the beauty of investing 2

The Beauty of Investing (Part 1)


Terakhir diperbarui Pada 27 February 2019 at 2:17 pm

The Beauty of Investing 1 ( part 1 ) 

The beauty of investing 1. Selama Libur Lebaran kemarin ini, Penulis mencoba untuk flashback ke masa-masa di tahun 2008 – 2009 ketika masa awal Penulis mulai berinvestasi di pasar saham. Penulis coba merefleksikan kembali perjalanan Penulis pribadi di pasar saham. Investing atau investasi di pasar saham telah menjadi bagian dalam kehidupan Penulis pribadi, dan Penulis begitu mencintai pekerjaan sebagai seorang investor di pasar saham ini.

Jika dibandingkan dengan usia Penulis saat ini, berarti kurang lebih Penulis sudah menjalani 1/3 waktu dari kehidupan Penulis di Pasar Modal dan masih akan terus bertambah ke depannya. Catatan ini bahkan lebih Panjang dibandingkan dengan pekerjaan lain yang pernah Penulis jalani baik sebagai professional di perusahaan lain, maupun profesi lainnya yang pernah Penulis tekuni.

Dan kali ini, Penulis akan membagikan kepada Anda yang Penulis sebut dengan The Beauty of Investing. Yup, Investing ini sejatinya adalah pekerjaan yang sangat-sangat unik. Sama seperti Andrea Pirlo atau Andres Iniesta yang mencerminkan The Beauty of Football, Penulis juga menggambarkan investing sebagai pekerjaan yang setengah bersifat science dan setengah bersifat art.

Karena seperti yang dikatakan oleh Warren Buffett : “You don’t need to be a rocket scientist. Investing is not a game where the guy with 160 IQ beats the guy with 130 IQ”. Anyway, karena artikel nya mungkin terlalu panjang jika dijadikan satu artikel, maka Penulis akan membaginya ke dalam 2 artikel. Semoga bermanfaat…

 

Fact about The beauty of investing 1 

#1 Investing adalah hasil dari perpaduan Otak Kiri dan Otak Kanan.

Banyak investor yang berpendapat bahwa jika kita sudah mempelajari analisa fundamental ataupun analisa teknikal, maka kita akan mampu menaklukkan pasar. Dahulu Penulis mempercayai hal ini, sampai Penulis sendiri menemukan bahwa hal tersebut belum sepenuhnya benar. Ketika dulu Penulis mengawali perjalanan di pasar saham sebagai seorang trader yang lebih mengedepankan analisa teknikal, Penulis mempercayai bahwa pattern-pattern (Golden Cross, Dead Cross, Bullish Reversal, dll) adalah mutlak kebenarannya. Begitu pula ketika awal Penulis mempelajari analisa fundamental, Penulis mempercayai bahwa rasio seperti PER dan PBV adalah juga mutlak kebenarannya. Namun seiring berjalannya waktu, Penulis menyadari bahwa jika semua rasio-rasio atau pola-pola yang terlihat adalah mutlak kebenarannya, maka seharusnya semua orang sudah menjadi kaya-raya sekarang.

Fungsi Otak Kiri dan Otak Kanan

Otak Kiri : Logic, Otak Kanan : Intuition

Seiring berjalannya waktu, Penulis menyadari bahwa investing tidak hanya mengenai otak kiri, melainkan juga otak kanan. Jika kita hanya mengandalkan otak kiri, maka kita hanya akan terpacu pada rasio-rasio ataupun pola-pola teknikal tadi. Menggunakan otak kiri untuk melihat rasio-rasio dan pola-pola memang penting, namun yang juga tidak kalah pentingnya adalah menggunakan otak kanan kita. Misalkan, jika kita menggunakan otak kiri kita untuk proses menghitung rasio-rasio yang ada di laporan keuangan, maka kita juga perlu menggunakan otak kanan kita untuk merangkai setiap rasio-rasio yang ada di dalam sebuah laporan keuangan menjadi sebuah cerita. Contoh lain, jika kita menggunakan otak kiri untuk menyerap berbagai informasi yang masuk ke otak kita, pada saat yang bersamaan, kita juga menggunakan otak kanan kita untuk proses memfilter informasi tersebut. Demikian pula, kemampuan kita menggunakan otak kanan sangat penting untuk menahan emosi positif maupun emosi negatif yang seringkali membuat kita terombang-ambing di pasar saham.

 

#2 Investing Tidak Hanya Mengenai Hasil, Melainkan Proses

Seringkali Penulis melihat postingan di social media yang mengklaim bahwa saham-saham yang direkomendasikan berhasil naik puluhan sampai ratusan persen dalam waktu singkat hanya untuk mendapatkan pengikutnya. Please note this : Kecuali kita adalah seorang Warren Buffett, Jesse Livermore, atau Seth Klarman, jangan harap market akan peduli dengan apa yang kita pikirkan atau kita lakukan. Naik atau turunnya saham bukan karena kita canggih dalam memprediksi pergerakan sebuah saham, melainkan karena market menghendaki demikian.

Memang hal tersebut (mengklaim apa yang diprediksikan benar) sah-sah saja tidak bisa disalahkan.  Namun yang Penulis sayangkan adalah metode seperti itu justru membentuk mindset instant bagi para investor dan trader, terutama yang baru terjun di pasar saham. To be honest, siapa yang tidak tergiur mendapatkan profit puluhan sampai ratusan persen dalam waktu singkat?

Hasil (profit) memang penting, namun alangkah lebih baiknya apabila diikuti proses yang baik dan benar. Kebanyakan orang berbicara mengenai potensi keuntungan yang diperoleh di pasar saham, bagaimana meraih profit yang sebesar-besarnya dan sesingkat-singkatnya di pasar saham? Tapi adakah yang berbicara mengenai bagaimana menghandle risiko di pasar saham? Adakah yang berbicara mengenai bagaimana mindset yang perlu dibentuk untuk menjadi seorang investor? Penulis mengenal cukup banyak orang yang kemudian memutuskan keluar dan menyerah dari pasar saham, karena melakukan cut loss berkali-kali. Mengapa? Karena mereka hanya berorientasi pada hasil, dan bukan kepada prosesnya. Sehingga ketika hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan ekspektasi, mereka akan dengan mudahnya menyerah, dan berpikir “stock market is not for me.”

Investing is A Process

Jika kita berbicara dalam sudut pandang entrepreneurship, seorang entrepreneur yang sukses tahu bahwa adalah tidak mungkin meraih keberhasilan tanpa melalui kegagalan. Justru kegagalan demi kegagalan tersebut yang menuntun si entrepreneur meraih keberhasilan. Jika Jack Ma tidak ditolak ketika interview di KFC, mungkin ia tidak akan pernah mendirikan Alibaba. Jika resep Kolonel Sanders tidak ditolak 1000 kali, mungkin kita tidak pernah mengenal yang namanya KFC.

Same thing, ketika berinvestasi di pasar saham, jika kita hanya berorientasi pada hasil maka kita akan mudah kecewa. Yang tadinya dijanjikan profit puluhan atau ratusan persen koq tidak menjadi kenyataan? Namun jika kita berorientasi pada proses, bukannya kecewa, kita akan terus menggali dan mencari proses yang lebih baik lagi.

 

#3 Investing Berkaitan Erat Dengan Faktor Psikologis

Investing berkaitan erat dengan psikologis dan bukan hanya angka yang tertera dalam layar trading semata. Jika dalam persamaan matematika, kita bisa menghitung bahwa 100 X 10 dan 10 X 100 akan sama-sama menghasilkan nilai 1.000. Namun jika kita berbicara dari sudut pandang investing, hasilnya bisa jadi tidak sama. Karena dalam investasi saham, kita tidak bertemu dengan barang, melainkan bertemu dengan investor lainnya. Online trading atau platform yang kita gunakan hanyalah sebagai perantara.

Penulis sering menemukan orang yang memaksakan diri dan menjadikan trading saham sebagai satu-satunya sumber pemasukan. Padahal, secara size mungkin belum mencukupi untuk mengcover pengeluaran bulanan. Misalkan, si A memiliki dana Rp 50 juta. Namun hanya mengandalkan pemasukan dari trading saham untuk mengcover pengeluaran bulanan yang juga Rp 10 juta. Itu artinya, si A harus menghasilkan profit 20% setiap bulannya hanya untuk mengcover pengeluaran bulanan, atau +- 250% untuk mengcover pengeluaran tahunan.

Coba bandingkan dengan si B, yang saat ini sama-sama memiliki Rp 50 juta dan perlu mengcover pengeluaran bulanan Rp 10 juta. Namun bedanya, si B juga memiliki pemasukan lain (bekerja, bisnis, online shop, dll) sebagai penghasilan aktif. Dari bisnis sampingannya ini, si B bisa menyisihkan Rp 10 juta lagi untuk diinvestasikan kembali ke dalam portfolionya. Seiring berjalannya waktu, portfolio si B bertumbuh menjadi Rp 500 juta. Itu artinya, si B hanya perlu menghasilkan profit 2% setiap bulannya untuk mengcover pengeluaran bulanan, atau +- 25% untuk mengcover pengeluaran tahunan. Menurut Anda, skenario yang lebih memungkinkan untuk dilakukan?

Semakin Besar Target, Semakin Berat Beban Psikologis

Penulis tidak mengatakan bahwa kita perlu modal yang besar terlebih dahulu untuk mulai investasi saham. Tidak. Anda tetap dapat memulai investasi seawal mungkin. Dan dalam pasar saham, memang mungkin saja profit 250% setahun mungkin saja untuk dicapai, namun pertanyaannya apakah itu bisa dilakukan setiap saat? Dan bisa bayangkan beban yang Anda pikul dengan mengharapkan return 250% per tahun? Padahal kita tahu bahwa harga saham bergerak volatile dalam jangka pendek dan market tidak bisa juga bullish setiap saat.

Jadi kembali pada sub judul di atas, meskipun Rp 50 juta X 250% dan Rp 500 juta X 25% sama-sama menghasilkan Rp 125 juta, namun faktor psikologisnya jelas jauh berbeda. Mengharapkan return 250% setahun jelas memberikan beban 10x lipat lebih berat ketimbang mengharapkan return 25% bukan? Penulis dalam Workshop sering mengatakan kepada peserta workshop : meskipun kita berprofesi sebagai investor di pasar saham dan sama-sama mengharapkan return di pasar saham, namun justru put your effort as little as possible is a good idea. Kita tidak perlu melihat pergerakan pasar saham harian. Ketimbang menghabiskan waktu melihat pergerakan saham harian, lebih baik kita sambil mencari pemasukan lain, untuk kemudian kita investasikan lagi ke saham yang sedang salah harga, dst. Jadi it’s a never-ending loop.

 

The Beauty of Investing 1, Kesimpulan

                Sebagai seorang investor, kita perlu untuk terus melatih kepekaan otak kiri dan otak kanan. Dengan cara apa? Membaca buku, mengikuti seminar, dll. Investing is not just about reading numbers or graphs, it’s about art to connect the dots.

Investing juga bukan hanya mengenai hasil. Jika kita hanya berorientasi pada hasil, maka kita akan dengan mudah kecewa. Investing is about process. Apabila Anda telah menganalisa sebuah saham dengan baik, namun harganya belum naik ke level yang Anda inginkan, itu bukan kesalahan Anda. Memang market yang belum menghendaki demikian. Dalam berinvestasi di pasar saham : Sometimes you EARN, sometimes you LEARN.

Kesuksesan dalam berinvestasi juga banyak dipengaruhi oleh psikologis. Semakin besar return yang Anda harapkan, maka semakin berat beban yang Anda pikul. Sementara semakin reasonable return yang Anda harapkan, maka semakin ringan beban yang Anda pikul.

 

Okay sekian dulu artikel Penulis kali ini, kita akan bahas lebih banyak lagi dalam artikel di minggu depan. Semoga bermanfaat untuk Anda… Anyway, Selamat Hari Raya Idul Fitri bagi yang merayakan. Mohon Maaf Lahir dan Batin…

 

Info:

  • Join Our Telegram Channel : t.me/ValueInvestingIndonesia untuk mendapatkan update tentang Value Investing. Gratis !
  • Jadwal Workshop Value Investing dapat dilihat di sini. Info lebih lanjut WA 0896-3045-2810 (Johan)

 

Tags : | the beauty of investing 1  | the beauty of investing 1 | the beauty of investing 1 | the beauty of investing 1 |

1
Pastikan rekan Investor tidak ketinggalan Informasi ter-update

Subscribe sekarang untuk mendapatkan update artikel terbaru setiap minggunya

keyboard_arrow_leftPrevious
Nextkeyboard_arrow_right

2 Comments

  • Damar
    19 March 2019 at 10:19 AM

    wow keren pak..

Komentar

Artikel Lainnya

Youtube Update

Our Social Media

Arsip Artikel