Artikel ini dipersembahkan oleh:
Daftar Isi
Apa itu Overconfidence?
Overconfidence merupakan salah satu jenis bias atau ketimpangan yang muncul secara alamiah, yang dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan seluruh manusia. Konsep bias sendiri lahir dari asumsi Behavioral Finance, suatu kajian yang meyakini bahwa ada pengaruh psikologis yang mempengaruhi investor dalam pengambilan keputusan investasi. Baca lagi artikel terkait Behavioral Finance pada link berikut ini…
[Baca lagi : Pengaruh Behavioral Finance Dalam Pengambilan Keputusan Investasi]
Bias overconfidence sendiri bisa didefinisikan sebagai kesalahan investor dalam meyakini kemampuan analisisnya yang mengarah pada prediksi yang keliru. Singkatnya, orang berpikir bahwa mereka lebih cerdas dan memiliki informasi yang baik daripada keadaan yang sebenarnya.
Studi empiris menunjukkan bahwa perilaku overconfident ini lebih banyak muncul ketika investor memasuki sesi perdagangan pra-pembukaan (DeBondt, 1993; Kirchler dan Maciejovsky, 1992) dan ketika pasar dalam posisi bullish setelah berita bagus memasuki pasar (La Porta, 1996; Ritter, 1991; Sheffrin, 2000; Tvede, 2000, Daniel et al. 1998).
Implikasi dari bias ini adalah investor cenderung merasa bahwa analisis yang menjadi dasar keputusan transaksinya telah benar walaupun nyatanya tidak demikian. Contoh kasusnya, seorang investor baru saja mendapat tips tokcer dari broker dan membaca artikel (yang menurutnya sangat informatif) tentang trading di internet. Setelah mendapatkan informasi tersebut, ia merasa siap untuk mengambil tindakan. Akhirnya ia pun nekat melakukan trading saham berdasarkan pengetahuan baru yang ia rasa akan membawa keuntungan baginya.
Padahal, ilmu yang dimiliki oleh investor ini belum komprehensif dan masih banyak hal yang harus dipelajari. Beruntung bila ia kebetulan mendapatkan return yang sesuai ekspektasinya. Bagaimana kalau ternyata ia malah rugi?
Apa yang Menyebabkan Investor Berperilaku Overconfidence?
Asumsi Behavioral Finance menjelaskan, ada dua hal yang menyebabkan investor cenderung percaya diri berlebihan. Pertama, semua orang menilai dirinya positif. Kedua, secara psikologis, semua orang ingin mengendalikan situasi dan lingkungan sekitar dirinya dan merasa mampu untuk melakukan itu.
Lalu, apakah benar overconfidence bisa membahayakan investasi Anda?… Jika Anda masih skeptis dengan dampak buruk yang bisa terjadi karena perilaku overconfidence, mari kita lihat kisah nyata di mana perilaku ini membawa kerugian besar bagi investor.
Menjelang akhir 1920-an, John Maynard Keynes, pemenang Nobel sekaligus ekonom paling berpengaruh di dunia pada abad 20, dikenal atas keahliannya berdagang mata uang, komoditas, dan saham. Portofolio pribadinya pun penuh dengan saham beberapa perusahaan di Inggris dan kontrak berbagai komoditas.
Sebelum tragedi Depresi Besar tahun 1929, teman Keynes yang bekerja sebagai bankir Swiss sempat menasihatinya untuk tidak menyimpan, apalagi membeli saham, mengingat suramnya situasi di bursa saat itu. Namun, Keynes dengan penuh percaya diri bersikeras untuk menyimpan, bahkan menambah portofolionya. Beberapa saat sebelum terjadi depresi ekonomi di seluruh dunia, Keynes dengan yakin berkata:
“Kita tidak akan mengalami crash di zaman ini.”
Akibat kepercayaan diri yang berlebihan, portofolio Keynes pun tersapu depresi dan hanya tersisa seperempatnya. Sejak saat itu, Keynes pun percaya harga saham tidak hanya dipengaruhi oleh faktor fundamental.
Gejala Investor yang “Terserang” Overconfidence dan Dampaknya
Dari penjelasan di atas, apakah Anda berpikir:
“Syukurlah saya tidak memiliki perilaku overconfidence!”
Eits, jangan dulu bernafas lega! Banyak orang yang tidak menyadari bahwa dirinya “terserang” perilaku overconfidence atau kasarnya bisa disebut “sok tahu dan sok pintar”. Nah untuk itu, mari kita lihat bersama-sama gejala investor overconfidence dan dampak buruknya menurut Michael M. Pompian dalam bukunya yang berjudul Behavioral Finance and Wealth Management.
#1 Terlalu Yakin atas Kemampuannya Sendiri untuk Mengidentifikasi Suatu Perusahaan Sebagai Pilihan Investasi yang Potensial
Gejala:
Investor overconfidence terlalu yakin atas kemampuan mereka dalam mengidentifikasi suatu perusahaan sebagai pilihan investasi yang potensial. Mereka merasa bahwa analisis yang mereka lakukan benar dan prediksi mereka sudah tepat. Dengan begitu, mereka pun tak ragu-ragu untuk menaruh seluruh sahamnya di perusahaan tertentu.
Mereka pun mengesampingkan informasi negatif yang mengindikasikan peringatan bahwa pembelian saham tidak boleh dilakukan atau saham yang sudah dibeli harus dijual. Hal ini disebabkan karena mereka terlalu yakin dan percaya pada pandangan dan pengetahuan mereka sendiri sehingga informasi lain yang mereka dapat tidak terlalu mereka hiraukan.
Dampak:
Setelah membutakan diri terhadap prospek kerugian perusahaan yang mereka percayai, barulah mereka terkejut dan kecewa setelah kinerja investasinya buruk.
#2 Transaksi Berlebihan Karena Menyangka Keputusannya Benar
Gejala:
Investor yang terlalu percaya diri cenderung melakukan perdagangan secara berlebihan karena mereka percayaan bahwa mereka memiliki pengetahuan khusus yang tidak dimiliki orang lain. Mereka juga berpikir bahwa semakin sering memasuki pasar, akan semakin banyak pula keuntungan yang bisa didapat.
Dampak:
Fakta menunjukan bahwa mereka yang sering memasuki hanya akan selalu tergoda untuk melakukan transaksi bahkan yang tidak menguntungkan sekalipun. Perilaku perdagangan yang berlebihan pun telah terbukti berakibat pada meningkatnya biaya transaksi termasuk kalkulasi pajaknya, sehingga peluang memperoleh keuntungan nihil atau bahkan mengalami kerugian.
Analis saham dan investor ternama asal Amerika Serikat Jesse Livermore pernah mengatakan:
“Jangan mencoba bermain pasar sepanjang waktu. Itu tidak bisa dilakukan, terlalu memainkan emosi.”
#3 Meremehkan Risiko Penurunan
Gejala:
Investor yang terlalu percaya diri, terutama mereka yang yakin akan kemampuannya memprediksi, cenderung meremehkan risiko penurunan. Sikapnya ini membuat mereka tidak mempertimbangkan kemungkinan timbulnya kerugian dalam portofolio mereka. Hal ini bisa jadi disebabkan karena mereka tidak tahu, tidak mengerti, atau tidak mengindahkan statistik kinerja investasi historis.
Dampak:
Akibatnya, mereka bisa saja secara tidak terduga memiliki kinerja portofolio yang buruk.
#4 Portofolio Tak Terdiversifikasi
Gejala:
Investor yang terlalu percaya diri memiliki portofolio yang tidak terdiversifikasi karena sudah terlalu yakin bahwa perusahaan yang ia pilih akan memberikan return tinggi.
Selain itu, tak sedikit investor menolak diversifikasi karena berpikir seperti ini:
“Jika tujuan investasi saham kita adalah memaksimalisasi keuntungan dan bukan meminimalisasi risiko, mengapa kita harus melakukan diversifikasi?”
“Diversifikasi akan membuat kita tidak gesit dalam menghadapi pasar yang bearish.”
“Diversifikasi itu cocok untuk investor awam yang tidak yakin akan kemampuan pemilihan sahamnya.”
“Bill Gates tak akan menjadi manusia terkaya dunia jika dia menerapkan diversifikasi.”
“Jika kita melakukan diversifikasi, return portofolio kita akan sekitar return pasar.”
Dampak:
Investor yang berpikir seperti di atas tidak memahami bahwa jika ia tidak mengalokasikan aset secara strategis, mereka dapat menanggung risiko lebih besar daripada yang bisa mereka tolerir. Investor tentu merasa hebat dan semakin percaya diri saat mendapat return maksimal, tapi mereka baru benar-benar mengetahui pentingnya meminimalisasi risiko dengan diversifikasi saat sudah merasakan rugi.
Apa yang Harus Dilakukan untuk Menghindari Perilaku Overconfidence?
Terlalu percaya diri adalah salah satu bias paling merugikan yang dapat dimiliki oleh seorang investor. Pasalnya, kepercayaan diri Anda memperlakukan portofolio Anda secara buruk. Contohnya seperti meremehkan risiko penurunan, terlalu sering trading untuk mengejar “saham panas “, memegang portofolio yang kurang berkembang, dan tidak melakukan diversifikasi.
Keempat sikap tersebut dapat menimbulkan bahaya serius bagi kekayaan Anda ! Setelah Anda mengetahui gejala serta dampaknya, kini waktunya Anda mengetahui solusi untuk menghindari perilaku overconfidence.
Kira-kira apa saja solusinya?
#1 Lakukan Diversifikasi terhadap Investasi Anda
Diversifikasi adalah sebuah teknik yang digunakan untuk mengurangi risiko dengan mengalokasikan aset Anda ke dalam beberapa instrumen investasi. Sebagian besar pakar investasi setuju bahwa meski tidak menjamin seorang investor akan terhindar dari kerugian, diversifikasi merupakan strategi yang cukup efektif untuk diaplikasikan dalam perencanaan investasi di saham jangka panjang.
Konsep diversifikasi ini sendiri dapat dianalogikan dengan keranjang telur. Sebaiknya, Anda tidak meletakan seluruh telur yang Anda miliki dalam satu keranjang. Kira-kira kenapa? Jawabannya, kalau keranjangnya jatuh maka semua telur yang Anda miliki pecah semua.
Untuk itu, diversifikasi investasi itu penting untuk meminimalisasi risiko kerugian.
Investor sukses asal Amerika Serikat Warren Buffet pun menyatakan:
“Diversifikasi adalah perlindungan terhadap ketidaktahuan. Sangat tidak masuk akal bila Anda mengetahui apa yang Anda lakukan.”
Tapi, perlu diperhatikan agar mendiversifikasi portofolio sesuai kebutuhan dan rencana yang matang. Jangan sampai portofolio Anda terlalu terdiversifikasi (over-diversified). Mempunyai terlalu banyak jenis investasi dalam portofolio justru malah membuat Anda sulit memperoleh keuntungan besar dari salah satunya. Nah, supaya Anda bisa melaksanakan diversifikasi dengan tepat. Anda bisa mereview kembali artikel mengenai diversifikasi, di bawah ini…
[Baca lagi : Strategi Diversifikasi Investasi Saham]
#2 Stop Overtrading
Sebuah studi menganalisis kegiatan trading dari 10.000 klien di perusahaan pialang. Studi ini ingin memastikan apakah trader yang melakukan trading dengan intensitas tinggi menghasilkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi.
Setelah menghitung pajak dan biaya lainnya untuk memenuhi kebutuhan likuiditas, studi tersebut menemukan bahwa performa saham yang dibeli lebih rendah dibanding saham yang dijual, mencapai 5% dalam satu tahun dan 8,6% selama dua tahun. Dengan kata lain, semakin aktif investor ritel, semakin sedikit uang yang mereka hasilkan.
Studi ini diulang berkali-kali di banyak pasar dan hasilnya selalu sama. Dengan demikian, disimpulkan bahwa para trader, “pada dasarnya mengeluarkan biaya untuk kehilangan uang.” Dari studi tersebut, kita bisa melihat bahwa banyak investor overconfidence yang yakin bahwa mereka dapat secara konsisten memanfaatkan pasar, namun realitanya sudah banyak bukti yang menyatakan sebaliknya.
Overtrading atau terlalu sering melakukan trading malah mengurangi keuntungan karena trader harus membayar biaya trading tersebut. Solusi yang bisa Anda lakukan untuk menahan diri adalah:
- Susun rencana trading dan terapkan dengan disiplin
- Latih kesabaran dan tekan ego Anda
- Pikirkan matang-matang sebelum Anda melakukan trading
Pahami juga bahwa ketika Anda melakukan aktivitas trading, Anda melawan komputer, investor institusi, dan pihak lain di seluruh dunia dengan data dan pengalaman yang lebih baik dari Anda.
#3 Perbanyak Investasi
Perbanyak kegiatan investasi, di mana Anda menanam modal di perusahaan yang sudah stabil sehingga modal tersebut tumbuh secara pasif. Dengan meningkatkan time frame Anda, mirroringindex, dan mengambil keuntungan dari dividen, Anda bisa membangun kekayaan Anda perlahan tapi pasti.
#4 Coba untuk Bertukar Ilmu dengan Investor Lain
Agar tidak terlalu percaya diri, cobalah bergabung dengan komunitas investor dan sering lah berdiskusi dengan investor handal. Dengan demikian, Anda akan menyadari bahwa ilmu Anda masih belum ada apa-apanya dibanding para investor lain.
Apakah Anda Seorang Investor yang Overconfidence?
Apakah Anda pernah atau bahkan masih melakukan perilaku merugikan yang telah diidentifikasi di atas? Sebuah penelitian menunjukkan bahwa umumnya investor terlalu percaya diri terhadap kemampuan investasi mereka. Walau begitu, seluruh perilaku ini tentu saja dapat dihindari.
Cara meredam kepercayaan diri berlebih adalah dengan bersikap tenang dan menahan keinginan untuk percaya bahwa informasi dan intuisi Anda lebih baik daripada yang ada di pasar.
“Too many people overvalue what they are not and undervalue what they are.” –Malcolm S. Forbes
Sumber Referensi: