
Sejak terjadinya krisis keuangan global di tahun 2008, hingga berdampak buruk pada sistem keuangan dunia. Pasar modal global pun turut menghadapi berbagai tantangan berat, mulai dari harga komoditas yang bergejolak, ketegangan geopolitik, hantaman pandemi Covid19, lonjakan inflasi hingga ragam kebijakan moneter ketat yang diterapkan banyak Negara. Rupanya seluruh hal tersebut tidak cukup kuat menggoyahkan market. Mari simak bahasannya!
Daftar Isi
Artikel ini dipersembahkan oleh:
IHSG Indonesia Sejak Tahun 2008
Sejak tahun 2008, Indonesia telah menghadapi serangkaian krisis yang menyebabkan pasar mengalami penurunan tajam. Namun, yang menarik adalah bagaimana pasar Indonesia selalu mampu bangkit dan bahkan melampaui level sebelum terjadinya krisis tersebut. Nah untuk itu, kali ini kita akan mengulas beberapa krisis besar yang telah dilalui pasar Indonesia, beserta dengan dampaknya terhadap pergerakan IHSG. Beberapa diantaranya:
Krisis Subprime Mortage
Pada tahun 2008, Indonesia terdampak oleh krisis finansial global yang dikenal sebagai krisis subprime mortgage, yang berawal di Amerika Serikat. Krisis ini disebabkan oleh kegagalan sistem perbankan AS, yang terlalu banyak memberikan pinjaman perumahan kepada peminjam yang tidak mampu membayar (subprime).
Pada masa sebelum krisis, banyak bank besar AS yang terlibat dalam pemberian pinjaman hipotek kepada peminjam dengan risiko tinggi (subprime), yang dikenal sebagai subprime mortgage. Bank-bank ini kemudian mengemas hipotek tersebut menjadi sekuritas berbasis hipotek (MBS) yang diperdagangkan di pasar finansial. Ketika pasar properti AS mulai jatuh dan peminjam subprime gagal membayar pinjaman mereka, nilai dari MBS tersebut merosot tajam.
Karena banyak bank yang terdaftar dalam KBW Bank Index memegang sejumlah besar MBS dan produk derivatif yang terkait. Mereka mengalami kerugian besar yang mempengaruhi neraca mereka secara signifikan. Bahkan membuat KBW Bank Index terkoreksi lebih dari -70% sejak mengalami nilai tertingginya tahun 2007.
Krisis subprime menyebabkan kerusakan sistemik pada sektor keuangan. Karena banyak bank tidak memiliki cukup cadangan kas untuk menutupi kerugian, akibat turunnya nilai MBS dan kredit bermasalah. Beberapa bank besar, seperti Lehman Brothers, akhirnya mengalami kebangkrutan atau terpaksa diakuisisi untuk mencegah keruntuhan lebih lanjut. Bahkan bank-bank yang lebih stabil seperti Citigroup dan Bank of America juga terdampak besar, karena mereka terlalu banyak terlibat dalam pasar subprime.
Krisis subprime mortage ini menunjukkan betapa eratnya keterkaitan pasar perumahan, kredit, dan pasar modal. Saat harga rumah jatuh dan sekuritisasi KPR bermasalah membanjiri neraca bank, tekanan menyebar secara sistemik ke hampir semua kelas aset
Dampaknya, pasar global, termasuk Indonesia, mengalami penurunan yang sangat tajam. IHSG pada saat itu sempat terkoreksi hingga -61%. Namun, meskipun pasar jatuh cukup dalam, Indonesia mampu rebound dengan cepat dan bahkan mengalami lonjakan signifikan setelah krisis berakhir, mencatatkan kinerja pasar yang lebih baik dari sebelumnya.
Krisis PIGS
Krisis berikutnya datang pada tahun 2011, ketika kondisi ekonomi Eropa semakin memburuk dan lebih dikenal dengan krisis PIGS. Negara-negara seperti Yunani, Portugal, dan Spanyol menghadapi masalah utang yang sangat besar, yang mengancam stabilitas ekonomi global. Krisis ini berakar dari masalah utang yang menumpuk di negara-negara tersebut, yang menyebabkan kekhawatiran besar mengenai kemampuan mereka untuk memenuhi kewajiban finansial. Akibat dari masalah utang tersebut, yield obligasi utamanya negara Yunani dan Portugal meningkat tajam.
Yield Obligasi
Yield Obligasi Portugal. Source: investing.com
Yield Obligasi Yunani. Source: investing.com
Pada tahun 2011 Yield obligasi pemerintah negara PIGS, terutama Yunani dan Portugal, melonjak tajam. Karena investor menuntut premi risiko yang lebih tinggi, untuk membeli obligasi dari negara-negara yang dianggap berisiko tinggi. Sementara itu, indeks market keempat negara tersebut juga mengalami koreksi.
Indeks Portugal
Indeks Portugal. Source: investing.com
Bursa negara Portugal pada saat Krisis PIGS ini terjadi mengalami koreksi mencapai lebih dari -40%.
Spanyol
Indeks Spanyol. Source: investing.com
Selanjutnya bursa Spanyol juga mengalami koreksi mencapai lebih dari -50%, disaat krisis PIGS ini terjadi…
Indeks Yunani. Source: investing.com
Bursa Yunani menjadi bursa paling terdampak dari krisis PIGS ini, dengan koreksi mencapai lebih dari -80%…
Italia
Indeks Italia. Source: investing.com
Sementara itu, bursa Italia juga mengalami koreksi cukup dalam mencapai -45%. Akan tetapi koreksi dari bursa Italia ini tidak sedalam keempat negara PIGS lainnya.
Selain itu, ketidakpastian kondisi global yang disebabkan oleh Krisis PIGS ini direspon negatif oleh market Indonesia. Di mana pada saat itu IHSG kembali terkoreksi lebih dari 20%. Krisis ini menyebabkan banyak investor global menarik dananya dari pasar saham negara berkembang, termasuk Indonesia. Namun, setelah ketegangan mereda, pasar Indonesia kembali menunjukkan daya tahan dan mulai pulih. Meskipun membutuhkan waktu untuk sepenuhnya kembali ke jalurnya.
Taper Tantrum
Setelah krisis keuangan global 2008, The Fed menerapkan kebijakan Quantitative Easing (QE) untuk merangsang ekonomi yang lesu dengan cara membeli obligasi pemerintah AS dan sekuritas lainnya. Tujuan dari QE adalah untuk menurunkan suku bunga jangka panjang, memberikan likuiditas kepada pasar, dan mendorong investasi serta konsumsi.
Namun, pada Mei 2013, Ben Bernanke, Ketua The Fed pada waktu itu, mengungkapkan bahwa The Fed berencana untuk mengurangi, atau “taper,” pembelian obligasi, jika ekonomi AS menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Pernyataan ini mengejutkan pasar, yang sudah terbiasa dengan stimulus moneter yang besar. Pasar merespons dengan reaksi negatif yang sangat kuat, yang dikenal dengan istilah Taper Tantrum.
Imbal Hasil Obligasi AS. Source: investing.com
Pernyataan dari ketua The Fed tersebut memicu lonjakan tajam imbal hasil obligasi AS, dari sekitar 1.6% di awal 2013 menjadi mendekati 3% di akhir tahun. Kenaikan Yield ini menunjukkan kekhawatiran investor terhadap potensi kenaikan suku bunga dan pengetatan likuiditas di pasar. Dampaknya tak hanya dirasakan di AS, tetapi juga mengguncang pasar negara berkembang – termasuk Indonesia yang mengalami pelemahan Rupiah, serta tekanan di pasar saham dan obligasi.
Nilai Tukar Rupiah. Source: tradingview.com
Dampak dari fenomena taper tantrum sangat terasa di Indonesia. Nilai tukar Rupiah mengalami pelemahan yang cukup signifikan. Pada awal tahun 2013, nilai tukar berada di kisaran Rp9.700 per USD. Namun, setelah krisis tersebut terjadi, nilai tukar Rupiah melemah hingga menyentuh level Rp12.000 per USD.
Perlambatan Ekonomi China & Jatuhnya Komoditas
Pada tahun 2015, China mengalami salah satu krisis ekonomi terbesar dalam sejarah , dan memiliki dampak signifikan terhadap ekonomi global. Krisis ini disebabkan karena perlambatan pertumbuhan ekonomi yang tajam dan kejatuhan harga komoditas.
China, sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat, memiliki dampak besar terhadap perekonomian global. Sejak awal tahun 2000-an, Negara ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, berkat sektor manufaktur yang kuat, ekspor, dan investasi infrastruktur besar-besaran.
GDP China. Source: tradingeconomics
Namun pada tahun 2015, produk domestik bruto (PDB) China mulai melambat. Setelah bertumbuh pesat pada tingkat rata-rata 10% per tahun, laju pertumbuhan PDB China pada tahun 2015 hanya sekitar 6.9%, yang merupakan tingkat pertumbuhan terendah dalam 25 tahun terakhir. Meskipun masih relatif tinggi dibandingkan dengan negara maju, penurunan ini menciptakan ketidakpastian besar di pasar global yang sangat bergantung pada konsumsi China. Sehingga mempengaruhi permintaan komoditas global pada saat itu dan membuat harga komoditas global akhirnya jatuh.
Komoditas Global. Source: tradingeconomics
Tahun 2015 menjadi periode penuh tekanan bagi pasar komoditas global. Salah satu indikator yang paling mencerminkan kejatuhan harga-harga tersebut adalah S&P GSCI (Standard & Poor’s Goldman Sachs Commodity Index), sebuah indeks acuan yang melacak pergerakan harga berbagai komoditas utama dunia.
Indeks ini mencakup lebih dari 20 komoditas yang terbagi dalam sektor energi, logam, pertanian, dan peternakan. Karena bobot terbesar dalam S&P GSCI berada di sektor energi, terutama minyak mentah. Penurunan tajam harga minyak sepanjang 2015, memberikan tekanan besar terhadap performa indeks secara keseluruhan.
Sepanjang tahun 2015, S&P GSCI tercatat turun lebih dari 30%, mencerminkan penurunan tajam di hampir seluruh kategori komoditas.
Minyak Mentah Brent. Source: tradingeconomics
Paling parah harga minyak mentah jenis Brent anjlok dari kisaran USD110 per barel di akhir tahun 2014, ke bawah USD 40 per barel pada akhir tahun 2015.
Harga Batubara Global. Source: tradingeconomics
Tidak hanya itu, untuk harga batubara global juga mengalami penurunan dari USD 70 per ton pada awal tahun 2015, menjadi USD 50 per ton pada akhir tahun 2015.
Selain karena melambatnya perekonomian China, menguatnya dolar AS juga menambah tekanan terhadap harga komoditas pada saat itu. Karena mayoritas komoditas dunia dihargai dalam mata uang tersebut. Saat dolar menguat, komoditas menjadi lebih mahal bagi negara-negara non-AS, sehingga permintaannya cenderung melemah.
Pandemi Covid19
Pandemi Covid19 yang merebak sejak akhir tahun 2019, menjadi krisis global yang tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat. Tetapi juga mengguncang perekonomian dunia secara luas. Penyebaran virus yang cepat memaksa banyak negara untuk melakukan lockdown, membatasi aktivitas sosial, dan menutup berbagai sektor ekonomi.
Kebijakan tersebut memang penting untuk mengendalikan penyebaran virus, namun membawa dampak ekonomi yang sangat besar. Dengan adanya pandemi tersebut membuat banyak perusahaan yang menutup operasionalnya, dan mengakibatkan meningkatnya jumlah pengangguran pada saat itu.
Jumlah Pengangguran di AS. Source: tradingeconomics
Jumlah Pengangguran di Indonesia. Source: tradingeconomics
Sebagai gambaran, pada tahun 2020 lalu, jumlah pengangguran di Amerika Serikat dan Indonesia mengalami lonjakan yang cukup signifikan. Akibat adanya pandemi Covid19 dan penutupan berbagai perusahaan pada saat itu.
Perang Dagang I Dan II
Sebelumnya pada tahun 2018 lalu, perang dagang antara Amerika Serikat dan China sudah berlangsung. Perang dagang tersebut di mulai ketika defisit neraca perdagangan Amerika Serikat bertambah.
Neraca Perdagangan AS. Source: tradingeconomics
Imbasnya, pada tahun 2017 hingga awal 2018, neraca perdagangan Amerika Serikat mencatatkan peningkatan defisit secara signifikan. Kondisi ini mendorong Presiden Donald Trump untuk memberlakukan tarif impor tinggi terhadap China – yang memicu perang dagang antara dua ekonomi terbesar dunia. Meskipun pada tahun 2019 ketegangan sempat mereda dan ekonomi global mulai menunjukkan perbaikan, konflik dagang tersebut belum benar-benar usai.
Memasuki tahun 2025, tensi kembali meningkat. Amerika Serikat mengalami lonjakan defisit neraca perdagangan yang signifikan menjelang akhir 2024. Berdasarkan data dari Bureau of Economic Analysis (BEA), defisit perdagangan AS anjlok hingga menyentuh sekitar USD -125 miliar, menjadikannya defisit terdalam dalam lima tahun terakhir. Hal ini memunculkan kekhawatiran terkait ketidakseimbangan struktural dalam perdagangan internasional, terutama dengan negara-negara Asia, termasuk China.
Sebagai respons, Presiden Trump kembali mengambil langkah proteksionis dengan menerapkan tarif impor tinggi terhadap China. Hingga artikel ini ditulis, tarif impor yang dikenakan AS terhadap produk China mencapai 245%. Kebijakan ini tidak hanya menegangkan kembali hubungan kedua Negara. Tetapi juga berpotensi memberikan dampak luas terhadap stabilitas ekonomi global secara keseluruhan.
Dari berbagai krisis yang telah terjadi, terdapat pola yang cukup konsisten pada pasar Indonesia. Ketika terjadi koreksi tajam akibat krisis, pasar memang sempat tertekan. Namun, setelah kondisi mulai membaik, indeks cenderung rebound dan bahkan seringkali mengalami kenaikan yang lebih tinggi dibandingkan posisi sebelum krisis di mulai.***
###
DISCLAIMER ON:
Tulisan ini bukan rekomendasi jual dan beli. Semua data dan pendapat pada artikel adalah bersifat informasi yang mengedukasi pembaca, berdasarkan sudut pandang penulis pribadi. Risiko investasi berada pada tanggung jawab masing-masing investor. Do Your Own Research!
Temukan Artikel Analisa dan Edukasi Saham lainnya di Google News.