Krisis Turki

Bagaimana Pengaruh Krisis Turki Mempengaruhi Pergerakan IHSG ?


Terakhir diperbarui Pada 26 February 2019 at 3:29 pm

Setelah kurang lebih 1 bulan belakangan ini. IHSG kembali memasuki fase recovery dengan berbagai indikatornya. Seperti investor asing mulai mencatatkan Net Buy sebesar Rp 1.52 triliun sepanjang Juli 2018. Dan IHSG yang mulai bangkit dari 5700 an dan kembali menembus level 6,000 – 6,100 an, tiba-tiba saja IHSG kemarin harus terkoreksi 3.55% dan kembali ditutup pada 5,861. Salah satu faktor yang banyak diberitakan mempengaruhi penurunan IHSG kemarin adalah karena krisis ekonomi yang sedang terjadi di Turki. Benarkah demikian?. Okay langsung kita bahas..

 

Penurunan Nilai Kurs Mata Uang Turkish Lira

Mata uang Turki, Turkish Lira, di tahun 2018 ini telah kehilangan nilai mata uang nya sebesar lebih dari 70% (bukan 40% seperti yang banyak diberitakan di media massa). Di awal tahun 2018, nilai tukar mata uang asing Turkish Lira terhadap USD masih di kisaran 3.7 – 3.8 Lira per USD. Sementara di bulan Agustus ini, nilai tukar nya telah berada di kisaran 6.9 – 7.0 Lira per USD. Dan yang menariknya adalah nilai tukar Turkish Lira terhadap USD sempat melemah sebesar 16% hanya dalam waktu satu hari perdagangan pada Jumat (10/08) kemarin menjadi 6.51 Turkish Lira per USD. Untuk lebih jelasnya, Anda dapat melihat pergerakan nilai kurs Turkish Lira terhadap USD pada gambar di bawah ini.

 

 Pergerakan Nilai Tukar Lira 2017 – 2018

(Source : TradingEconomics.com)

 

Sebagai informasi, penurunan kurs mata uang Turkish Lira sebesar 16% dalam satu hari perdagangan tersebut merupakan penurunan tertajam kedua bagi Lira Turki sendiri. Setelah di tahun 2001 lalu Turkish Lira juga pernah turun 30% dalam satu hari perdagangan. Apa yang menyebabkan kurs mata uang Turkish Lira terdepresiasi sedemikian besar? Ada beberapa hal yang mempengaruhi penurunan kurs mata uang Turkish Lira. Tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi saja, namun penurunan kurs Turkish Lira juga disebabkan oleh faktor politik. Okay kita bahas satu per satu.

 

FAKTOR EKONOMI

Tingkat Ketergantungan Hutang Turki Yang Besar Terhadap USD

Sejak Erdogan (Presiden Turki) berkuasa, pertumbuhan ekonomi Turki memang cukup mengesankan. Pada pertengahan tahun 2017 kemarin saja, Turki sempat mencatatkan pertumbuhan ekonomi 11.3% (sekarang 7.4%). Namun pertumbuhan secepat ini ternyata bersumber dari pertumbuhan hutang luar negeri yang besar. Bank di Turki banyak melakukan pinjaman mata uang asing dan kemudian meminjamkan kembali ke perusahaan lokal sebagai modal usaha.

Permasalahannya adalah jumlah pinjaman terhadap USD tersebut sangatlah besar. Yang kemudian membuat perekonomian Turki memiliki ketergantungan tinggi pada mata uang asing khususnya USD. Sebagai informasi, saat ini Turki memiliki utang dalam mata uang asing mencapai US$ 5 triliun. Sekitar 70% dari perekonomian Turki, dan angka ini jauh lebih besar dibandingkan negara-negara emerging country lainnya, termasuk Indonesia.

Dengan melemahnya nilai tukar mata uang Lira terhadap USD, membuat nilai hutang perusahaan lokal di Turki menjadi membengkak. Karena perusahaan lokal harus menanggung hutang dalam mata uang USD namun pendapatan perusahaan lokal adalah dalam mata uang Lira.

 

Tingkat Inflasi Turki Jauh di Atas Tingkat Pertumbuhan Ekonomi

Selain memiliki hutang dalam USD dalam jumlah besar. Perekonomian Turki juga mengalami overheating di mana Pertumbuhan ekonomi memang tumbuh 7.4%, namun inflasi di Turki mencapai 15.85%. Untuk lebih mudah memahami nya, bayangkan saja misalkan Anda bekerja dan mendapatkan kenaikan gaji sebesar 7.4%, namun ternyata harga barang-barang naik sebesar 15.85%. Maka itu artinya Anda sebenarnya justru mengalami penurunan pendapatan secara real. Karena harga barang-barang naik lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan gaji yang Anda terima. Nah situasi inilah yang membuat Turki juga lebih tertekan.

Bank Sentral Turki di sisi lain, telah menaikkan suku bunga sampai dengan 17% untuk menahan laju inflasi dan menjaga nilai tukar. Namun sejauh ini tidak banyak menolong. Suku bunga ini merupakan rekor tertinggi di kelas negara berkembang sekalipun. Meskipun langkah ini disambut oleh masyarakat, namun tidak demikian di kalangan pasar keuangan Turki. Lembaga keuangan Moody’s justru mengeluarkan peringkat “junk” alias tidak layak investasi bagi peringkat surat utang Turki.

 

FAKTOR POLITIK

Sanksi US terhadap Turki Memperparah Krisis Ekonomi

Selain faktor ekonomi yang telah dijelaskan di atas, kondisi politik antara US dan Turki yang memanas juga turut memperparah kondisi ekonomi Turki. Trump memberlakukan tarif impor aluminium  meningkat menjadi 20% dan tarif untuk baja akan meningkat menjadi 50%. Presiden AS Donald Trump pada Jumat (10/08) lalu telah menggandakan tarif impor terhadap baja dan aluminium atas Turki, yang resmi diberlakukan sejak hari Senin (13/08). Kebijakan tersebut tak pelak ikut menyebabkan mata uang Turkish Lira semakin tertekan karena AS merupakan tujuan ekspor baja terbesar Turki, yang mencapai sekitar 11% dari total volume ekspor baja Turki.

Menyikapi pemberlakukan tarif impor untuk aluminium dan baja tersebut, Erdogan mengaku kecewa terhadap keputusan Amerika Serikat untuk menggandakan pengenaan tarif impor baja dan aluminium terhadap negaranya. Erdogan menuding anjloknya nilai tukar Turkish Lira terhadap USD juga merupakan “skenario politik” untuk menjatuhkan Turki. Menurutnya tujuan operasi ini adalah untuk membuat Turki menyerah, mulai dari seluruh sektor keuangan hingga politik. Oleh karenanya, Erdogan mengancam akan mencari sekutu baru untuk menjalin kemitraan, dan juga tak segan untuk keluar dari kemitraan yang telah terjalin selama berdekade dengan AS.

Tweet Trump Mengumumkan Penerapan Tarif Aluminium dan Tarif Baja

 

Penahanan Pendeta Andrew Brunson Oleh Pemerintah Turki

Selain karena faktor sanksi tarif aluminium dan baja yang dijelaskan di atas, faktor penahanan seorang pendeta asal AS di Turki juga menjadi pemicu memburuknya hubungan diplomatik antara kedua negara. Penangkapan pendeta Andrew Brunson, seorang Pendeta dari Carolina Utara yang ditahan sejak Oktober 2016 lalu, juga turut membuat hubungan AS dan Turki memburuk. Brunson merupakan pendeta Protestan yang memimpin Gereja di kota Aegean, Izmir, Turki. Dia dituding membantu organisasi pimpinan ulama Fethullah Gulen dan dituding mendalangi upaya kudeta terhadap Erdogan tahun 2016 lalu (Fethullah Gulen adalah ulama Muslim yang tinggal di Pennsylvania, dan dituduh sebagai dalang dari upaya kudeta terhadap Erdogan).

Brunson turut ditangkap ketika pemerintah Turki menangkap sejumlah jurnalis, akademisi, dan minoritas menyusul insiden upaya kudeta tersebut. Awalnya, dia ditahan bersama istrinya yang dicurigai melakukan kegiatan melawan keamanan nasional Turki. Sang istri, Norine Brunson lantas dibebaskan sesaat setelah penahanannya. Namun suaminya tetap didakwa dan dipenjara selama dua tahun. Kini, dia menjadi tahanan rumah, setelah selama dua tahun mendekam di penjara atas tuduhan spionase dan mendukung kelompok teror.

Pemerintah Amerika Serikat sendiri kemudian memberikan tenggat waktu kepada Turki untuk membebaskan Pendeta Andrew Brunson dari tahanan. Jika Turki tidak memenuhi tenggat waktu yang diberikan hingga Rabu (15/08), AS mengancam akan menambah sanksi baru kepada Turki

Pendeta Andrew Brunson yang dipenjara 2 tahun di Penjara Turki

 

Apakah Krisis Turki Berpotensi Berdampak Pada Indonesia ?

Setelah kita memahami sejumlah faktor ekonomi maupun politik yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Maka pertanyaannya adalah : Apakah Turki sudah bisa resmi dikatakan krisis?. Jika kita melihat daftar dalam G20, tingkat Government Debt to GDP Ratio Turki masih di sekitar 28.3%. Kurang lebih sama dengan Indonesia yang saat ini sebesar 28.7%. Jika dibandingkan dengan negara G20 lainnya seperti Jepang, Italy, dan Amerika sendiri yang saat ini memiliki Government Debt to GDP Ratio di atas 100%. Maka sejatinya Turki sendiri belum bisa dikatakan krisis.

Dan jika Anda membaca lagi di bagian atas, Penulis menjelaskan bahwa tingkat inflasi Turki saat ini (15.85%) jauh di atas pertumbuhan ekonomi Turki itu sendiri (7.4%). Bandingkan dengan Indonesia yang saat ini mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5.27% (per semester I 2018) dengan inflasi yang hanya sebesar 3.18% (per Juli 2018). Artinya, Pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri masih lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat inflasi.

Dengan demikian, Penulis sendiri berkeyakinan bahwa Krisis Turki kecil kemungkinan untuk berdampak pada Indonesia secara makro. Meskipun secara tidak langsung, pelemahan nilai kurs mata uang Turkish Lira terhadap USD ini juga turut memperlemah nilai Tukar Rupiah terhadap USD yang telah menyentuh angka Rp 14.600 / USD saat ini. Namun rasanya kecil kemungkinan bahwa nilai tukar Rupiah terhadap USD akan seperti Turki yang melemah sampai dengan 70%. Termasuk melemah 16% dalam satu hari perdagangan (terakhir kali Rupiah melemah 18% dalam satu hari perdagangan adalah pada Januari 1998).

Meskipun demikian, jika kita bicara tentang pasar saham segala irasionalitas mungkin saja terjadi. Krisis Turki ini mungkin saja akan membuat IHSG akan berfluktuasi dalam jangka pendek. Namun seiring dengan berita tentang krisis Turki ini mulai dilupakan orang, IHSG akan mulai menyesuaikan dengan fundamentalnya. Sama hal nya dengan ketika media massa banyak menyoroti dan memberitakan mengenai perang dagang antara US dan China sepanjang bulan April – Juni 2018 yang lalu.

 

What’s Next ?

Pemerintahan Turki dalam waktu dekat akan mengeluarkan serangkaian kebijakan ekonomi untuk meredam potensi krisis ekonomi yang terjadi. Pemerintah Turki akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan akan segera mengumumkan beberapa kebijakan ekonomi ke pasar. Langkah-langkah yang disiapkan mencakup perbankan dan juga sektor riil. Termasuk bisnis kecil maupun menengah yang paling terdampak fluktuasi nilai tukar.

Berbeda dengan tahun 2001 ketika Turki meminta IMF untuk meminjam uang dan menerima syarat penghematan yang sangat ketat agar mendapatkan dana talangan, kali ini Turki tidak akan meminta bantuan dari IMF. Kali ini Turki meminta bantuan pada China, Rusia, dan Iran, namun sejauh ini hanya China yang memberi respon positif. Turki akan menerbitkan obligasi dalam mata uang Yuan (atau disebut dengan “Panda Bond”) dengan harapan bisa mendapatkan banyak uang dari China.

Akan tetapi, Turki harus menjual sebagian aset penting untuk menutup defisit saat ini. Ekuitas Istanbul saat ini diperkirakan hanya bernilai US $ 35 miliar saja, sehingga sebagian aset penting negara itu diperkirakan akan beralih tangan ke China termasuk yang dikuasai BUMN. Misalkan perusahaan pelayaran milik China, COSCO Pacific, sudah memiliki 65% saham pelabuhan terbesar ketiga di Turki. Perusahaan peralatan telekomunikasi terbesar China, Huawei, juga sudah melakukan ekspansi untuk pengembangan jaringan internet 5G di Turk Telecom. Begitu juga Alibaba Group di awal tahun ini sudah mengakuisisi jaringan e-commerce terbesar Turki, Trendyol.

Singkat kata, China memiliki peluang untuk mengambil-alih Turki secara ekonomi dengan biaya rendah akibat jatuhnya Lira. Tak dapat dipungkiri, China sebentar lagi akan menguasai jaringan logistik Turki untuk menjadi pintu utama mereka ke daratan Eropa. Presiden Erdogan memang masih bisa berhadapan dengan Washington, tetapi ekonomi mereka akan dikuasai sepenuhnya oleh China.

 

Kesimpulan

Krisis Turki dan penurunan kurs mata uang Turkish Lira sebesar lebih dari 70% di tahun 2018, lebih banyak disebabkan oleh faktor ekonomi dan faktor politik. Beberapa faktor ekonomi yang mempengaruhi penurunan kurs mata uang Turkish Lira adalah tingkat ketergantungan Turki terhadap mata uang USD yang relative sangat besar, serta inflasi Turki yang jauh berada di atas tingkat pertumbuhan ekonomi. Langkah Bank Sentral Turki untuk menaikkan tingkat suku bunga sejauh ini juga belum bisa menahan laju inflasi dan menstabilkan nilai tukar mata uang Turkish Lira.

Sementara faktor politik juga mempengaruhi penurunan kurs mata uang Turkish Lira seperti penetapan sanksi penerapan tarif impor aluminium yang meningkat menjadi 20% dan tarif untuk baja akan meningkat menjadi 50%. Kebijakan tersebut tak pelak ikut menyebabkan mata uang Turkish Lira semakin tertekan karena AS merupakan tujuan ekspor baja terbesar Turki, yang mencapai sekitar 11% dari total volume ekspor baja Turki. Penangkapan pendeta Andrew Brunson, yang ditahan sejak Oktober 2016 lalu, juga turut membuat hubungan AS dan Turki memburuk. Jika Turki tidak memenuhi tenggat waktu yang diberikan hingga Rabu (15/08), AS mengancam akan menambah sanksi baru kepada Turki.

Dengan tingkat Government Debt to GDP Ratio Turki masih di sekitar 28.3%, masih terlalu dini untuk mengatakan secara resmi Turki sedang dalam krisis. Demikian pula, kecil kemungkinan bahwa nilai tukar Rupiah terhadap USD akan seperti Turki yang melemah sampai dengan 70%, mengingat kondisi fundamental Indonesia saat ini jauh lebih baik ketimbang Turki. Meskipun demikian, dalam jangka pendek hal ini tetap akan mempengaruhi dan membuat IHSG berfluktuasi dengan segala irasionalitas yang ada. Namun seiring dengan berjalannya waktu, berita mengenai Krisis Turki ini akan mulai dilupakan dan dapat membuat IHSG kembali kepada fundamentalnya. Oleh karena itu, penurunan IHSG yang terjadi dapat dianggap sebagai opportunity untuk membeli saham-saham yang memiliki fundamental bagus pada harga yang terdiskon.

 

Info:

  • Cheat Sheet LK Q2 2018 telah terbit, Anda dapat memperolehnya di sini
  • E-Book Quarter Outlook LK Q2 2018 telah terbit. Anda dapat memperolehnya di sini.
  • Jadwal Workshop Value Investing (Jakarta, 8 September 2018), (Bali, 22 September 2018), dan (Medan. 6 Oktober 2018) dapat dilihat di sini. Info lebih lanjut silakan WA ke 0896-3045-2810 (Johan)

 

1
Pastikan rekan Investor tidak ketinggalan Informasi ter-update

Subscribe sekarang untuk mendapatkan update artikel terbaru setiap minggunya

keyboard_arrow_leftPrevious
Nextkeyboard_arrow_right

2 Comments

  • Deddi R
    18 March 2019 at 10:54 AM

    maaf pak, jadi apakah moment ini bagus untuk seorang value investing membeli sebuah saham?

Komentar

Artikel Lainnya

Youtube Update

Our Social Media

Arsip Artikel