
Terakhir diperbarui Pada 1 November 2023 at 5:26 pm
Rencana pemerintah yang mengkaji penerapan pajak ekspor atas sejumlah komoditas nikel, nampaknya sudah mulai terealisasikan. Setelah sebelumnya melewati pengkajian skema pungutan progresif nickel pig iron (NPI) dan feronikel (bahan baku pembuatan baterai dan stainless steel). Pajak ekspor nikel kini sah diujicobakan, seperti apa review nya sejauh ini? AADaftar Isi
Pajak Ekspor Nikel
Pemerintah Indonesia yang sudah sejak lama bersiap untuk memberlakukan pajak ekspor atas sejumlah komoditas nikel, kini sudah mulai terealisasikan, tercermin dari disahkannya kebijakan pajak progresif untuk produk nikel ekspor. Hakikatnya, pemberlakukan pajak ekspor komoditas nikel tersebut merujuk pada ketentuan dari Menteri Investasi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) – Bahlil Lahadalia yang mengatur produk olahan nikel Indonesia, termasuk dengan pengenaan pajak atas produk ekspor. Tak hanya itu, BKPM juga menjajaki aturan yang melarang ekspor produk nikel dengan kandungan di bawah 70% untuk dapat meningkatkan nilai tambah. Dan ada rencana ke depannya, hanya produk olahan nikel dengan minimal kandungan sebesar 70% saja yang boleh di ekspor. Sedikit tambahan Informasi, sejak Januari 2020, Indonesia sebenarnya telah melarang ekspor bijih nikel yang diatur melalui Permen ESDM No. 11 Th 2019 mengenai Perubahan Kedua Atas Permen ESDM No. 25 Th 2018 mengenai Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Akan tetapi, Indonesia masih memberikan keringanan untuk mengekspor khusus produk olahan nikel. Kondisi ini tidak dapat lepas dari posisi Indonesia sebagai negara dengan cadangan biijih nikel terbesar di dunia. Jika dilihat lebih deep, pengenaan pajak ekspor nikel ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk dapat mengurangi produk bahan mentah ke luar negeri, dan mendorong hilirisasi industri nikel. Sekaligus sebagai kelanjutan dari langkah pemerintah berkenaan dengan larangan ekspor bijih nikel sejak 2020 lalu.

Tujuan Pajak Progresif Ekspor Nikel
- Pertama, sebagai upaya mendorong hilirisasi nikel lebih jauh, sehingga investasi tidak hanya berhenti di NPI dan feronikel saja, tetapi juga ke produk nikel yang memiliki nilai tambah lebih tinggi. Nikel sendiri merupakan sumber daya alam yang tak dapat diperbarui, apalagi setelah nikel digali dan diekspor. Sehingga tak heran bila pemerintah memacu industri nikel agar memiliki value added yang lebih tinggi.
- Kedua, untuk menjaga ketahanan cadangan biji nikel. Gambaran saja, jumlah pabrik pengolahan nikel penghasil pig iron dan feronikel yang memakai bahan baku biji nikel saprolite terus bertambah. Tentu kapasitas pabrik pengolahan dan pemurnian juga semakin besar dan akan menyedot semakin banyak biji nikel. Sayangnya, cadangan bijih nikel tipe saprolite justru tidak meningkat sehingga bisa cepat habis. Mempertimbangkan kondisi tersebut, bukan tidak mungkin cadangan bijih nikel akan habis pada tahun 2040 an.
Dampak yang Mungkin Timbul
- Berpotensi menggerakan harga nikel hingga US$ 35 miliar. Potensi tersebut ada sejalan dengan strategi pemerintah yang menyetop semua ekspor komoditas bahan mentah. Terlebih lagi pasca diujicobakan pajak progresif ekspor nikel sebesar 2%, harga nikel tercatat mengalami lonjakan dari US$ 22.000 per ton – US$ 24.000 per ton di London Metal Exchanged, menjadi harga yang tertinggi sejak September 2011 lalu.

- Sayangnya dengan harga nikel yang tinggi, justru berdampak negatif terhadap perusahaan tambang nikel yang melakukan ekspor seperti halnya HRUM, ANTM, INCO di mana perusahaan akan dikenakan pajak ekspor yang sebelumnya tidak ada. Contoh sederhana, PT Vale Indonesia (INCO) yang melakukan ekspor produk olahan nikel ke Jepang bisa mengalami tekanan biaya. Pasalnya, pajak progresif ekspor nikel ini bertujuan mendorong hilirisasi, sedangkan tidak semua perusahaan tambang nikel akan melakukan hilirisasi.
###
Info:
Isi Pesan
Isi Pesan