Perkembangan Perbankan Syariah

Perkembangan Perbankan Syariah dan Prospeknya di Pasar Modal Indonesia


Terakhir diperbarui Pada 19 July 2019 at 4:13 pm

Indonesia adalah salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Muslim, tentunya hal itu akan mendorong peningkatan kinerja industri Syariah, termasuk di dalamnya adalah Perbankan Syariah. Maka tidak heran, jika belakangan ini banyak bank konvensional yang mulai memperlebar sayap bisnisnya ke institusi syariah ataupun unit usaha syariah (UUS). Beberapa Bank Syariah pun sudah ada yang mencatatkan sahamnya di BEI. Seperti apa prospek Perbankan Syariah ke depannya?

 

Apa Itu Perbankan Syariah ?

Secara sederhana, Perbankan Syariah juga dikenal sebagai perbankan Islam. Di mana dalam pelaksanaannya perbankan syariah memiliki landasan hukum sesuai syariat Islam. Salah satunya adalah perbankan syariah tidak mengenal adanya “bunga pinjaman” atau interest rate, dikarenakan bunga pinjaman di nilai riba/haram dan akan berdosa. Sehingga dalam operasionalnya perbankan syariah menerapkan “sistem bagi hasil” atau Nisbah, di mana prosesnya sama-sama diketahui dan disetujui oleh pihak bank maupun pihak nasabah pada saat akad (perjanjian) ditandatangani. Sistem bagi hasil yang dilakukan bank syariah adalah dengan cara profit sharing, yakni membagi keuntungan bersih dari usaha atau investasi yang sudah dijalankan.

Adapun akad yang diterapkan oleh bank syariah terdiri dari tiga macam yakni : Pertama, Akad Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara nasabah dan bank. Di mana nasabah memberikan modal usaha, dan bank menjadi pihak penyelenggara yang melakukan usaha. Dengan ketentuan jika kerugian dilakukan nasabah maka akan ditanggung oleh nasabah itu sendiri. Sebaliknya jika bank yang melakukan kesalahan maka yang bertanggung jawab adalah pihak bank. Akad Mudharabah ini biasanya dilakukan dalam deposito syariah.

Kedua, Akad Musyarakah merupakan perjanjian kerja sama antara dua pihak/lebih untuk usaha tertentu, baik bank dan pihak yang terlibat sama-sama mengeluarkan modal dengan nilai yang sama dan menanggung risiko secara bersama-sama. Dan nantinya bank syariah akan mendapat pembagian keuntungan sesuai kesepakatan. Di sisi lain, bank syariah juga masih memiliki kemungkinan merugi bila kerja sama usaha itu gagal. Tentu kesepakatan itu berbeda dengan bank konvensional, akad musyarakah ini akan masuk dalam kredit modal kerja. Bank konvensional juga akan menetapkan jumlah suku bunga tertentu, dan dari sisi kerugian bank konvensional cenderung tidak akan merugi karena pinjaman itu harus dikembalikan berikut dengan bunganya.

Ketiga, Akad Murabahah digunakan berdasarkan aktivitas jual beli barang dengan tambahan keuntungan untuk bank syariah yang disepakati kedua belah pihak. Dan akad ini seringkali digunakan untuk perjanjian penggunaan produk kredit pembelian rumah (KPR), properti, tanah, kendaraan bermotor, tempat usaha, maupun yang lainnya. Adapun contohnya seperti : Bank syariah membeli tanah dengan harga Rp 150 juta, dan akan di jual lagi ke pembeli dengan harga Rp 170 juta. Baik bank dan pembeli sama-sama menyepakati perjanjian dengan tambahan keuntungan yang diperoleh bank sebesar Rp 20 juta. Sehingga nantinya pembeli akan mencicil seharga Rp 170 juta ke bank dengan cicilan tetap sampai tenor pinjaman selesai.

 

Nah kira-kira kalau diklasifikasikan perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional, adalah sebagai berikut :

Perbedaan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional
Bank SyariahBank Konvensional
1.Hanya melakukan investasi yang halal menurut hukum Islam.1.Melakukan investasi dalam bentuk apa saja.
2.Prinsip Bagi Hasil, jual-beli, ataupun sewa.2.Prinsip Suku Bunga.
3.Berorientasi pada keuntungan dan falah (kebahagiaan dunia dan akhirat sesuai ajaran Islam)3.Berorientasi pada bunga.
4.Hubungan dengan Nasabah, adalah bentuk “Kemitraan”.4.Hubungan dengan Nasabah, adalah bentuk “kreditur-debitur”.
5.Penghimpunan dan penyaluran dana sesuai fatwa Dewan Pengawas Syariah.5.Penghimpunan dan penyaluran dana tidak diatur oleh dewan sejenis.

 

Perkembangan Perbankan Syariah

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia di mulai sejak tahun 1983, bersamaan dengan adanya deregulasi perbankan. Di mana pemerintah Indonesia berencana untuk menerapkan “sistem bagi hasil” dalam perkreditan yang merupakan konsep dari perbankan syariah. Dan kemudian di tahun 1980, muncul sejumlah inisiatif pendirian bank Islam Indonesia melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Di tahun 1988, sudah lebih banyak bermunculan bank konvensional dan beberapa diantaranya untuk usaha perbankan yang bersifat daerah berasaskan syariah.

Perkembangan juga terlihat semakin masif di tahun 1990 dengan ditandainya Majelis Ulama Indonesia yang membentuk kelompok kerja (Tim Perbankan MUI) untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia. Sebagai hasil kerja kelompok kerja tersebut adalah berdirinya Bank Syariah Pertama di Indonesia, yakni PT Bank Muamalat Indonesia yang resmi berdiri pada November 1991.

 

 

Sayangnya keberadaan bank syariah saat itu belum mendapatkan perhatian jajaran perbankan nasional. Hal itu terkait dengan landasan hukum operasi perbankan yang memakai sistem syariah, yang mengacu pada UU berikut : “bank dengan sistem bagi hasil pada UU No. 7 Tahun 1992, tanpa rincian landasan hukum syariah dan jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Kemudian UU tersebut disempurnakan pada tahun 1998 menjadi : UU No. 10 Tahun 1998, terdapat dua sistem dalam perbankan di tanah air (dual banking system) yaitu sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan syariah. Hasilnya pun UU tersebut mendapatkan sambutan positif dari sejumlah perbankan melalui berdirinya beberapa Bank Islam, seperti Bank Syariah Mandiri, Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar, BPD Aceh, dan lainnya.

Sejak itu, muncullah sejumlah pengesahan produk perundangan yang memberikan kepastian hukum dan mendukung aktivitas pasar keuangan syariah. Di antaranya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (sukuk), dan UU No. 42 Tahun 2009 tentang Amandemen Ketiga UU No. 8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa. Tidak hanya itu, perbankan syariah sendiri sejak tahun 2013 untuk fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan syariah sudah berpindah dari Bank Indonesa ke Otoritas Jasa Keuangan. Kondisi itu tentu membuat pengawasan dan pengaturan perbankan syariah juga beralih ke OJK.

Dalam perkembangannya itu, ada hal yang menarik perhatian Penulis. Di atas tadi sudah Penulis sebutkan bahwa Bank Muamalat adalah bank syariah pertama di Indonesia, dan ternyata bank yang berasaskan syariah ini justru mampu melewati masa krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1998. Tentu kebalnya bank syariah terhadap krisis membuat banyak orang heran, mengapa bank syariah mampu bertahan dari krisis namun di waktu yang bersamaan justru banyak bank konvensional yang mengalami kejatuhan. Sejak saat itulah, mulai bermunculan Bank Syariah lainnya, seperti Bank Syariah Mandiri sebagai bank syariah kedua di Indonesia. Bank Syariah Mandiri sendiri merupakan gabungan dari beberapa bank yang dimiliki oleh BUMN yang kebetulan terkena dampak krisis saat itu. Dan hingga kini akhirnya kedua bank syariah tersebut cukup sukses dan mampu memantik munculnya bank syariah lainnya di Indonesia.

Hingga saat ini perkembangan Perbankan Syariah sudah cukup banyak, dan di antaranya tidak kalah saing dengan bank konvensional yang mendominasi pasar. Nah di bawah ini ada sejumlah perbankan syariah yang sudah beroperasional aktif di Indonesia :

 

Perbankan Syariah. Source : www.ojk.go.id

 

Perbankan Syariah Masuk ke Pasar Modal

Pada pembahasan di atas Penulis sudah menguraikan daftar perbankan syariah yang sudah aktif beroperasi berdasarkan data dari OJK. Sayangnya, perbandingan antara jumlah perbankan syariah dengan yang sudah melantai ke BEI sangat minim. Tercatat hingga saat ini, BEI mencatat baru ada tiga bank syariah yang sudah mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia yakni PT Bank BRIsyariah Tbk (BRIS), PT Bank BTPN Syariah Tbk (BPTS), dan PT Bank Panin Dubai Syariah Tbk (PNBS).

 

 

Bila diurutkan maka PNBS atau PT Bank Panin Dubai Syariah Tbk merupakan perbankan syariah yang pertama kali mencatatkan sahamnya di BEI pada 15 Januari 2014. Dengan harga perdana Rp 100 per saham dan melepas sekitar 4.75 juta saham atau setara 8.05%. Menyusul kemudian BTPS atau PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syariah Tbk juga melantai di BEI pada 8 Mei 2018. Dalam penawaran umum perdana saham nya, BTPS melepaskan sebanyak 770 juta lembar saham seharga Rp 975 per saham. Dan juga diikuti oleh BRIS atau PT Bank BRIsyariah Tbk yang juga resmi tercatat sebagai emiten di BEI pada 9 Mei 2019. Pada saat pencatatan saham, BRIS melepaskan sekitar 2.62 miliar lembar saham atau sebesar 27% dari modal ditempatkan dan disetor penuh setelah penawaran umum perdananya dengan harga sebesar Rp 510 per lembar.

 

Pasar Modal Syariah dan Indeks Syariah

Gimana sudah ada gambaran mengenai perbankan syariah ? Kali ini kita juga akan membahas, kalau ternyata penerapan “Syariah” ini tidak hanya diterapkan untuk di perbankan saja. Namun juga diterapkan untuk pasar modal Indonesia. Nah kira-kira apa sih pasar modal syariah itu ? Pasar modal syariah merupakan seluruh kegiatan di pasar modal yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, dan menjadi bagian dari industri keuangan syariah yang sudah di atur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Lahirnya pasar modal syariah ditandai dengan terbitnya reksa dana syariah pertama di tahun 1997. Kemudian disusul terbitnya Jakarta Islamic Index (JII) sebagai indeks saham syariah pertama yang terdiri dari 30 saham syariah paling likuid di Indonesia di tahun 2000, dengan sukuk pertama di Indonesia dengan menggunakan akad mudarabah. Adapun peraturan dari OJK tentang pasar modal syariah pertama dikeluarkan di tahun 2006, selanjutnya diterbitkan Daftar Efek Syariah (DES) di tahun 2007 sebagai panduan pelaku pasar memilih saham yang memenuhi prinsip syariah. Dan di tahun 2008, pemerintah menerbitkan UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. Sedangkan untuk kebangkitan pasar modal syariah diawali dengan peluncuran Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) sebagai indeks komposit saham syariah, yang terdiri dari seluruh saham syariah di BEI tahun 2011. Masih di tahun yang sama, Syariah Online Trading System (SOTS) juga diluncurkan oleh perusahaan efek.

Sejak saat itu pasar modal mulai membentuk sejumlah indeks saham syariah, yang terdiri dari : Pertama Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI), adalah indeks yang diluncurkan pada 12 Mei 2011 sebagai indeks komposit saham syariah yang tercatat di BEI. ISSI sendiri merupakan indikator dari kinerja pasar saham syariah Indonesia. Jika dilihat secara konstituen ISSI ialah seluruh saham syariah yang tercatat di BEI dan masuk ke dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang diterbitkan oleh OJK, itu berarti BEI tidak melakukan seleksi saham syariah yang masuk ke dalam ISSI. Dalam pelaksanaannya konstituen ISSI diseleksi ulang sebanyak dua kali dalam setahun, setiap bulan Mei dan November sesuai jadwal DES. Oleh karenanya, setiap periode seleksi berlangsung akan ada saham syariah yang keluar/masuk menjadi konstituen ISSI. Sedangkan untuk metode perhitungan ISSI mengikuti metode perhitungan indeks saham BEI lainnya.

Kedua Jakarta Islamic Index (JII) adalah indeks saham syariah yang pertama kali diluncurkan di pasar modal Indonesia pada 3 Juli 2000, dan hanya terdiri dari 30 saham syariah paling likuid yang tercatat di BEI. Dalam hal pelaksanaannya konstituen JII juga dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun, Mei dan November. Adapun kriteria likuiditas dalam konstituen JII ialah, saham syariah yang masuk ke konstituen ISSI sudah tercatat dalam 6 bulan terakhir, dipilih 60 saham berdasarkan urutan rata-rata kapitalisasi pasar tertinggi selama 1 tahun terakhir, nantinya dari 60 saham itu akan dipilih menjadi 30 saham berdasarkan rata-rata nilai transaki harian di pasar regular tertinggi, dan 30 saham terpilih itulah yang masuk ke konstituen JII.

Ketiga Jakarta Islamic Index 70 (JII70), merupakan indeks saham syariah yang diluncurkan oleh BEI pada 17 Mei 2018, dan konstituen JII70 hanya terdiri dari 70 saham syariah paling likuid yang tercatat di BEI. Pelaksanaannya pun juga sama dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun, Mei dan November. Adapun kriteria likuiditas yang digunakan untuk menyeleksi 70 saham syariah terdiri dari saham syariah yang masuk ke dalam konstituen ISSI dan tercatat selama 6 bulan terakhir, dipilih 150 saham berdasarkan urutan rata-rata kapitalisasi pasar tertinggi selama 1 tahun terakhir, dari sana akan diseleksi menjadi 70 saham berdasarkan rata-rata nilai transaksi harian di pasar regular tertinggi, dan ke 70 saham itulah sebagai saham terpilih.

 

Prospek Perbankan Syariah

Lantas akan seperti apa prospek dari perbankan syariah Indonesia, baik untuk bank syariah yang sudah tercatat di BEI maupun bank syariah yang belum tercatat ? Meskipun perbankan syariah memiliki prospektif yang cukup baik, lantaran sudah terbukti mampu melewati masa krisis ekonomi Indonesia di sekitar tahun 1998. Namun masih banyak orang yang menilai sistem bagi hasil yang dijalankan oleh bank syariah ini sangat riskan. Mengingat risiko yang ditanggung bank cukup besar, belum lagi mempertimbangkan dampak dari inflasi yang cenderung tidak stabil. Padahal faktanya, hampir rata-rata bank syariah di Indonesia mampu membuktikan bahwa sistem bagi hasil cukup menguntungkan. Apalagi saat ini semakin banyak bank konvensional yang juga ikut mengembangkan bisnisnya ke institusi syariah. Dan walaupun bank syariah belum mampu mendominasi pasar seperti halnya bank konvensional, namun bukan berarti bank syariah tidak memberikan layanan yang baik.

Apalagi Bank Indonesia sudah memproyeksikan perbankan syariah akan mengalami peningkatan pangsa pasar di sekitar tahun 2023 mendatang. Hal itu sejalan dengan rencana BI yang dalam waktu dekat akan menerbitkan instrumen Sukuk Bank Indonesia yang bisa dijadikan sebagai alternatif pembiayaan di pasar keuangan syariah. Bahkan nantinya ukuk ini bisa diperdagangkan kembali dan menjadi solusi jangka pendek untuk kebutuhan likuiditas perbankan, selain dari Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), Faslitas Bank Indonesia Syariah (FASBIS), Reverse Repo Syariah, dan Repo SBSN.

Dan bahkan juga perlu kita ingat, bahwa pada Mei 2019 kemarin pemerintah secara resmi sudah meluncurkan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) 2019 – 2024, sebagai pembuka jalan untuk bank syariah bisa masuk ke dalam 10 bank terbesar di Indonesia. Dengan adanya Masterplan Ekonomi Syariah, kedepannya nanti bank syariah tidak hanya menyalurkan keuangan saja tapi juga bisa terintegrasi secara menyeluruh. Dengan adanya Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia akan ada empat langkah yang bisa dijadikan untuk mendorong perbankan syariah, mulai dari penguatan halal value chain dengan fokus pada sektor yang dinilai potensial dan berdaya saing tinggi, penguatan sektor keuangan syariah dengan rencana induk yang sudah terdapat dalam Masterplan Aritektur Keuangan Syariah Indonesia (MAKSI), penguatan sektor UMKM sebagai penggerak utama halal value chain, dan penguatan di bidang ekonomi digital utamanya perdagangan dan juga keuangan.

 

Source : economy.okezone.com

 

Kesimpulan

Maka sudah bisa kita simpulkan bahwa perkembangan perbankan syariah belakangan ini sudah mendapatkan sorotan dari seluruh jajaran perbankan nasional. Tak terkecuali pemerintah pun yang kini juga turut memberikan dorongan untuk kemajuan perbankan syariah. Seperti dengan rencana Bank Indonesia yang dalam waktu dekat ini akan menerbitkan instrumen Sukuk Bank Indonesa sebagai alternatif pembiayaan di pasar keuangan syariah. Dan bahkan pemerintah juga secara resmi sudah meluncurkan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) 2019 – 2024, sebagai pembuka jalan untuk bank syariah bisa berpeluang memasuki jajaran 10 bank terbesar di Indonesia. Dengan begitu, kita tahu bahwa perbankan syariah ini memiliki prospektif yang cukup positif. Sayangnya meskipun akan terbuka peluang kedepannya, hingga saat ini baru tercatat ada tiga perbankan syariah yang baru mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Padahal untuk kegiatan di pasar modal pun saat ini sudah tersedia indeks saham syariah, sehingga seluruh kegiatan akan memenuhi syariat Islam dan terintegrasi dengan berbagai hal yang halal. Untuk itu, ada baiknya kita lihat sebesar apa peluang pertumbuhan perbankan syariah hingga beberapa tahun ke depan.

 

###

 

Info:

  • Monthly Investing Plan Agustus 2019 akan segera terbit. Anda dapat memperolehnya di sini.
  • Cheat Sheet LK Q2 2019 akan segera terbit, Anda dapat memperolehnya di sini.
  • E-Book Quarter Outlook LK Q2 2019 akan segera terbit. Anda dapat memperolehnya di sini.
  • Jadwal Workshop :
    • Workshop & Advance Value Investing (Surabaya, 20 – 21 Juli 2019) dapat dilihat di sini.
    • Workshop & Advance Value Investing (Jakarta, 3 – 4 Agustus 2019) dapat dilihat di sini.

 

Tags : Perkembangan Perbankan Syariah | Perkembangan Perbankan Syariah | Perkembangan Perbankan Syariah | Perkembangan Perbankan Syariah | Perkembangan Perbankan Syariah | Perkembangan Perbankan Syariah | Perkembangan Perbankan Syariah | Perkembangan Perbankan Syariah | Perkembangan Perbankan Syariah

1
Pastikan rekan Investor tidak ketinggalan Informasi ter-update

Subscribe sekarang untuk mendapatkan update artikel terbaru setiap minggunya

keyboard_arrow_leftPrevious
Nextkeyboard_arrow_right

2 Comments

  • Bayu A
    18 July 2019 at 1:00 PM

    keren nih buat teman-teman ku yang mau gabung di dunia pasar modal, jadi ada pilihan juga.

Komentar

Artikel Lainnya

Youtube Update

Our Social Media

Arsip Artikel