kebijakan B20 kelapa sawit

Terakhir diperbarui Pada 22 Februari 2019 at 2:17 pm

Kuartal III 2018 ini menjadi periode pengharapan bagi Emiten CPO. Di mana setelah kurang lebih 4 tahun terakhir sejak pertengahan 2014 mengalami periode bearish yang sangat panjang. Dalam kurun waktu tiga bulan (Juli – September) terakhir di tahun 2018 ini, harga saham rata-rata emiten CPO kembali menunjukkan trend bullish dimana terdapat kebijakan B20 kelapa sawit.

Sebagai contoh, AALI yang harga sahamnya sempat menyentuh Rp 26.000 an di tahun 2014, harga sahamnya terus melorot hingga mencapai Rp 10.000 an di pertengahan 2018 ini. Namun sejak Kebijakan Beleid B20 mulai bergaung, harga sahamnya mulai meningkat 20% ke 12.000 an. Demikian pula dengan LSIP yang harga sahamnya sempat mencapai Rp 2,400 an di tahun 2014, terus melorot hingga mencapai 915 di tengah 2018 ini, dan mulai meningkat ke 1285 seiring dengan kebijakan tersebut. Serta TBLA, di mana meskipun penurunan harga sahamnya tidak sedalam AALI dan LSIP, harga sahamnya kembali memasuki fase bullish belakangan ini.

[Baca Lagi : Waktu Yang Tepat Melirik Kembali Saham Perkebunan?]

Meningkatnya harga Saham Emiten CPO ini banyak dikaitkan dengan dampak dari adanya Kebijakan Beleid B20. Kebijakan ini mulai diimplementasikan per 1 September 2018. Well, seperti yang bisa Anda lihat di atas, kebijakan Beleid B20 ini setidaknya memberikan dampak positif drastis bagi harga saham emiten sawit yang sudah tertidur cukup panjang. Pertanyaannya, apakah berlakunya Kebijakan Beleid B20 akan menciptakan Opportunity bagi Emiten CPO?. Atau faktor “sentimen pasar sesaat” saja ? Okey, langsung saja kita bahas..

 

Apa Sih B20 itu ?

Bagi yang belum familiar, dalam istilah perdagangan biodiesel yang dicampur solar dinyatakan dalam B-XX. B20 adalah Biodiesel 20% atau dengan kata lain, bahan bakar Diesel yang dicampur CPO / Minyak Kelapa Sawit (Minyak Nabati) sebanyak 20% dan Minyak Bumi (Petroleum Diesel) 80%. Sebagai gambaran, takaran B20 lebih banyak jumlah Cetane Number (bilangan Setana) Biodiesel daripada jumlah Minyak Bumi (Petroleum Diesel). Cetane Number menunjukkan kualitas pembakaran dalam ruang bakar (Ignition Quality). Semakin tinggi Cetane Number, maka semakin bagus bahan bakar Diesel itu. B20 ini tidak mengandung kandungan sulfur. Semakin rendah kandungan sulfur akan semakin baik emisi gas buangnya. Dengan kata lain, kapasitas B20 ini pemakaiannya untuk sehari-hari.

Bahan Bakar B20

 

Operasional B20 ini dalam distribusinya memang membutuhkan supply Minyak Kelapa Sawit dalam jumlah besar. Dengan adanya Kebijakan B20 ini diprediksi bisa mendongkrak permintaan pasar terhadap kenaikan jumlah CPO. Karena, secara total komposisi bahan bakar B20 ini memang murni dari minyak kelapa sawit.

Dan seperti disampaikan di atas, kebijakan B20 ini sudah mulai berlaku dari 1 September 2018. Sebelumnya kewajiban pemakaian B20 ini wajib digunakan untuk kendaraan yang mendapatkan subsidi atau Public Service Obligation (PSO).  Namun, saat ini kebijakan B20 diperluas dan diperuntukkan juga bagi kendaraan pribadi, kendaraan alat berat dan transportasi umum sampai lokomotif kereta api, serta alat utama sistem persenjataan (alutsista).

 

Faktor Yang Melatarbelakangi Kebijakan B20 Kelapa Sawit

Pertanyaan selanjutnya, kita juga perlu memahami mengapa Pemerintah menerapkan kebijakan B20 ini ?

Di satu sisi, Pemerintah selama ini memang telah berjuang keras untuk membangkitkan kembali industri kelapa sawit. Seperti melobi Uni Eropa agar mencabut larangan penggunaan CPO yang rencananya mulai berlaku 2021, sampai melobi PM India Narendra Modi untuk menurunkan tarif bea masuk CPO. Dan kebijakan B20 ini diharapkan bisa mendongkrak jumlah permintaan CPO di pasar global nasional. Sehingga turut berperan positif dalam membangkitkan kembali kinerja Emiten CPO.

Di sisi lain, berlakunya Kebijakan Beleid B20 ini bisa menjadi opportunity untuk menyehatkan Current Account Deficit (CAD). Di mana Current Account Deficit (CAD) Indonesia melebar di Kuartal II 2018 menjadi US$ 8.0 miliar atau sekitar 3% dari GDP. Jadi selain diharapkan bisa membangkitkan kembali permintaan kelapa sawit, di saat yang bersamaan kebijakan B20 ini diharapkan bisa menyehatkan Current Account Deficit (CAD) yang melebar tadi. Atau dengan kata lain, kebijakan Pemerintah ini memang ditujukan untuk menghemat devisa hingga US$ 2.3 miliar.

 

Dampak Positif dan Negatif Kebijakan B20

Setelah kita memahami faktor yang melatarbelakangi kebijakan B20 kelapa sawit, selanjutnya kita juga perlu memahami dampak positif dan negatif yang ditimbulkan dari Kebijakan B20 kelapa sawit ini. Bila kita bahas lebih mendalam dampak apa yang timbulkan dari pemanfaatan bahan bakar B20 ini untuk sistem transportasi harian. Berikut beberapa asumsi dampak positif dan negatif yang terjadi :

Dampak Positif

                Dampak positif Kebijakan Beleid B20 ini lebih kepada harapan untuk membangkitkan kembali permintaan kelapa sawit dan juga lebih ke arah mendukung faktor makro ekonomi, di antaranya :

  • Dapat meningkatkan jumlah permintaan CPO,
  • Secara tidak langsung dapat mengurangi jumlah Current Account Deficit,
  • Jika digunakan pada mesin diesel modern bahan bakar B20 bisa dipakai tanpa harus modifikasi ulang dibagian mesin,
  • B20 ini ternyata ramah terhadap mesin kendaraan.

 

Dampak Negatif

Dengan berlakunya Kebijakan Beleid B20 ini, menimbulkan berbagai estimasi dari bagaimana kualitas bahan bakar B20, seperti apa efek yang timbulkan ke mesin kendaraan. Berikut asumsi yang beredar :

  • Indonesia sendiri masih pakai Standar Euro 2, maka yang harus disesuai adalah takaran bahan bakar B20 itu,
  • Bahan bakar B20 ini ternyata sedikit lebih boros daripada solar biasa, karena kendaraan butuh pasokan B20 lebih banyak daripada memakai solar,
  • Banyaknya isu negatif B20 yang membuat mesin berkarat,
  • Kendaraan lebih mudah mogok,
  • B20 ini lebih banyak kandungan CPO nya, dan CPO ini ada kandungan garam yang bisa menimbulkan kerak untuk ruang bakar.

 

Implementasi Kebijakan B20 Kelapa Sawit

Meskipun telah berlaku sejak 1 September 2018. Nyatanya perluasan kewajiban B20 ini belum sepenuhnya berjalan normal dengan sejumlah kendala teknis di lapangan. Adapun kendala yang dihadapi terkait dengan distribusi seperti kapal biodiesel yang kandas di Sungai Musi dan Medan, dan juga sejumlah kapal yang harus mengantre di pelabuhan. Sejumlah kendala teknis ini membuat target Pemerintah untuk menghemat devisa sebesar US$ 2.3 miliar dengan kebijakan B20 ini sepertinya agak sulit untuk dicapai di tahun 2018 ini.

Untuk mengatasi kendala di atas, belakangan ini Pemerintah menetapkan batas waktu pesanan pembelian atau Purchase Order (PO) biodiesel sebelum pengiriman, di mana selama ini tidak ada batasan waktu yang jelas. Sekarang Pemerintah dan Industri sepakat menetapkan batas waktu PO adalah 14 hari sebelum pengiriman. Penetapan PO 14 hari ini untuk mengatasi kendala distribusi di atas. Jika terjadi force majeure seperti kapal biodiesel yang kandas di Sungai Musi dan Medan di atas, Pemerintah yang akan mengatur sebelum dijatuhkan denda.

Bila melihat kondisi di atas, meskipun kebijakan B20 saat ini belum sepenuhnya berjalan normal. Tetapi kita sudah mendengar bahwa Kebijakan Beleid B20 ini akan ditingkatkan menjadi B30 pada 2020 nanti. Di mana rencana peningkatan pemanfaatan Biodiesel ini dinilai memberi dampak positif untuk sektor minyak kelapa sawit secara nasional.

 

Kinerja Fundamental Emiten CPO

Sekarang kita ulas bagaimana kinerja masing-masing Emiten CPO ini. Jika kita mengacu pada Laporan Keuangan Kuartal II 2018, Penulis melihat kinerja fundamental ketiga Emiten CPO ini masih belum baik berdasarkan pencapaian di tahun 2018 ini. Total Pendapatan AALI yang tadinya Rp 17.3 triliun di tahun 2017 hanya meningkat tipis 4% menjadi Rp 18.0 triliun (Annualized) Q2 2018. TBLA dan LSIP malah lebih buruk, di mana masing-masing mencatatkan penurunan Pendapatan di tahun 2018 ini. TBLA juga mengalami penurunan Pendapatan dari Rp 8.9 triliun di tahun 2017 ke Rp 8.0 triliun (Annualized) di Q2 2018. Demikian pula dengan LSIP, yang mencatatkan penurunan Pendapatan dari Rp 4.7 triliun di tahun 2017 menjadi Rp 3.5 triliun (Annualized) di Q2 2018.

Tentu menurunnya total Pendapatan ini juga akan berpengaruh pada pencapaian Laba Bersih dari ketiga Emiten CPO di tahun 2017 dan 2018. AALI mencatatkan penurunan Laba Bersih sekitar yang tadinya Rp 2.0 triliun di 2017 saat ini hanya menjadi Rp 1.5 triliun di Q2 2018. Sama halnya dengan LSIP dan TBLA yang mengalami penurunan Laba Bersih, LSIP dari Rp 763 miliar tahun 2017 turun ke Rp 450 miliar di Q2 2018, TBLA dari Rp 949 miliar di tahun 2017 juga turun ke Rp 699 miliar per Q2 2018.

Dari data pencapaian Pendapatan dan Laba Bersih tersebut, meskipun Kebijakan B20 berdampak positif pada kenaikan harga saham ketiga Emiten CPO di atas. Namun secara Fundamental ketiga Emiten CPO ini belum bisa dikatakan dalam kondisi yang baik secara profitabilitas. Jika kita melihat dalam perspektif periode yang lebih panjang selama 7 – 8 tahun terakhir, AALI Pendapatannya memang meningkat dengan rata-rata pertumbuhan positif 7.6% per tahun, namun Laba Bersih AALI dalam trend menurun dengan rata-rata pertumbuhan negatif sekitar -5.9% per tahun.

Sedangkan, LSIP malah mencatatkan kinerja yang lebih buruk.  Pendapatan LSIP menunjukkan trend menurun dengan rata-rata pertumbuhan negatif (CAGR : -4.0%). Dan Laba Bersihnya pun dalam trend menurun dengan rata-rata pertumbuhan negatif (CAGR : -17.3%).

Mungkin hanya TBLA yang agak lebih mending. Di mana setelah TBLA ini melakukan diversifikasi ke bisnis pabrikasi gula, TBLA mencatatkan rata-rata pertumbuhan pendapatan positif 11.5%, dan rata-rata pertumbuhan laba bersih positif 7.6%

Secara valuasi, penurunan harga saham CPO yang terjadi sepanjang 2014 – 2018 juga sejatinya belum bisa dikatakan membuat harga sahamnya menjadi “salah harga”. Karena penurunan harga sahamnya juga diikuti dengan penurunan kinerja fundamental nya. Jadi penurunan harga sahamnya selama 4 tahun terakhir lebih kepada menyesuaikan valuasi dari yang “overvalue” menjadi “fair price”. Jadi penurunannya belum bisa disamakan seperti halnya penurunan harga saham batubara, dan juga penurunan harga saham di sektor lainnya seperti property dan animal feed di 2017. Sekarang kita lihat berdasarkan valuasi (PER & PBV) per bulan September 2018. Sebagai gambaran lebih jelasnya, Anda dapat melihat perbandingan valuasi di tabel berikut :

Emiten

PERPBV
AALI14.9x1.2x
LSIP19.7x1.1x
TBLA8.2x1.4x

Valuasi Emiten CPO (PER & PBV) Per September 2018

Berdasarkan, tabel di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa ketiga Emiten CPO ini rata-rata valuasi (jika dilihat dari PER & PBV) ternyata valuasi emiten CPO tidak terlalu murah meskipun harga sahamnya sudah mengalami penurunan dalam periode yang panjang.

Tidak hanya terjadi pada harga sahamnya, trend bearish juga terjadi pada harga pasar Crude Palm Oil (CPO) dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Sedangkan yang kita tahu, kinerja ketiga Emiten CPO diatas memang memproduksi minyak kelapa sawit dan Pendapatan Emiten CPO tersebut tergantung dari hasil penjualan CPO. Dengan menurunnya harga CPO dunia, tentu akan berpengaruh langsung pada fundamental ketiga Emiten tersebut.

Maka sebagai perbandingan, Penulis beri gambaran harga CPO dalam kurun waktu 8 tahun terakhir sampai di kuartal III 2018 ini. Berikut grafik harga CPO dalam 8 tahun terakhir :

Grafik Harga CPO dalam 8 tahun terakhir (Source : TradingEconomics.com)

 

Dan saat Penulis menulis artikel ini, harga CPO sedang melemah di 2100 MYR/metrik ton. CPO sebelumnya sekitar 3300 MYR/metrik ton di tahun 2017 sampai harga terendahnya di kuartal III tahun 2018 atau bearish per September 2018 ini. Bisa dilihat pada sumber grafik berikut :

Indikator Harga Pasar CPO Per September 2018 (Source : TradingEconomics.com)

 

Kesimpulan Kebijakan B20 Kelapa Sawit

Dari ulasan diatas, Penulis menarik kesimpulan bahwa kenaikan harga saham emiten CPO selama 3 bulan terakhir belum disertai dengan perbaikan fundamental nya. Dengan kata lain, kenaikan harga saham emiten CPO terjadi karena faktor sentimen kebijakan B20 kelapa sawit, yang hanya bersifat sementara saja.

Penulis juga melihat kenaikan harga saham tadi karena pelaku pasar sudah terlalu lama menantikan sentiment positif bagi emiten CPO yang sudah tertidur sangat Panjang. Sehingga sentiment sekecil apapun seperti Kebijakan B20 kelapa sawit ini seperti memberikan pengharapan bagi emiten CPO. Namun sayangnya, Kebijakan B20 tersebut juga bukannya tanpa hambatan yang berarti. Kondisi distribusi di lapangan juga masih banyak mengalami hambatan. Sehingga target Pemerintah untuk menghemat devisa sebesar US$ 2.3 miliar agaknya sulit direalisasikan di tahun 2018 ini.

Di sisi lain, kita juga sudah melihat kondisi harga CPO yang masih rendah sekitar 2100 MYR/metrik per ton. Penurunan ini karena lesunya ekonomi global yang belum bisa mendongkrak jumlah ekspor minyak kelapa sawit. Belum lagi tantangan yang dihadapi Emiten CPO seperti adanya pelarangan penggunaan CPO dari Uni Eropa, bea masuk CPO yang tinggi ke India, dsb.

Dan jika Anda perhatikan, media yang awalnya cukup heboh memberitakan mengenai optimisme terkait kebijakan B20 ini, belakangan media mulai membahas sisi negatif dari implementasi kebijakan B20 termasuk kendala yang dihadapi di lapangan, sehingga mulai memunculkan pesimisme mengenai kebijakan B20 ini, yang juga membuat harga saham emiten CPO kembali terkoreksi belakangan ini. Hal ini membuat harga saham Emiten CPO rentan untuk kembali terkoreksi.

 

###

 

Info:

  • Monthly Investing Plan Oktober 2018 akan segera terbit. Anda dapat memperolehnya di sini.
  • Cheat Sheet LK Q2 2018 telah terbit, Anda dapat memperolehnya di sini
  • E-Book Quarter Outlook LK Q2 2018 telah terbit. Anda dapat memperolehnya di sini.
  • Jadwal Workshop :
    • Workshop Value Investing (Bali, 22 September 2018) dan (Medan. 6 Oktober 2018) dapat dilihat di sini.
    • Advance Value Investing (Jakarta, 20 Oktober 2018) dapat dilihat di sini.

 

 

#
Tags : kebijakan B20 kelapa sawit | kebijakan B20 kelapa sawit | kebijakan B20 kelapa sawit
1
Pastikan rekan Investor tidak ketinggalan Informasi ter-update

Subscribe sekarang untuk mendapatkan update artikel terbaru setiap minggunya

keyboard_arrow_leftPrevious
Nextkeyboard_arrow_right

19 comments on “Bullish Karena Kebijakan B20, Apakah Kenaikan Harga Saham Emiten Cpo Hanya Bersifat Sementara?

  1. Akhirnya informasi yang bermutu, dari tadi cari di berita penjelasanya gaada yg jelas, nice artikel pak rivan..

    1. kalau untuk CPO sifatnya cyclical Pak Wawan… banyak dipengaruhi faktor eksternal seperti harga CPO, sentimen Uni Eropa, sampai cuaca pun ikut mempengaruhi.. Jadi kebijakan B20 ini hanya satu dari sekian faktor yang ikut mempengaruhi kinerja nya.. jadi agak sulit untuk investasi jangka panjang karena faktor2 di atas tadi..

    1. Hampir semuanya sebenarnya masih masuk kategori fundamental bagus.. hanya saja karena harga CPO saat ini juga masih rendah, jadi agak berisiko untuk masuk hanya mengandalkan sentimen Kebijakan B20.. So just Wait and See dulu..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *