjadi di sekitar 90% portfolio Asabri. Sebut saja saham PT Alfa Energi Investama Tbk (FIRE) yang terkoreksi sebesar 95,79% di tahun 2019 lalu ke level Rp 326, atau ada juga saham PT SMR Utama (SMRU) yang turun sebesar 92,31% ke angka Rp 50 pada tahun 2019 lalu.
Source: liputan6.com
Dampak Kasus Jiwasraya dan Asabri
Jadi, apakah kasus dari Jiwasraya dan Asabri ini terjadi karena memang perekonomian dunia sedang mengalami perlambatan, adanya perang dagang, dan karena adanya kemungkinan terjadi resesi di tahun 2020?
Jawabannya adalah, tidak.
Pengelolaan dana yang dilakukan semuanya tergantung lagi kepada gaya investasi pengelolanya, dalam beberapa kasus, hal tersebut tergantung gaya investasi fund manager atau manajer investasinya. Dalam kasus Jiwasraya dan Asabri ini, tentu saja hasil yang terjadi semuanya tergantung kepada yang mengatur atau mengelola dana nasabah di dua perusahaan pelat merah tersebut.
Memang, dampak dari kasus yang ditimbulkan oleh dua perusahaan pelat merah milik pemerintah ini mungkin tidak akan dirasakan langsung oleh kita sebagai retail investor. Tetapi, hal ini dapat mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Bagaimana tidak, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) memprediksi kerugian negara yang disebabkan oleh kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh Asabri mencapat Rp 10 – 16 triliun, di mana kasus PT Jiwasraya sendiri merugikan negara sebesar RP 13,7 triliun.
Dalam kasus ini kita dapat belajar beberapa hal :
- Sebagai orang yang mencari asuransi, alangkah baiknya kita mengerti polis dari produk yang akan kita beli, baik dari siapapun penjualnya. Bisa dari penjual swasta, maupun pemerintah.
Karena sebagai konsumen, kita memiliki hak untuk bertanya detail terkait produk yang ditawarkan kepada kita. Sebagai contohnya, misalnya kita ingin membeli polis asuransi dari produk milik Jiwasraya. Kita memiliki hak untuk menanyakan metode berinvestasi ataupun alokasi dana yang akan dilakukan oleh Jiwasraya terhadap dana Anda – dan itu bukan merupakan hal yang dilarang.
- Sebagai Investor, alangkah baiknya apabila kita mengetahui apa yang kita beli dan telah dianalisa secara tajam, sehingga kita tidak membeli kucing dalam karung.
Jadi, kita tidak membeli sembarang saham saja tanpa memikirkan alasan di balik pembelian tersebut. Kalau kita sembarang membeli saham tanpa memikirkan alasannya, itu namanya spekulasi dan bukan berinvestasi. Setelah melakukan hal tersebut tentu saja kita harus sudah siap dengan konsekuensinya. Sama halnya dengan nilai saham-saham yang dipegang oleh Jiwasraya dan Asabri yang nilainya ada yang mengalami penurunan sampai lebih dari 90%, yang kemudian menyebabkan nilai portfolio investor megnalami penurunan secara keseluruhan.
Kesimpulan
Kasus yang menimpa Jiwasraya dan Asabri memang menimbulkan kehebohan yang cukup besar. Hal ini karena kedua perusahaan ini merupakan perusahaan pelat merah, yang biasanya digadang-gadang sebagai perusahaan yang “cukup aman”. Tetapi, kenyataannya kedua perusahaan asuransi ini gagal membayar klaim polis asuransi dan merugikan negara mencapai lebih dari Rp 20 triliun.
Kasus ini terjadi bukan karena adanya dampak dari melemahnya ekonomi dunia, ataupun karena meningkatnya tensi perdangangan yang disebabkan oleh Amerika Serikat – China, ataupun karena adanya potensi resesi di tahun 2020. Hal ini terjadi karena adanya kesalahan pengelolaan dana nasabah yang seharusnya digunakan untuk diinvestasikan ke instrument investasi. Tetapi, yang mengelola dananya malah menempatkan dana tersebut ke aset-aset yang berisiko tinggi tanpa memikirkan konsekuensinya.
Hasilnya, dana yang diletakkan di aset-aset investasi yang berisiko tinggi tadi nilainya turun dalam mencapai bahkan lebih dari 90%.
Oleh karena itu, beberapa pelajaran yang dapat kita ambil adalah:
- Sebagai orang yang mencari asuransi, alangkah baiknya kita mengerti polis dari produk yang akan kita beli, baik dari siapapun penjualnya. Bisa dari penjual swasta, maupun pemerintah.
- Sebagai Investor, alangkah baiknya apabila kita mengetahui apa yang kita beli dan telah dianalisa secara tajam, sehingga kita tidak membeli kucing dalam karung.
Semoga dengan pelajaran yang terjadi kali ini dapat membuat kita menjadi lebih bijak dan telilti lagi dalam pengambilan keputusan terkait asuransi dan berinvestasi ke depannya.
###
Info: