Rivan Kurniawan

Apakah Laporan Keuangan Bisa Dimanipulasi ?


Terakhir diperbarui Pada 1 July 2023 at 12:47 pm

Sebagai seorang investor, Laporan Keuangan merupakan senjata kita untuk menilai apakah sebuah perusahaan layak untuk diinvestasikan atau tidak. Hanya saja, ada kalanya ternyata sebuah Perusahaan melakukan praktik yang di luar kewajaran, yaitu melakukan praktik manipulasi laporan keuangan. Dan jika kita berbicara mengenai manipulasi laporan keuangan di level global. Kemungkinan besar ingatan kita akan tertuju kepada kasus manipulasi laporan keuangan Enron Corporatio, karena sejauh ini kasus Enron adalah kasus manipulasi laporan keuangan yang paling dahsyat. Apa yang dapat kita petik dari pelajaran kasus manipulasi laporan keuangan Enron ini? Dan kasus manipulasi apa sajakah yang pernah terjadi di Indonesia ?

 

Sekilas Mengenai Enron

Enron Corporation adalah perusahaan energi, komoditas, dan services company yang beroperasi di Houston, Texas – Amerika Serikat. Enron terbentuk pada tahun 1985 dari hasil merger antara Houston Natural Gas Company dan Internorth (sebelumnya bernama Northern Inc).

 

 

Cikal bakal Enron bermula dari Northern Natural Gas Company (1930) yang memiliki cita-cita ingin menjadi penyuplai gas alam terbesar di Amerika. Setelah 17 tahun beroperasi, akhirnya di tahun 1947 Northern Inc mencatatkan sahamnya di New York Stock Exchange (NYSE). Pencatatan ini membuka akses yang lebih besar bagi Northern ke sumber pembelanjaan untuk mendanai strategi pertumbuhan melalui akuisisi dalam dua dekade ke depan (1950 – 1970). Akhirnya pada tahun 1970 an, Northern menjadi investor utama dalam mengembangkan jaringan pipa Alaska. Dengan selesainya jaringan pipa tersebut, Northern dapat memasok gas alam dari cadangan yang besar di Kanada, dan pada tahun 1980 an Northern merubah namanya menjadi Internorth, Inc.

Selama beberapa tahun berikutnya, Internorth semakin berkembang dan memperluas lingkup operasi di luar industri gas alam. Internorth mulai berekspansi ke bisnis eksplorasi minyak, kimia, batubara, dan bahan bakar minyak. Pada tahun 1985, Internorth Inc kemudian mengakuisisi Houston Natural Gas Company seharga US$ 2.3 miliar. Dengan akuisisi tersebut Internorth Inc menguasai pipa gas alam sepanjang 40.000 mil dan mencapai cita-citanya di awal, yaitu menjadi perusahaan gas alam terbesar di Amerika Serikat. Barulah pada tahun 1986, Internorth Inc berubah nama menjadi Enron.

Enron sendiri mempekerjakan sekitar 20.000 karyawan dan merupakan salah satu perusahaan energi terbesar pada tahun 2000 an dengan pendapatan tahunan yang mencapai US$ 100.7 miliar. Sejumlah penghargaan bergensi juga diraih Enron, salah satunya dinobatkan sebagai “America’s Most Innovative Company” selama 6 tahun berturut-turut.

 

Transformasi Enron di 1990 – 2000

Setelah berubah nama menjadi Enron, Kenneth Lay (mantan chairman Houston Natural Gas) muncul sebagai eksekutif puncak Enron. Kenneth Lay meniru gaya kepemimpinan Internorth dengan strategi pertumbuhan pesat. Dalam operasionalnya, Kenneth Lay menunjuk Jeffrey Skilling sebagai pembantu utamanya di Enron.

Kenneth Lay dan Jeffrey Skilling sebagai Executive Enron

Selama tahun 1990 an, Skilling mengimplementasi transformasi Enron, dari penyuplai gas alam yang konvensional menjadi penghubung (intermediaries) antara produsen produk energi (gas alam dan listrik) dan pengguna akhir (end user).

Pada Laporan Tahunan nya di tahun 2000, Enron menjelaskan empat bisnis utamanya. Salah satunya adalah Enron Wholesale yang menyumbang 60% kenaikan dalam volume transaksi, terkait dengan perkembangan EnronOnline untuk pasar B2B secara pesat.  Tiga bisnis Enron lainnya adalah Enron Energy (unit yang menjual energi secara retail), Enron Transportation (pengelolaan jaringan pipa), dan Enron Broadband (perantara pengguna dan penyedia jasa broadband internet).

Pertumbuhan Enron di tahun 1995 – 2000 sangatlah cepat dan signifikan. Sebagai gambaran Enron di tahun 1996 membukukan Pendapatan US$ 13.2 miliar sementara di tahun 2000 Enron telah membukukan Pendapatan US$ 100.7 miliar atau telah bertumbuh lebih dari 7X lipat dalam waktu 5 – 6 tahun terakhir.

 

Praktik  Manipulasi Laporan Keuangan Enron

Sayangnya pertumbuhan tersebut tidaklah seindah yang tercantum di Laporan Keuangan nya. Karena ternyata sejumlah praktik manipulasi dilakukan oleh Enron untuk mempercantik Laporan Keuangan nya. Perlu dicatat juga bahwa meskipun berbagai jenis kecurangan di Enron telah berhasil diungkap. Namun tidak ada yang bisa menjamin bahwa tidak ada jenis kecurangan lainnya yang belum terungkap.

Berikut ini adalah berbagai jenis kecurangan yang dilakukan Enron. Setidaknya di bawah ini adalah kecurangan Enron yang Penulis coba rangkum dari berbagai sumber :

  • Enron juga menyalahgunakan perlakuan akuntansi dengan menggelembungkan nilai Mariner Energy (anak usaha Enron) dari US$ 185 juta menjadi US$ 366 juta. Dari perlakuan akuntansi itu terciptalah pendapatan fiktif sebesar US$ 181 juta.
  • Enron menjual arus kas di masa yang akan datang (future income streams) dengan nilai sekarang (present value) untuk menghasilkan sejumlah pendapatan fiktif lainnya. Hanya saja masalah timbul karena Enron lah yang menjamin future income streams tersebut dan menciptakan penjualan akuntansi tanpa disertai laba atau keuntungan yang nyata.
  • Enron meminjam dalam jumlah besar untuk dana operasional. Sebagian pinjaman ini (sekitar US$ 8 miliar) sengaja disalahklasifikasikan sebagai perdagangan energi berjangka (trades of energy futures). Dana pinjaman lainnya diberi judul “arus kas dari kegiatan perdagangan” (“cash flow from trading activities”).
  • Enron menyalahgunakan Special-Purpose Entities (SPE) di antaranya untuk menyembunyikan kerugian besar di anak perusahaan yang dimiliki Enron dengan menciptakan agreement tertentu untuk menutup kerugian anak perusahaannya.

 

Khusus untuk poin terakhir, yaitu penggunaan Special-Purpose Entities (SPE) adalah cara yang memungkinkan Enron untuk melakukan berbagai praktik manipulasi tersebut. SPE adalah bentuk badan hukum di Amerika yang mempunyai tujuan yang sangat spesifik, sempit, dan memiliki jangka waktu terbatas. Pada tahun 1990-an sendiri, ratusan korporasi besar di Amerika mendirikan SPE. Tujuannya adalah untuk menghindari munculnya utang jangka panjang di neraca korporasi. SPE merupakan sarana bagi korporasi besar untuk memenuhi kebutuhan belanja tanpa keharusan untuk melaporkan utangnya (debt avoidance).

Di antara korporasi-korporasi besar tersebut, Enron yang paling banyak menggunakan SPE. Enron sendiri mendirikan ratusan SPE. Namun yang membedakan adalah Enron tidak membatasi penggunaan SPE untuk tujuan pembelanjaan atau kegiatan pendanaan. Enron justru sering menggunakan SPE ini untuk melego aset yang memiliki kinerja buruk. Disclosure yang dibuat Enron membuat investor tidak mengetahui berapa sesungguhnya total kewajiban Enron.

Karena sulitnya menganalisa laporan keuangan Enron, begitu pula investor menjadi sulit untuk mempercayai integritas laba yang dilaporkan Enron dari waktu ke waktu. Banyak transaksi SPE yang berakibat menggelembungnya laba perusahaan yang tercatat dalam laba sebelum realisasi (unrealized gains) dari kenaikan harga saham Enron.

Faktor lain yang mendorong eksekutif Enron untuk mempercantik laporan keuangan nya adalah  kebutuhan untuk mempertahankan harga saham Enron pada harga tinggi. Banyak di antara perjanjian-perjanjian yang dilakukan Enron terkait harga saham yang harus “dijaga” ini. Jika harga saham jatuh di bawah harga yang telah ditentukan, ini menjadi pemicu bagi Enron untuk menambah jaminan berupa tambahan saham.

Di tahun 2001, akhirnya dibentuklah sebuah komite investigasi yang dipimpin oleh Willliam C. Powers (Dekan Fakultas Hukum University of Texas) untuk mengkaji transaksi SPE Enron yang besar. Setelah melakukan berbagai investigas, akhirnya Komite tersebut menerbitkan laporan yang cukup panjang yang membahas lika liku transaksi SPE Enron dan laba tidak wajar yang dihasilkannya. yang dikenal publik sebagai The Powers Report. Dalam laporan tersebut juga diungkapkan motivasi utama Enron adalah tumbuhnya kebutuhan akan modal yang amat besar ketika Kenneth Lay dan Jeffrey Skilling melakukan transformasi Enron dari penyuplai gas alam menjadi intermediaries yang berbasis internet. Seperti hal nya bisnis baru, bisnis berbasis internet Enron tidak segera menghasilkan arus kas bagi perusahaan. Untuk meyakinkan kreditur untuk menginvestasikan dana nya ke Enron, manajemen sadar mereka harus mempertahankan credit rating yang tinggi, dan oleh karena nya perusahaan harus merilis laporan keuangan yang spektakuler setiap periode.

Tidak lama kemudian, saham Enron kemudian terus merosot sepanjang 2001. Semua praktik manipulasi yang dilakukan untuk mempercantik laporan keuangan nya juga mulai bergoyang. Lebih parahnya lagi, aset yang dibeli banyak oleh Enron menderita kerugian besar. Enron terus-menerus menyuntikkan sumber dayanya untuk mempertahankan solvensi para SPE nya. Ditambah lagi, adanya dugaan insider trading oleh eksekutif Enron sendiri di dalam SPE nya. Belakangan diketahui Andrew Fastow mengantongi keuntungan US$ 30 juta dari investasinya di dalam SPE pada saat ia menjabat sebagai SFO Enron.

 

[Baca Lagi : Cara Membedakan Saham Murah dan Saham Murahan]

 

Harga saham yang terus anjlok, ditambah kerugian besar-besaran dari SPE yang besar, serta kekhawatiran yang diungkapkan Andersen (auditor Enron) memaksa eksekutif Enron untuk bertindak secara cepat. Manajemen Enron mengambil alih kendali dan kepemilikan dalam SPE bermasalah dan memasukkan laporan keuangan nya dalam laporan keuangan konsolidasi. Keputusan inilah yang akhirnya menimbulkan kerugian besar dalam laporan keuangan Enron.

 

Contoh Kasus Manipulasi Laporan Keuangan di Indonesia

Di Indonesia sendiri sempat ada beberapa kasus serupa meskipun skala nya juga tidak sebesar Enron. Misalkan PT Kimia Farma (KAEF) yang melaporkan laba bersih Rp 132 miliar untuk kinerja tahun buku 2001. Akan tetapi Kementrian BUMN menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan ada kemungkinan mengandung unsur rekayasa. Akhirnya Laporan Keuangan KAEF diaudit ulang dan pada laporan keuangan yang baru (restated) laba bersih yang disajikan hanya Rp 99.5 miliar atau 25% lebih rendah ketimbang yang dilaporkan di awal. Kesalahan penyajian berkaitan dengan persediaan yang timbul karena nilai yang ada dalam daftar persediaan digelembungkan. KAEF melalui direktur produksinya saat itu menerbitkan dua buah daftar harga persediaan (master price 1 Februari 2002 dan 3 Februari 2002), di mana daftar harga 3 Februari 2002 yang telah digelembungkan tersebut yang dijadikan dasar penilaian persediaan.

Tahun 2018 lalu, kita juga pernah mendengar berita tentang revisi Laporan Keuangan yang dilakukan Bank Bukopin (BBKP). Revisi yang dilakukan bukan hanya revisi untuk satu periode, namun juga untuk tiga periode (2015 – 2017). Hal tersebut yang kemudian membuat saham BBKP sendiri terkoreksi cukup dalam dari level harga 665 pada Feb 2018 ke 428 ketika artikel ini ditulis (harga terendah dalam 5 tahun terakhir). Berdasarkan laporan keuangan BBKP tahun buku 2017, diketahui Perusahaan telah merevisi laporan keuangan nya untuk tahun buku 2016. Hal ini menyebabkan laba bersih BBKP yang sebelumnya tercatat tumbuh 13.1% sebenarnya telah anjlok 81% dibandingkan dengan tahun 2015. Revisi dilakukan pada bagian pendapatan provisi dan komisi dari yang sebelumnya tercatat Rp 1.06 triliun menjadi Rp 317.8 miliar sehingga Pendapatan turun lebih dari Rp 743 miliar. Dikabarkan revisi ini dilakukan karena adanya modifikasi data kartu kredit di BBKP yang telah dilakukan lebih dari 5 tahun yang lalu. Jumlah kartu kredit yang dimodifikasi juga cukup besar, yaitu lebih dari 100.000 kartu. Penulis sendiri tidak akan membahas spesifik mengenai kasus BBKP ini, karena BBKP sendiri juga tengah melakukan klarifikasi ke BEI dan OJK.

Dan bahkan kasus yang jadi hot topic ramai di tahun ini, datang dari emiten penerbangan GIAA. Di mana publik, mengendus adanya kecurangan publik yang dilakukan oleh Direktur Utama GIAA yang diduga melakukan manipulasi dalam Laporan Posisi Keuangan (LPK) tahunan GIAA tahun 2018 kemarin. Dalam manipulasi tersebut, disebutkan bahwa GIAA telah mencatatkan keuntungan Laba Bersih sebesar USD 809.85 ribu atau sekitar Rp 11 Miliar per Desember 2018. Padahal di tahun 2017 yang lalu, maskapai pelat merah ini justru mengalami defisit yang cukup dalam hingga Rp 3 Triliun. Ditambah lagi dengan kondisi di tahun 2018 kemarin, pergerakan nilai tukar Rupiah pernah melemah hingga Rp 14.000,- per 1 Dollar AS dan juga harga minyak dunia yang sedang tidak stabil. Tentu dengan adanya pelemahan ekonomi tersebut seharusnya menjadi kendala untuk perusahaan di industri penerbangan. Namun sebaliknya GIAA justru mencetak keuntungan yang cukup tinggi.

Adapun fakta lain berdasarkan Laporan Keuangan GIAA di tahun 2018, terdapat perjanjian kerjasama antara GIAA dengan perusahaan penyedia jasa pemasangan WiFi, Mahata Aero Teknologi yang sebesar USD 239 juta. Namun sebenarnya, kerjasama itu tidak dimasukkan ke dalam Laporan Posisi Keuangan (LPK) 2018 lantaran kerjasama tersebut untuk 15 tahun ke depan. Apalagi dana tersebut belum diteriman oleh GIAA hingga akhir tahun 2018. Sebagai akibat dari manipulasi Laporan Keuangan tersebut, akhirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) menjatuhkan hukuman kepada GIAA. Bahkan tidak luput semua direksi juga dikenakan denda untuk masing-masing sebesar Rp 100 juta. Bersamaan dengan itu, akuntan publik yang menangani LPK GIAA juga langsung dibekukan hingga satu tahun kedepan.

 

 

Pelajaran Apa Yang Bisa Diambil dari Kasus manipulasi laporan keuangan Enron?

Ketika kita membaca Laporan Keuangan, seringkali kita hanya terpaku kepada kenaikan laba bersih saja, tanpa mengetahui gambaran keseluruhan dari perusahaan tersebut. Seringkali seorang investor menganggap bahwa kenaikan laba yang spektakuler akan menghasilkan kenaikan saham yang spektakuler. Padahal tidak selalu demikian. Malahan, kita justru sebaiknya mengkritisi kenaikan laba yang spektakuler tersebut : Dari mana sumber laba tersebut? Apakah kenaikan laba yang spektakuler tersebut dapat dijelaskan asal-usulnya? Ataukah hanya keuntungan di atas kertas saja?

Dari kasus Enron, kita juga bisa mempelajari bahwa ada sejumlah perusahaan yang laporan keuangan nya mudah dipahami, namun ada sebagian laporan keuangan yang sulit untuk dipahami dan juga terlihat tidak wajar (banyak catatan yang aneh dan kompleks, serta banyak trik akuntansi di dalamnya). Oleh karena itu, pilihlah perusahaan yang laporan keuangannya mudah kita pahami. Warren Buffett dalam hal ini pernah mengatakan bahwa ia hanya akan menginvestasikan uangnya kepada bisnis yang ia mengerti.

Dan yang ingin Penulis sampaikan di sini adalah, berinvestasilah pada bisnis yang benar-benar kita pahami bisnisnya. Laporan Keuangan yang terlalu rumit ditambah dengan pertumbuhan laba yang terlihat spektakuler, justru perlu dikritisi lebih lanjut sebelum kita menginvestasikan uang hasil kerja keras kita ke dalamnya. Jangan sampai kita berinvestasi pada perusahaan yang melakukan manipulasi laporan keuangan. Semoga bermanfaat…

 

Notes : Penyebutan nama di atas tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan pihak tertentu, melainkan untuk bahan pembelajaran semata

 

###

 

Info:

1
Pastikan rekan Investor tidak ketinggalan Informasi ter-update

Subscribe sekarang untuk mendapatkan update artikel terbaru setiap minggunya

keyboard_arrow_leftPrevious
Nextkeyboard_arrow_right

Komentar

Artikel Lainnya

Youtube Update

Our Social Media

Arsip Artikel