PMI Manufaktur Indonesia Kembali Kontraksi, Gara-Gara PSBB ?

PMI Manufaktur Indonesia Kembali Kontraksi, Gara-Gara PSBB ?


Pertumbuhan PMI manufaktur Indonesia sempat menurun tajam pada April 2020 yang lalu, menjadi sejarah sembilan tahun survei perkembangan manufaktur Indonesia. Per September 2020 kemarin, PMI manufaktur Indonesia kembali mengalami penurunan sebagai imbas dari pemberlakukan PSBB yang diperketat. Situasi tersebut ditandai dengan banyaknya pabrik yang harus tutup, manufaktur mana saja yang paling terdampak ? Dan bagaimana dengan prospek pertumbuhan sektor industri ke depannya ?

 

Kronologi Indeks PMI Manufaktur Indonesia Tumbuh Rendah 47.2

Pandemi Covid-19 yang masih berkepanjangan hingga saat ini, nampaknya bukan hanya memukul psikologis setiap orang. Namun juga memukul mundur hampir seluruh kegiatan produksi industri Indonesia, yang kemudian mengakibatkan perlambatan kegiatan ekonomi. Dampak buruk akibat pandemi Covid-19 ini sendiri, tercermin dari kapasitas produksi pabrik-pabrik yang mengalami penurunan cukup tajam.

Mengacu pada hasil survei IHS Markit Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia, pada April 2020 manufaktur Indonesia merosot tajam ke level 27.5, menunjukkan penurunan paling tajam pada kondisi operasional sejak pandemi Covid-19 global memuncak. Kemerosotan manufaktur saat itu, diakibatkan oleh PSBB yang dilakukan di berbagai wilayah Indonesia dalam menekan angka korban Covid-19. Sebagai hasilnya pun, sangat membebani tingkat produksi industri dan membuat banyak perusahaan harus tutup sementara waktu. Situasi tersebut tercermin dari tingkat pengeluaran industri yang tertekan akibat permintaan yang juga merosot, disertai juga dengan banyaknya pabrik tutup dan adanya larangan masuk yang mengganggu rantai pasokan. Imbasnya, produksi dan permintaan semakin melemah, hingga banyak perusahaan yang mengenakan PHK terhadap karyawannya.

Data Indonesia Manufacturing PMI. Source : tradingeconomics.com/indonesia/manufacturing-pmi

 

Dari grafik di atas terlihat, selepas bulan April 2020, survei IHS Markit PMI Indonesia di bulan selanjutnya terus menunjukkan perbaikan, seiring dengan kebijakan PSBB transisi yang agaknya memberikan ruang gerak aktivitas ekonomi kembali bangkit. Bahkan IHS Markit PMI Indonesia sempat mencatatkan survei paling tinggi di level 50.8 pada Agustus 2020, angka tersebut menjadi yang tertinggi selama pandemi Covid-19 ini. Seiring dengan pengeluaran produksi dan permintaan baru yang tumbuh, meski diwarnai dengan ancaman PHK yang masih terjadi.

Sayangnya, hasil survei IHS Markit PMI Indonesia periode September 2020 kemarin justru kembali menunjukkan penurunan dari sebelumnya di level 50.8 pada Agustus 2020, turun ke level 47.2 pada September 2020. Penurunan itu menjadi penurunan yang pertama kali sejak bulan April 2020 dan menandai bahwa industri manufaktur kembali melambat. Pasca pemberlakukan PSBB yang sempat diperketat lagi pada September kemarin.

Source : www.cnbcindonesia.com/news/anies-putuskan-psbb-total-pengusaha-ekonomi-makin-berat

 

Tak pelak, hal itu kembali menekan tingkat produksi dan permintaan yang kembali melemah. Hingga banyak perusahaan yang melakukan pengurangan kapasitas produksi dan penjualannya. Lho bukankah penurunannya tidak terlalu signifikan yah ?

Jika dilihat berdasarkan grafik memang tidak terlalu signifikan. Namun berdasarkan angka yang ditetapkan oleh IHS Market PMI Indonesia, level angka yang berada di bawah 50 sudah menunjukkan adanya kontraksi atau perlambatan. Sebaliknya, level angka yang berada di atas 50 menunjukkan adanya ekspansi atau kondisi netral.

Dan sebagai dampak PSBB yang diperketat itu, beberapa sektor industri mencatatkan penurunan utilitas, bahkan ada yang turun hingga ke bawah 50%. Mengutip katadata.co.id, berdasarkan informasi dari Asisten Deputi Pengembangan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Atong Soekirman, dalam Webinar Road to Indonesia Development Forum (IDF) 2021. Mengatakan, bahwa rata-rata utilitas sektor industri sebelum pandemi Covid-19 adalah sebesar 75% hingga 80%, namun pasca pandemi meluas utilitas terus menurun hingga ada yang di bawah 50%. Beberapa di antaranya adalah :

  • Utilitas industri makanan yang turun dari 78% menjadi 50%,
  • Utilitas industri minuman dari 77% turun menjadi 45%,
  • Utilitas industri pengolahan tembakau dari 65% turun menjadi 50%,
  • Utilitas industri tekstil dari 72% turun menjadi 30%,
  • Utilitas industri pakaian dari 84% turun menjadi 30%.
  • Utilitas industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki dari 80% turun menjadi 40%,
  • Utilitas industri kayu dan barang dari kayu dari 73% turun menjadi 40%,
  • Utilitas industri kertas dan barang dari kertas dari 76% turun menjadi 50%,
  • Utilitas industri pencetakan dan reproduksi media rekaman dari 74% turun menjadi 40%,
  • Utilitas industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia dari 74% turun menjadi 40%,
  • Utilitas industri farmasi dan produk obat kimia dari 74% turun menjadi 50%,
  • Utilitas industri karet dan barang dari karet dari 76% turun menjadi 40%,
  • Utilitas industri kendaraan bermotor dari 80% turun menjadi 20%.

Noted : Artikel ini ditulis pada 22 Oktober, data angka di atas merupakan angka tentatif yang mengalami perubahan seiring dengan perkembangan manufaktur.

 

Beberapa Manufaktur yang Terpaksa Tutup

Pertanyaannya kini, manufaktur mana saja yang terpaksa tutup selama pandemi Covid-19 ?

PSBB yang berlaku sampai saat ini, masih menahan laju ekspansi sektor industri. Hal itu tidak mengherankan, mengingat banyaknya kapasitas produksi yang belum terpakai karena menurunnya kegiatan ekonomi. Ditambah lagi dengan adanya pembatasan kapasitas kegiatan yang harus dilakukan oleh berbagai sektor industri manufaktur, sementara pembayaran sewa tetap berjalan. Tentu saja itu semakin membebani kinerja industri manufaktur, sehingga banyak pabrik yang memilih untuk menjual stok produk yang sudah ada, daripada memproduksi yang baru. Bahkan sebagian besar di antaranya, ada yang harus terpaksa tutup pabrik, lantaran adanya kasus positif Covid-19 yang menimpa para pekerja. Di bawah ini adalah beberapa manufaktur yang terimbas PSBB, antara lain :

Emiten produsen rokok, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) sempat melakukan penutupan salah satu pabrik produksinya yang berada di Rungkut 2 – Surabaya. Setelah pekerja di pabrik tersebut, ada yang dinyatakan positif terpapar Covid-19. Penutupan pabrik itu dilakukan sejak April 2020, dan selama beberapa bulan terakhir HMSP ini terus melakukan protokol kesehatan. Mulai dari penyemprotan disinfektan hampir di seluruh fasilitas pabrik, melakukan contract tracing, melakukan karantina mandiri dan test Covid-19 terhadap para pekerjanya.

Emiten Consumer Goods terbesar, PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) terhitung sejak Juli 2020 juga menutup salah satu pabriknya yang berada di wilayah Cikarang – Bekasi. Setelah beberapa pekerja di bagian engineering dinyatakan positif Covid-19. Akibatnya tak hanya melakukan penutupan pabriknya, UNVR juga melakukan protokol kesehatan dan mewajibkan seluruh pekerjanya melakukan PCR test kepada  ±265 orang.

Pabrik Hitachi Construction Machenery di Cibitung – Bekasi, juga harus menutup pabriknya. Penutupan pabrik Hitachi ini menambah panjang daftar pabrik yang harus tutup dan kinerjanya terancam menurun. Tidak lain penutupan, juga dikarenakan adanya karyawan yang terpapar Covid-19.

Pabrik PT LG Electronic Indonesia, pun turut menutup pabriknya yang berada di Cikarang – Bekasi. Lantaran sekitar ±238 orang pekerja positif Covid-19, dan pasca melakukan test swab kasus positif melonjak hingga  ±600 orang. Akibatnya operasional pabrik LG tersebut dihentikan sementara waktu.

Pabrik Printer Epson di kawasan East Jakarta Industrial Park (EJIP) juga harus menutup pabrik. Karena ada  ±352 pekerja yang positif Covid-19.

PT Suzuki Indomobil Motor, pun harus melakukan pengurangan kapasitas produksi pabriknya hingga sebanyak 50% dari kondisi normal. Pengurangan produksi itu dilakukan sejak Agustus 2020, setelah ada  ±71 orang pekerjanya terpapar Covid-19.

Bahkan yang terbaru-baru ini mencuat, adalah pernyataan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Banten – Tangerang, yang mencatat sebanyak 74 perusahaan di Banten bangkrut dan ribuan buruh yang terpaksa di PHK. Penyebab bangkrutnya perusahaan tersebut tak lain, karena penerapan PSBB kembali provinsi Banten yang dilaksanakan mulai 21 September – 20 Oktober 2020. Kemudian sulitnya mencari bahan baku, hingga permintaan yang anjlok akibat daya beli masyarakat yang menurun.

Source : www.google.com/search?q=Dinas+Tenaga+Kerja+dan+Transmigrasi+Provinsi+Banten

 

Strategi yang Diupayakan Pemerintah

Jika sedemikian parahnya kondisi manufaktur Indonesia, lalu apa saja yang sudah diupayakan pemerintah untuk menyelamatkan sektor-sektor industri di tengah ancaman pandemi Covid-19 ?

Dengan penurunan kinerja sektor industri selama pandemi Covid-19 terjadi, pemerintah pun rupanya tak tinggal diam. Di mana pemerintah sampai saat melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan kinerja sektor industri. Antara lain dengan melakukan penguatan arus kas untuk sektor industri, guna mempercepat proses pemulihan, seperti halnya memberi bantuan modal kerja untuk industri yang masih beroperasi, hingga memberikan insentif pajak melalui PPh pasal 21, PPh pasal 22, PPh pasal 23, dan PPh pasal 25. Termasuk juga dengan melakukan penundaan pembayaran cicilan dan bunga pinjaman. Lalu memberikan insentif keringanan biaya listrik dengan menghapus rekening listrik minimum, sehingga industri hanya akan membayar listrik sesuai dengan yang dipakai. Serta melakukan penundaan pembayaran BPJS Ketenagakerjaan, lantaran banyak tenaga kerja yang dirumahkan namun industri tetap harus membayarkan iuran premi. Berkaitan dengan langkah pemerintah, Anda bisa mereview nya kembali melalui artikel di bawah ini…

[Baca lagi : Jokowi Mengucurkan Stimulus Rp 405 triliun Untuk Mengatasi Pandemi Corona, Bagaimana Dampak ke Depannya ?]

 

 

Upaya lain yang juga dilakukan pemerintah, adalah dari sisi penguatan regulasi, seperti memberikan kemudahan proses peralihan izin, tidak perlu mengubah akta ke Kementerian Hukum dan HAM. Namun cukup melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sementara dari sisi penguatan permintaan, pemerintah memberikan izin pembukaan pasar, mall, toko agar tetap buka namun dengan memenuhi protokol kesehatan.

Tak hanya itu, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian terus mendorong industri manufaktur untuk bisa memanfaatkan peluang dari industri 4.0 agar berdaya saing dan semakin handal. Yakni dengan memanfaatkan penerapan teknologi digital, yang diklaim sebagai solusi bagi ketahanan industri manufaktur. Hal itu, sejalan dengan program peta jalan Making Indonesia 4.0 yang sudah dijalankan sejak tahun 2018, untuk mendorong pemanfaatan teknologi, karena dianggap bisa membantu menurunkan biaya operasional dan meningkatkan prduktivitas.

 

Bagaimana Prospek Sektor Manufaktur ke Depannya ?

Kendati berbagai upaya telah dikerahkan oleh pemerintah, namun nampaknya belum mampu mengangkat bangkit sektor manufaktur. Dan bisa dikatakan, ke depannya pelaku usaha pun masih akan dihadapkan oleh ketidakpastian yang cukup tinggi. Apalagi sampai sekarang ini, pandemi Covid-19 di Indonesia masih belum menunjukkan penurunan…

Source : https://covid19.who.int/region/searo/country/id

 

Dari data di atas, terlihat bahwa sampai per 21 Oktober 2020 kemarin, kasus terinfeksi Covid-19 di Indonesia tercatat ada ±368.842 kasus, dengan angka kematian hingga ±12.734 kematian. Dengan kasus Covid-19 yang masih cukup tinggi, maka sektor industri Indonesia masih akan dihadapkan oleh tantangan dalam melalui masa pandemi Covid-19. Bukan hanya dalam bentuk ancaman terpapar virus Covid-19 saja, melainkan juga terhadap keseluruhan sistem di industri. Misalnya saja dari pasokan bahan baku, hingga ke jaringan distribusi produk yang terhambat kelancarannya. Artinya bukan tidak mungkin, kegiatan ekonomi dan konsumsi masyarakat masih akan terbatas.

 

Nah, untuk Anda yang ingin atau sedang menyusun investing plan Anda, tapi memiliki waktu yang terbatas untuk mengolah banyaknya informasi yang beredar, Anda bisa menggunakan Monthly Investing Plan edisi November 2020 yang akan segera terbit…

Monthly Investing Rivan Kurniawan

 

Kesimpulan

Pertumbuhan Indeks Manufaktur berdasarkan IHS Markit Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia tumbuh melambat di level 47.2 per September 2020, menjadi penurunan yang pertama kali sejak bulan April 2020 dan menunjukkan perlambatan manufaktur akibat pemberlakukan PSBB yang sempat diperketat lagi pada September kemarin. Dan sebagai dampak PSBB yang diperketat itu, beberapa sektor industri manufaktur mencatatkan penurunan utilitas, bahkan ada yang turun hingga ke bawah 50%. Bahkan per Oktober 2020, daftar perusahaan yang menyatakan tutup pabrik sementara waktu semakin bertambah. Terbaru ini, ada sekitar 74 perusahaan di Banten yang bangkrut.

Pemerintah sendiri hingga saat ini masih terus menggelontorkan berbagai upaya dan bantuan secara meluas dan merata. Namun nampaknya upaya tersebut, masih tidak cukup kuat membangkitkan kinerja di sektor-sektor industri, termasuk juga dengan industri manufaktur. Dan untuk ke depannya pun, sektor industri masih akan dihadapkan oleh tantangan pandemi Covid-19 yang artinya bukan tidak mungkin, kegiatan ekonomi dan konsumsi masyarakat masih akan terbatas.

Dan, tentunya kita berharap pandemi Covid-19 ini cepat berlalu dan perindustrian Indonesia kembali bangkit. Tentunya di tandai dengan indeks Manufaktur Indonesia yang berada di level ekspansi…

 

###

 

Info:

 

Tags : PMI Manufaktur Indonesia | PMI Manufaktur Indonesia | PMI Manufaktur Indonesia | PMI Manufaktur Indonesia | PMI Manufaktur Indonesia | PMI Manufaktur Indonesia | PMI Manufaktur Indonesia | PMI Manufaktur Indonesia | PMI Manufaktur Indonesia | PMI Manufaktur Indonesia | PMI Manufaktur Indonesia

1
Pastikan rekan Investor tidak ketinggalan Informasi ter-update

Subscribe sekarang untuk mendapatkan update artikel terbaru setiap minggunya

keyboard_arrow_leftPrevious
Nextkeyboard_arrow_right

Komentar

Artikel Lainnya

Youtube Update

Our Social Media

Arsip Artikel