Artikel ini dipersembahkan oleh:
Daftar Isi
Kegagalan Investor Seringkali Disebabkan oleh Faktor Internal
Sebagai seorang investor, tentu Anda ingin sukses dengan mendapatkan imbal hasil yang tinggi tanpa risiko. Tapi, sadarkah Anda bahwa salah satu tantangan terbesar bagi kesuksesan diri kita adalah ketika kita salah mengambil langkah saat berinvestasi?
Keputusan yang salah diambil dapat dipengaruhi oleh bias kognitif yang secara alami terjadi pada setiap manusia. Michael M. Pompian dalam bukunya yang berjudul Behavioral Finance and Wealth Management menyatakan bahwa perilaku bias dalam berinvestasi terbagi atas dua jenis, bias kognitif dan bias emosi.
Bias kognitif adalah kesalahan dalam berpikir, menilai, mengingat, atau proses kognitif lainnya yang menyebabkan orang-orang membuat “realitas sosial subjektif” mereka berdasarkan persepsi mereka sendiri. Sementara bias emosi adalah kecenderungan untuk mengambil tindakan berdasarkan perasaan daripada fakta.
Nah, jika Anda ingat beberapa waktu yang lalu saya juga sudah membahas mengenai Behavioral Finance ini. Untuk review lagi, baca artikelnya melalui link di bawah ini :
[Baca lagi : Pengaruh Behavioral Finance]
Kedua bias ini dapat mempengaruhi investasi Anda secara negatif jika Anda tenggelam di dalamnya. Meski begitu, Anda bisa kok mengatasi bias tersebut. Salah satunya dengan mengenali sejumlah perilaku-perilaku yang menjadi “threath” bagi investasi Anda…
Waspadai 7 Perilaku yang Bisa menjadi “Threath” bagi Investasi Anda !
Konsep bias yang telah dibahas di atas merupakan bagian dari konsep besar Behavioral Finance. Konsep tersebut dirumuskan untuk membantu kita mengenali bias yang muncul secara naluriah, yang membuat kita membuat keputusan yang tidak logis dan tidak masuk akal ketika menyangkut investasi dan keuangan.
Diambil dari penelitian H. Kent Baker dan Victor Ricciardi yang melihat bagaimana bias berdampak pada perilaku investor, berikut adalah delapan bias yang dapat mempengaruhi keputusan investasi:
#1 Confirmation Bias
Pernahkah Anda menyadari bahwa Anda memberi bobot lebih pada informasi yang Anda setujui? Seberapa sering Anda menganalisis saham, kemudian meneliti laporan yang mendukung hipotesis Anda?
Dua hal di atas merupakan bentuk dari Confirmation Bias, di mana investor mencari informasi yang menegaskan apa yang mereka percayai dan mengabaikan informasi yang bertentangan dengan pendapatnya, bahkan membantahnya. Fenomena psikologis ini terjadi ketika investor menyaring fakta dan pendapat yang tidak sesuai dengan gagasan mereka sebelumnya padahal sebenarnya berpotensi bermanfaat.
Confirmation Bias ini dapat menyebabkan investor untuk membuat pilihan yang kurang optimal.
Coba kita lihat contoh berikut ini:
“Seorang investor mendengar desas-desus bahwa perusahaan A sedang di ambang kebangkrutan.
Berdasarkan informasi ini, investor ini mempertimbangkan untuk menjual seluruh sahamnya di perusahaan A. Sebelum menjual sahamnya, ia mencari berita-berita terbaru tentang perusahaan A di internet. Tapi, ia hanya membaca berita yang mengkonfirmasi kemungkinan kebangkrutan.
Padahal selain isu tersebut, ada banyak berita yang menyatakan bahwa perusahaan A baru saja meluncurkan produk baru yang diprediksikan akan memperbaiki kinerja perusahaan dan meningkatkan penjualan.
Alih-alih mempertahankan sahamnya, investor tersebut malah menjual rugi sahamnya. Ternyata 6 bulan kemudian, berbeda dengan prediksinya, harga saham perusahaan A naik ke titik tertingginya sepanjang masa.”
Apa pelajaran yang bisa Anda ambil dari cerita di atas?
Ya, Anda tidak bisa mengonsumsi informasi yang sesuai dengan perspektif Anda saja. Seorang perencana keuangan asal Amerika Peter Lazaroff, CFA, CFP®, menceritakan pengalamannya saat menjadi pembicara di forum Midwest Private Wealth di Chicago.
Saat sedang membahas topik investasi, salah seorang peserta memberi pertanyaan:
“Apa kesalahan terbesar yang pernah Anda lihat dari para investor?”
Lazaroff menyebut Confirmation Bias sebagai sebuah kesalahan yang kerap dilakukan para investor karena mereka mengandalkan informasi yang tidak komprehensif untuk mengambil keputusan. Akibatnya?
Untuk itu, Anda sebagai investor harus waspada akan fenomena ini. Lalu, apa yang harus dilakukan untuk mengatasi bias ini dan membuat keputusan yang lebih baik?
Rajin Mencari Informasi yang Bertentangan dengan Pendapat Anda
Langkah pertama untuk mengatasi Confirmation Bias adalah mengakui bahwa bias ini ada. Setelah seorang investor mengumpulkan informasi yang mendukung pendapat dan keyakinan mereka tentang investasi tertentu, mereka harus rajin-rajin mencari gagasan alternatif yang menantang sudut pandang mereka. Hal ini diperlukan untuk memperkaya informasi Anda dan tidak terkukung dalam penilaian subjektif Anda sendiri.
Buatlah Daftar Pro dan Kontra
Setelah menemukan informasi-informasi yang ada, susun informasi tersebut ke dalam daftar pro-kontra. Dengan begitu Anda bisa menilai kembali dengan pikiran terbuka.
Meminta Pendapat Sang Ahli
Sebelum mengambil keputusan, ada baiknya Anda meminta pendapat orang-orang yang lebih berpengalaman di bidang investasi. Misalnya teman dekat Anda yang sudah lebih dulu terjun di dunia investasi, penasihat keuangan, atau broker. Anda bisa bertukar pikiran sehingga bisa membentuk kesimpulan yang tidak bias.
#2 Loss Aversion Bias
Loss Aversion Bias mengacu pada kecenderungan orang yang lebih memilih menghindari kerugian ketimbang memperoleh keuntungan yang setara. Sederhananya, lebih baik tidak kehilangan Rp50.000 daripada menemukan Rp50.000. Perilaku ini bekerja saat seseorang harus membuat pilihan yang mencakup kemungkinan untuk kehilangan atau memperoleh keuntungan.
Misalnya, ketika membuat keputusan investasi, investor lebih fokus pada risiko yang dapat membahayakan investasi daripada potensi keuntungan yang didapat. Akibatnya, investor cenderung membuat keputusan yang buruk saat mencoba menghindari rasa sakit karena kehilangan.
Terlalu sering memeriksa portoflio Anda dapat membuat Anda lebih rentan terhadap Loss Aversion Bias. Karena kemungkinan untuk melihat kerugian dalam periode waktu singkat akan jauh lebih besar daripada jangka waktu yang lebih lama. Akibatnya, investor yang sering memeriksa portofolio mereka cenderung memilih investasi yang dengan risiko minim walaupun keuntungannya kurang optimal.
Sementara, investor jangka panjang sejati lebih bersedia mengalokasikan modalnya ke aset berisiko karena mereka tidak peduli dengan fluktuasi jangka pendek. Kita tidak bisa menghilangkan bias ini, tetapi kita dapat menyadarinya.
Dengan menyadari bias ini, tidak hanya mencegah kita untuk mengambil keputusan yang tidak rasional, tetapi juga membantu kita untuk mendapat lebih banyak keuntungan. Menahan portofolio Anda dalam waktu yang cukup lama dapat meningkatkan probabilitas imbal hasil yang positif.
Hasilnya, cara terbaik untuk meminimalisasi dampak buruk dari Loss Aversion Bias adalah menciptakan alokasi aset dengan tujuan jangka panjang serta mempertahankannya melalui rebalancing.
#3 Disposition Effect Bias
Para peneliti telah mengeksplorasi Disposition Effect selama bertahun-tahun, yang menggambarkan bagaimana investor lebih mungkin untuk menjual saham yang telah naik nilainya daripada yang telah turun nilainya. Fenomena tersebut dikenal juga dengan “Sell Winners Too Early and Hold Losers Too Long“ atau “Menjual Pemenang Terlalu Cepat dan Berpegang pada Pecundang Terlalu Lama”.
Dalam praktiknya, investor mempertahankan investasi yang tidak lagi memiliki keuntungan dan terlalu cepat menjual investasi yang tinggi imbal hasilnya untuk menutupi kerugian sebelumnya, padahal investasi ini masih berpeluang besar untuk mencapai titik tertingginya. Dalam hal pengambilan keputusan, perilaku ini jelas didorong oleh kecenderungan manusia untuk menghindari kerugian.
Coba kita buat contoh kasusnya:
“Anda membeli dua saham yang masing-masingnya bernilai Rp500.000. Selang beberapa waktu setelah pembelian, salah satunya meningkat menjadi Rp600.000 dan yang lainnya jatuh ke Rp400.000. Ketika Anda terpaksa harus menjual salah satu saham Anda, saham mana yang akan Anda jual?”
Penelitian menunjukkan bahwa seorang investor lebih cenderung menjual saham mereka yang bernilai Rp600.000 ketimbang menjual saham seharga Rp 400.000. Sederhananya, para investor tidak ingin menerima kerugian dalam berinvestasi. Saham yang jelek itu sengaja dipertahankan karena mereka masih menggantungkan harapan agar saham itu dapat merangkak naik suatu saat.
Mengacu pada contoh di atas, keputusan yang benar adalah menjual saham yang jelek, menerima kerugian tersebut, dan membiarkan saham pemenang “berlari” lebih jauh. Tidak banyak investor yang bersedia menerima “kekalahan” dalam bermain saham dan malah mengharapkan hal yang belum tentu terealisasi. Anda harus sadar bahwa ini adalah pemikiran yang berbahaya bagi performa investasi Anda!
#4 Hindsight Bias
Bias ini menyebabkan orang cenderung melihat suatu hasil sebagai sesuatu yang tidak dapat terhindarkan, serta melebih-lebihkan kemampuan mereka dalam memprediksikan hal tersebut sebelumnya (Fischhoff, 1975; Hawkings & Hastie, 1990). Investor harus berhati-hati dalam mempercayai kemampuan mereka sendiri untuk memprediksi bagaimana kejadian saat ini akan berdampak pada kinerja masa depan sekuritas. Karena pada akhirnya, imbas dari bias ini adalah investor tidak mendapatkan pembelajaran dari pengalamannya karena merasa ia sudah mengetahui semua hal yang akan terjadi di pasar.
Bias ini juga dapat membuat seseorang terlalu percaya diri dan terlalu yakin atas penilaian dirinya sendiri. Padahal menurut studi yang pernah meneliti tentang hal ini, investor yang terlalu percaya diri cenderung mengambil keputusan yang berisiko karena ia kurang informasi. Keputusan tersebut pun cenderung gagal menghasilkan imbal hasil investasi yang signifikan. Terlalu percaya diri juga dapat menyebabkan seseorang memilih saham bukan karena kinerja keuangan mereka, tetapi untuk alasan pribadi yang lebih subjektif.
#5 Familiarity Bias
Apakah Anda mengenal seseorang yang hanya mau berbelanja di satu toko selama bertahun-tahun? Atau apakah Anda mengenal seorang teman yang selalu pesan satu menu yang sama di sebuah restoran?
Mereka tetap berpegang teguh dengan apa yang mereka ketahui dan menghindari apa yang tidak mereka ketahui. Ini adalah contoh Familiarity Bias. Perilaku ini mungkin tidak berbahaya dalam kehidupan sehari-hari, tetapi bisa berimbas buruk bagi investasi Anda. Bias yang satu ini merupakan perilaku yang cukup sering ditemukan dalam diri investor.
Contoh yang paling sering didapati adalah ketika investor hanya membeli saham yang perusahaannya sudah mereka percaya atau yang produknya sering mereka gunakan dan nikmati. Memang tidak salah untuk melakukan hal tersebut, namun perilaku ini dapat mengarahkan investor ke jalan yang kurang tepat, misalnya imbal hasil yang Anda dapatkan sangat kecil.
#6 Self-Attribution Bias
Investor yang mengalami Self-Attribution Bias menganggap keberhasilan investasinya murni berkat kemampuan dirinya sendiri dalam memprediksi dan menganalisis. Namun, jika terjadi kegagalan, investor akan selalu menyalahkan faktor eksternal. Bias ini muncul sebagai sarana perlindungan diri. Bahaya yang dapat muncul atas bias ini mirip dengan bias sebelumnya, di mana para investor tidak bisa menilai keadaan secara objektif dan melebih-lebihkan kemampuan dirinya.
Investor tersebut juga cenderung tidak mengevaluasi kemampuan diri dan tidak juga menambah pengetahuan karena menyalahkan faktor-faktor eksternal sebagai musabab kegagalannya.
#7 Trend-Chasing Bias
Bias ini bisa dibilang bias yang paling sering melekat pada diri banyak investor. Investor percaya bahwa mereka dapat memprediksi masa depan dengan mempelajari masa lalu. Para peneliti Behavioral Finance menemukan bahwa 39% dari seluruh uang segar yang baru disetorkan di reksa dana ditempatkan di 10% Manajer Investasi dengan kinerja terbaik di tahun sebelumnya. Di sini, para investor dianggap terlalu mempercayai kinerja masa lalu. Padahal, kinerja masa lalu tidak menunjukkan hasil di masa depan.
Manusia memang memiliki bakat luar biasa untuk mendeteksi pola, dan ketika mereka menemukannya, mereka mempercayai validitasnya. Padahal, walaupun pola pasar bisa dideteksi dan ditemukan, realitanya kondisi pasar jauh lebih acak dan terkadang bisa menjadi unpredictable. Terlebih lagi, banyak emiten yang memanfaatkan bias ini dengan meningkatkan promosi ketika kinerja mereka di masa lalu cemerlang untuk menarik investor baru.
Studi dari University of California menemukan bahwa investor yang membuat keputusan berdasarkan kinerja masa lalu seringkali mencapai hasil yang paling buruk dibandingkan dengan investor yang lain. Untuk menyelamatkan kondisi investasi Anda, Anda bisa memanfaatkan kondisi ini dengan gunakan pendekatan Warren Buffett; beli ketika yang lain takut dan jual ketika mereka percaya diri. Mengikuti kawanan jarang menghasilkan keuntungan besar.
Tenang dan Jadilah Open Minded
Apakah Anda melihat diri Anda dalam salah satu bias ini? Jika iya, pahamilah bahwa cara terbaik untuk menghindari jebakan emosi manusia adalah dengan bersikap tenang dan yang terpenting adalah memahami aturan dalam trading. Termasuk menjual saham jika turun sejumlah persen, tidak membeli saham setelah persentasenya naik sebesar angka tertentu, dan tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan.
Sebagai manusia, Anda memang tidak dapat menghindari semua bias di atas karena itu terjadi secara alami, tetapi Anda selalu bisa meminimalkan kerugian dalam aktivitas trading Anda.
Sumber Referensi :
- Kriswangsa Bagus Kusuma Yudha |April 2nd, 2018. Waspada! 7 Perilaku ini Dapat Membahayakan Investasi Anda!. https://www.finansialku.com/waspada-perilaku-yang-membahayakan-investasi/