Beberapa waktu lalu pasar keuangan di Indonesia dihebohkan dengan berita oleh salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia – Duniatex – yang berpotensi gagal bayar (default) sejumlah kredit yang dipinjam dari beberapa bank besar di Indonesia. Bermula dari salah satu entitas anaknya yang gagal membayar bunga kredit sindikasi senilai USD 13,4 juta dari 14 bank dengan total utang 10 Juli lalu, kini Duniatex Group pun menjadi mengalami masalah keuangan yang cukup sulit. Bagaimana potensi dan dampak dari Duniatex jika gagal bayar kredit ke beberapa perbankan ternama di Indonesia?
Daftar Isi
Profil Perusahaan Duniatex
Duniatex adalah salah satu produsen tekstil terbesar di Indonesia. Didirikan pada tahun 1974 dengan nama CV. Duniatex di Surakarta, perusahaan saat itu baru beroperasi di industri finishing. Duniatex baru beroperasi di bidang tekstil – ke tenun, untuk lebih spesific – pada tahun 1998 dengan mendirikan PT Dunia Sandang Abadi dan PT Delta Merlin Dunia Tekstil yang kini telah tumbuh di 8 lokasi berbeda dan mengembangkan fondasi kuat dalam industri tekstil di Indonesia.
Dengan komitmen untuk meningkatkan kualitas manufaktur tekstil perusahaan, perusahaan kemudian memasuki industri pemintalan di mana benang diproduksi sebagi salah satu elemen dasar dalam pembuatan tekstil (kain). Di tahun 2003 pula, Duniatex mendirikan PT Delta Merlin Sandang Tekstil dan PT Delta Dunia Tekstil pada 2006. Tujuan dari pendirian ini tentu saja untuk menjadikan Duniatex sebagai perusahaan tekstil terbesar di Indonesia.
Duniatex telah mencapai Sertifikasi Standar Mutu ISO: 9001: 2000 dan dengan dukungan lebih dari 40.000 pekerja. Pelanggan Duniate pun juga tersebar di beberapa negara di Benua Asia, bahkan sampai ke benua-benua lainnya seperti Benua Eropa, Afrika, dan Amerika.
Kronologis Potensi Gagal Bayar Duniatex Group
Perusahaan menjelaskan rincian awal mula peristiwa yang menyebabkan kondisi keuangan Duniatex Group adalah berasal dari anak entitas perusahaan, yakni PT Delta Dunia Sandang Textile (DDST) yang gagal membayar kewajiban bunga sebesar USD 13,4 juta atas pinjaman sindikasi dengan total USD 260 juta. Perusahaan menjelaskan bahwa salah satu penyebab gagal bayar DDST adalah dari sisi likuiditas perusahaan. Bermasalahnya likuiditas perusahaan pun disebabkan oleh perang dagang antara Amerika Serikat dan China – yang berimbas terhadap menurunnya margin keuntungan perusahaan.
Selain masalah likuiditas, perusahaan juga bermasalah di bagian biaya produksi perusahaan yang lebih besar bila dibandingkan dengan competitor.
Ditambah lagi, kegagalan bayar tadi berimbas ke PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) – yang hampir pada saat yang sama menerbitkan obligasi global senilai USD 300 juta pada 12 Maret lalu – dan gagal membayar bunga pertamanya senilai USD 12,9 juta pada September 2019. Kupon dari obligasi tersebut adalah 8,635% per tahun dan dibayarkan per semester. Dan jangan lupa, itu baru dua perusahaan dari Duniatex Group.
Selain DMDT tadi, masih ada 5 perusahaan di bawah Duniatex Group yang juga mengalami kesulitan keuangan, yakni; PT Delta Dunia Textile (DDT), PT Delta Dunia Sandang Textile (DDST), PT Delta Merlin Sandang Textile (DMST), dan PT Dunia Setia Sandang Asli Textile (DSSAT) dan PT Perusahaan Dagang dan Perindustrian Damai alias Damaitex.
Dari enam perusahaan tadi, setelah dikumpulkan mengakumulasi Rp 18,79 triliun atau setara dengan USD 1,33 miliar yang berasal dari 24 pinjaman bilateral tiga utang sindikasi, dan utang obligasi.
Lembaga pemeringkat kredit dunia – Standard and Poor (S&P – sampai memangkas peringkat obigasi global DMDT menjadi CCC- dari yang sebelumnya BB-. Peringkat tersebut berarti bahwa memang ada masalah keuangan dalam perusahaan. S&P pun menilai juga bahwa keuangan DDST yang memburuk akan berdampak negatif pada arus kas DMDT.
Bank-bank yang Menjadi Kreditur
Dalam kredit yang dimiliki oleh Duniatex Group, tentunya melibatkan banyak pihak dan banyak bank. Tercatat, total ada lebih kurang 24 pinjaman bilateral. Lantas, ada beberapa bank besar di Indonesia yang menjadi kreditur untuk Duniatex Group, di mana bank-bank ini juga tercatat sebagai perusahaan tercatat di BEI.
- Bank Rakyat Indonesia (BBRI)
Direktur Utama BRI Suprajarto menyebutkan bahwa kredit yang disalurkan oleh BRI ke Duniatex Group mencapai Rp 1,4 triliun. Tetapi, pihak BRI tidak terlalu mengkhawatirkan kabar gagal bayar dari Duniatex karena nilai jaminannya mencapai 127% dari total kredit yang diberikan.
Total kredit yang disalurkan BRI mencapai Rp 862,1 triliun. Bila dibandingkan dengan kredit Rp 1,4 triliun yang disalurkan ke Duniatex, persentasenya hanya sebesar 0,16% dari total kredit. Jadi, sebenarnya tidak terlalu mempengaruhi secara major ke kinerja perusahaan. Tingkat NPL Gross 2,54% (gross), dan bila dijumlahkan dengan kredit Duniatex yang diasumsikan macet, Gross NPL “hanya” akan menjadi 2,7%.
- Bank Mandiri (BMRI)
Bank Mandiri pada awalnya merupakan salah satu bank yang memberikan kredit terbesar ke Duniatex Group mencapai Rp 5,1 triliun. Untungnya – kata pihak Mandiri – utang mereka yang harus dilunasi oleh Duniatex “hanya” menyisakan sebesar Rp 2,1 triliun. Coverage ratio atas jaminan dari perusahaan yang cukup tinggi sebesar 160% dari pinjaman juga dibilang dapat dijadikan kabar baik bagi Bank Mandiri. Tinggal bagaimana pengelolaan jaminannya saja – bila ternyata kredit gagal bayar.
Sampai dengan Q3 2019, tercatat Bank Mandiri telah menyalurkan kredit sebesar Rp 806,8 triliun. Jika dibandingkan dengan jumlah kredit yang diberikan ke Duniatex, maka kredit tersebut “hanya” berkontribusi sebesar 0,26% terhadap total kredit Bank Mandiri.
Sama juga dengan Bank BRI, hal ini juga tidak terlalu mempengaruhi performa Bank Mandiri secara keseluruhan. Jikalau pun memang kredit tersebut tidak dibayarkan – alias default – NPL Bank Mandiri yang semula adalah 2,53% (gross) “hanya” meningkat menjadi 2,79%.
- Bank BNI (BBNI)
Berbeda dengan dua bank di atas, nominal penyerahan kredit dari Bank BNI ke Duniatex tidak mencapai triliunan. Bank BNI hanya menyalurkan kredit sejumlah Rp 459 miliar – yang jaminannya bernilai 2,5 kali lipat dibandingkan jumlah kreditnya.
Sekali lagi, bila kita bandingkan dengan total kredit Bank BNI yang sejumlah Rp 558,67 triliun dengan jumlah kredit yang disalurkan ke Duniatex; Rp 459 miliar, persentasenya hanya 0,08% dari total penyaluran kredit. Bahkan lebih kecil dari persentase dari Bank Mandiri dan Bank BRI.
Bila kita masukkan juga NPL Bank BNI yang tercatat sebesar 1,8% (gross), dan jika kredit Duniatex tadi ternyata macet, maka NPL Bank BNI hanya akan menjadi 1,88%.
Jadi, secara kesimpulan meskipun bank-bank tersebut menyalurkan kredit dengan jumlah yang cukup besar, ternyata potensi Duniatex gagal bayar tadi tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan
Industri Tekstil, Apakah terpengaruh juga?
Sebenarnya tidak ada korelasi antara Duniatex yang gagal membayar bunganya dengan perusahaan-perusahaan tekstil lain yang “dikhawatirkan” sedang menjalani situasi serupa juga. Hanya saja, kejadian yang menimpa Duniatex menjadi “alarm” bagi perusahaan-perusahaan lain dan juga regulator dalam operasional perusahaan-perusahaan di industri tekstil.
Regulasi pun menjadi salah satu momok yang menghambat kinerja perusahaan, baik dari segi profitabilitas maupun cash flow. Tidak tanggung-tanggung, ada kurang lebih 70 regulasi yang membatasi ruang gerak industri tekstil nasional. Contohnya; PPh yang harus di bayar di muka yang membebani cashflow perusahaan, ada lagi peraturan tentang impor benang dan serat yang dikenakan bea masuk sebesar 15% – 20%, sedangkan tidak ada bea masuk untuk impor kain. Jika seperti itu, maka ketika barang sampai ke pasar harga baju dari kain langsung yang diimpor tentu saja akan lebih murah dibandingkan dengan yang dibuat oleh perusahaan tekstil yang mengimpor benang dan serat. Memang, industri tekstil masih serat dengan adanya disharmonisasi tariff..
Tetapi, jika membahas kinerja perusahaan, mari kita lihat contoh beberapa perusahaan di industri ini; PT Pan Brothers Tbk (PBRX) and PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL).
- PT Pan Brothers Tbk (PBRX)
Kinerja PBRX di Q3-2019 bisa terbilang cukup baik. PBRX mencatatkan USD 491,86 juta pendapatan – naik +10,02% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu. Per periode ini juga berarti PBRX telah merealisasikan 73,13% dari targetnya di tahun 2019 ini. PBRX merupakan perusahaan tekstil yang pasarnya lebih banyak ke ekspor. Tercatat, ekspor berkontribusi sebesar 94,03% dari total penjualan PBRX. Untuk rasio utang sendiri rasio DER PBRX tercatat berada pada angka 1,3x. Secara historis, DER milik PBRX masih stabil dan tidak mengalami peningkatan yang signifikan secara rasio.
- PT Sri Rejeki Isman (SRIL)
Kinerja SRIL di Q3-2019 juga tidak kalah mentereng. SRIL membukukan pertumbuhan penjualan 17,16% secara tahunan menjadi USD 895,08 juta – meningkat 17,16% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu. Jika dibedah sedikit, penjualan ekspor bertumbuh sebesar 31,71% yoy menjadi USD 534,54 juta dari yang sebelumnya hanya USD 405,86 juta. Sebagai informasi, nilai ekspor berkontribusi 59,72% terhadap total penjualan yang bila dirincikan lagi berasal dari; penjualan benang, disusul menjadi pakaian jadi, kain jadi, lalu kain mentah. Di sisi bottom line, SRIL mencatatkan pertumbuhan laba bersih sebesar +2,45% yoy menjadi USD 72,22 juta dari yang sebelumnya USD 70,49 juta.
Rasio utang terhadap ekuitas SRIL (DER) berada di angka 1,47x. Secara historical juga DER SRIL ini tengah menurun, dari tahun 2014 yang berada di rasio 2x, telah menurun sampai hari ini di 1,47x.
Sebenarnya, dalam industri tekstil kembali lagi ke regulasi dari pemerintah yang cukup menghambat ruang gerak dari emiten dalam industri ini. Bahkan, terlihat bahwa SRIL dan PBRX justru memiliki pangsa pasar mayoritas yang berada di luar negeri / ekspor. Hal ini dikarenakan di dalam negeri, terjadi disharmonisasi tariff yang tadi sempat dibahas dan tekstil asli Indonesia kalah bersaing dengan tekstil dari luar negeri seperti Vietnam, India, China.
Kesimpulan
Duniatex Group tertimpa masalah dalam pembayaran bunga obligasi. Bermula dari salah satu entitas anaknya yang gagal membayar bunga kredit sindikasi senilai USD 13,4 juta dari 14 bank dengan total utang 10 Juli lalu, kini Duniatex Group pun menjadi mengalami masalah keuangan yang cukup sulit. Setelah diakumulasi utang Duniatex Group mencapai Rp 18,79 triliun atau setara dengan USD 1,33 miliar yang berasal dari 24 pinjaman bilateral tiga utang sindikasi, dan utang obligasi.
Beberapa bank-bank ternama yang memberikan kredit ke Duniatex Group antara lain adalah Bank BRI, Bank Mandiri, dan Bank BNI. Tetapi, meskipun bank-bank tersebut menyalurkan kredit dengan jumlah yang cukup besar, ternyata kredit tadi tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan. Apalagi bila dibandingkan dengan kontribusi kredit Duniatex yang tidak mencapai bahkan 0,5% dari total penyaluran kredit bank-bank tadi. Jadi, dari sisi perbankan tadi, sebenarnya gagal bayar Duniatex tidak akan berpengaruh terlalu besar terhadap kinerja perusahaan.
Muncul pertanyaan; apakah Duniatex yang gagal bayar utang ini mempengaruhi emiten tekstil yang lainnya? Well, tidak secara langsung. Hal ini dapat menjadi perhatian masyarakat dan investor saja karena pengelolaan utang kembali lagi ke perusahaan masing-masing. Yang perlu diperhatikan investor dalam industri tekstil sebenarnya adalah regulasi pemerintah yang malah membatasi pergerakan emiten tekstil.
###
Info: