Saham Perkebunan

Melirik Kembali Saham Perkebunan


Terakhir diperbarui Pada 26 August 2019 at 12:12 pm

Saham Perkebunan

Di akhir April dan awal Mei 2017 ini jika Anda lihat, banyak saham yang melakukan konsolidasi harga. Baik itu saham yang tadinya naik tinggi kemudian menjadi turun, atau sebaliknya saham yang tadinya turun terus kemudian menjadi naik. Salah satu penyebab nya adalah laporan keuangan Kuartal I 2017 yang memang terjadinya di akhir April dan awal Mei setiap tahunnya.

Belakangan ini, banyak investor yang terpaku hanya pada sektor mining (yang memang didorong karena kenaikan harga batubara) sepanjang 2016 sampai dengan Kuartal I 2017 kemarin. Namun, belakangan saham-saham mining ini justru seperti tertahan bahkan cenderung turun. Mengapa? Karena begitu laporan keuangan Kuartal I 2017 nya kemarin ini keluar (dan memang rata-rata saham mining mencetak kenaikan laba dan pendapatan), sebenarnya harga sahamnya sudah tercermin lebih dahulu oleh kenaikan harga-harga sahamnya sebelum laporan keuangannya keluar, atau istilah kerennya sudah priced-in. Dengan kata lain, sebelum laporan keuangannya keluar, tapi harga sahamnya udah naik duluan, karena investor ini rata-rata memantau kenaikan harga komoditas batubara yang mulai rebound sejak pertengahan 2016 yang lalu.

Nah menariknya, ada satu sektor yang selama ini mungkin menjadi terlupakan oleh banyak investor, padahal banyak sekali saham bagus di sektor tersebut, yaitu emiten CPO. Memang sejak kejayaannya pada 2011, saham-saham emiten CPO ini tidur panjang dari 2012 – 2016. Nah ketika laporan keuangan kuartal I 2017 kemarin ini, bisa dibilang saham-saham CPO ini mencuri perhatian investor dengan laporan keuangan yang sangat kinclong. Bahkan, mayoritas laba bersih nya rata-rata melonjak hingga ratusan persen.

Pencapaian ciamik dari para emiten perkebunan tak lepas dari membaiknya harga crude palm oil (CPO) dunia. Dan pada saat yang bersamaan, produksi emiten perkebunan membaik seiring dengan pudarnya efek anomali cuaca El Nino. Misalkan, produksi CPO SGRO kuartal I 2017 naik 32% menjadi 83,866 ton dan AALI mencatat kenaikan produksi 27% YoY menjadi 120,099 ton.

Lalu tahu dari mana kalau sektor perkebunan kelapa sawit sudah pulih? Simpelnya bisa dilihat dari perkembangan harga CPO dunia. Berikut di bawah ini adalah harga CPO dari bulan Maret 2016 – April 2017. Apabila kita menilik pergerakan harga CPO dalam setahun terakhir, harga CPO dalam Januari hingga Maret 2016 bergerak di range sekitar 2,300 – 2,500 ringgit per metrik ton, sedangkan harga CPO dalam 3 bulan pertama di tahun 2017 bergerak di kisaran 2,500 – 3,100 ringgit.

 

Harga CPO Maret 2016 – April 2017

 

Berbicara pencetak profit, kenaikan laba bersih tertinggi di kuartal I 2017 ditorehkan oleh PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO), di mana laba bersih nya melesat lebih dari 1000% dari Rp 14.1 miliar menjadi Rp 157.9 miliar. London Sumatera Indonesia (LSIP) juga laba bersih nya naik 648% menjadi Rp 374.3 miliar. Astra Agro Lestari (AALI) laba bersih nya di Kuartal I 2017 juga naik 94% menjadi Rp 801.0 miliar. Nah, untuk membantu anda melakukan screening awal, berikut ini adalah data pertumbuhan laba bersih. PER, dan PBV terbaru dari pencetak laba bersih terbesar emiten CPO di Kuartal I 2017 ini.

 

 

Harga SahamLaba Bersih Q1 2016Laba Bersih Q1 2017Growth %PERPBVNPMROE

AALI

14,500417.5 M801.0 M92%8.5x1.5x18%17%
DSNG48014.1 M119.6 M748%10.6x1.8x9%

17%

LSIP1,44050.5 M374.3 M648%6.3x1.2x26%

19%

SGRO

2,09014.0 M157.9 M1027%6.2x1.0x15%16%
SIMP63067.7 M340.1 M402%7.2x0.5x8%

8%

TBLA

1,40065.2 M275.6 M322%6.6x2.0x12%

30%

Daftar Pencetak Profit Jumbo Emiten Perkebunan, Q1 2017

 

Dan seperti yang bisa Anda lihat, dengan meningkatnya laba bersih di Kuartal I 2017, valuasi saham-saham perkebunan ini menjadi murah dan menarik untuk dilihat. Misalkan saja LSIP, SGRO, dan TBLA yang PER nya hanya 6x laba bersih nya. Jika dilihat dari ekuitas nya, rata-rata emiten mencatatkan PBV 1.0 – 2.0x. Special case untuk SIMP, bahkan PBV nya masih dihargai 0.5x dari ekuitasnya.

Padahal kalau kita lihat dari historical nya, rata-rata emiten CPO ini dihargai di PER di atas 10x dan PBV di atas 2.0x. Misalkan saja AALI pernah dihargai di PER 21.9x dan PBV 4.0x di tahun 2013, atau LSIP yang pernah dihargai 17.1x dan PBV 2.1x di tahun yang sama. SGRO dan SIMP bahkan pernah dihargai di PBV 30x di tahun yang sama. Dulu saya pernah ingat ingin sekali mengkoleksi saham CPO, namun karena valuasinya yang mahal terpaksa mengalihkan pilihan ke sektor yang lain.

So, bukankah ini moment yang tepat bagi kita untuk mulai mengkoleksi saham-saham emiten CPO? Apalagi harga sahamnya sudah terdiskon jauh di bawah. Katakanlah AALI dulu harga sahamnya pernah mencapai 28,000 (sekarang 14,500), atau SIMP pernah di 1,380 (sekarang di 630), LSIP dulu pernah di 3,125 (sekarang di 1,440), SGRO dulu pernah di 3,375 (sekarang di 2,090).

 

###

 

Tags : Saham Perkebunan | Saham Perkebunan | Saham Perkebunan | Saham Perkebunan | Saham Perkebunan | Saham Perkebunan | Saham Perkebunan | Saham Perkebunan | Saham Perkebunan | Saham Perkebunan | Saham Perkebunan | Saham Perkebunan | Saham Perkebunan | Saham Perkebunan | Saham Perkebunan | Saham Perkebunan

1
Pastikan rekan Investor tidak ketinggalan Informasi ter-update

Subscribe sekarang untuk mendapatkan update artikel terbaru setiap minggunya

keyboard_arrow_leftPrevious
Nextkeyboard_arrow_right

3 Comments

  • Diestra Perdana
    15 May 2017 at 11:00 AM

    Pak Rivan kenapa data yang digunakan pada tulisan ini menggunakan Malaysia Palm Oil Board? Apakah harga CPO di Indonesia mengikuti acuan Malaysia? Mohon penjelasannya. Maaf belum paham.

    • Rivan
      Rivan Kurniawan
      15 May 2017 at 11:39 AM

      Pasar cenderung menggunakan harga CPO Malaysia sebagai acuan karena bea keluar CPO Indonesia yang lebih tinggi, meskipun secara produksi CPO Indonesia masih lebih besar daripada CPO Malaysia. Demikian kira-kira penjelasannya..

Komentar

Artikel Lainnya

Youtube Update

Our Social Media

Arsip Artikel