Rupiah Tembus 15.000

Rupiah Hampir Tembus 15,000, Pertanda Krisis bagi Indonesia ?


Terakhir diperbarui Pada 26 February 2019 at 1:30 pm

Saat ini kita dihadapkan dengan issue tentang Rupiah Tembus 15.000, dalam artikel ini kita akan membahas jauh lebih dalam..

Untuk kesekian kalinya di tahun 2018 ini, IHSG berfluktuasi cukup tinggi. Dalam 1 minggu perdagangan terakhir, IHSG kembali harus terkoreksi dari 6,065 menjadi 5,683 an atau terkoreksi sekitar 6.3%. Pada penutupan perdagangan kemarin, IHSG terkoreksi 3.2% dalam 1 hari. Menurut catatan Penulis, belum lama ini IHSG juga sempat terkoreksi di atas 3% dalam 1 hari perdagangan adalah ketika cerita tentang Krisis Turki berkembang di pelaku pasar pada pertengahan Agustus 2018, yang bisa Anda baca lagi artikel nya di bawah ini.

[Baca Lagi : Bagaimana Pengaruh Krisis Turki Mempengaruhi Pergerakan IHSG ?]

 

 Tags : Rupiah Tembus 15.000

Setelah berita tentang Krisis Turki sedikit mereda, pasar saham kemarin kembali dikejutkan dengan penurunan IHSG sebanyak 3.7% dalam waktu sehari. Penyebabnya? Sentimen Rupiah yang melemah hingga mencapai Rp 15,000 memunculkan spekulasi bahwa Indonesia akan terkena krisis keuangan seperti tahun 1998. Apakah benar demikian? Mari kita lihat lagi faktanya..

 

Mitos 1 : Pelemahan Rupiah 2018 Lebih Parah Dibandingkan 1998 ?

Banyak pelaku pasar mengatakan bahwa posisi nilai tukar Rupiah saat ini jauh lebih rendah nilai nya dibandingkan dengan posisi nilai tukar Rupiah di tahun 1998. Di tahun 1998, Rupiah melemah sampai 14,000 sedangkan di tahun 2008, Rupiah melemah sampai 15,000. Kalau Anda lihat secara nominal, mungkin ada benarnya bahwa Rupiah saat ini di Rp 15,000 / USD artinya Rp 1,000 lebih lemah dibandingkan dengan Rupiah di tahun 1998 yang melemah hingga Rp 14,000. Tapi kalau Anda lihat angka pembandingnya, Anda akan punya perspektif lain.

Di tahun 2018 ini, Rupiah melemah secara perlahan-lahan dari Rp 13.300 an di awal tahun hingga menyentuh Rp 15.000 di September 2018. Artinya Rupiah melemah sebesar 11 – 12% sepanjang tahun 2018 ini. Namun jika Anda bandingkan dengan tahun 1998, di mana Rupiah melemah dari Rp 3,000 menjadi 14,000 maka artinya Rupiah melemah 450% dalam waktu +- 1 tahun !

Bayangkan kalau Anda adalah seorang pengusaha yang memiliki pinjaman dalam US Dollar. Di tahun 2018 ini dengan melemahnya Rupiah sebesar 11 – 12% berarti pinjaman Anda dalam US Dollar tadi juga nilai nya membengkak sebesar 11 – 12%. Berat ? Bisa jadi ! Tapi masih bisa ditoleransi… Para pengusaha pun bisa melakukan hedging karena Rupiah melemah secara perlahan. Namun bayangkan kalau Anda memiliki pinjaman dalam US Dollar ketika di tahun 1998 silam. Artinya nilai pinjaman Anda membengkak hingga hampir 5x lipat !

Kalau Anda baca lagi artikel tentang Krisis Turki di atas, Penulis menjelaskan bahwa salah satu faktor yang membuat krisis di Turki adalah pertumbuhan utang luar negeri yang besar yang diperparah dengan melemahnya mata uang Turki hingga 70% terhadap USD, yang berarti hutang luar negeri Turki juga meningkat hampir 2x lipat secara nilai, sesuatu yang tidak terjadi pada Indonesia saat ini.

Dari ilustrasi di atas, kita sekarang mengetahui bahwa pelemahan Rupiah yang terjadi saat ini tidaklah seburuk tahun 1998.

Nilai Tukar Rupiah 1998 – 2018. Perhatikan pelemahan signifikan yang terjadi di tahun 1998.

 

Mitos 2 : Indonesia Memasuki Masa Resesi ?

Banyak pelaku pasar juga berspekulasi dengan menyebutkan bahwa Indonesia saat ini mulai memasuki tahap resesi yang berpotensi menuju krisis ekonomi, seperti layaknya tahun 1998. Well, tentang hal ini Penulis sudah pernah menuliskan dalam artikel sebelumnya sekitar di bulan Februari 2018. Anda bisa baca lagi tanda-tanda krisis sebuah negara dalam artikel di bawah ini.

[Baca Lagi : Apa Tanda-Tanda Krisis Sebuah Negara ?]

 

                Dalam Artikel tersebut, Penulis menjelaskan pada satu bagian mengenai Economic Cycle. Kalau Anda tarik data pertumbuhan ekonomi Indonesia (di Trading Economics tersedia dari tahun 2000), Anda akan menemukan pola bahwa jika dilihat dari perspektif 20 tahunan, justru saat ini pertumbuhan ekonomi sedang berada pada fase recovery. Sejak pertumbuhan ekonomi di tahun 2015 mencapai titik terendah sebesar 4.8%, di tahun 2016 – 2018 ini perlahan tapi pasti pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai naik mencapai 5.27% pada Kuartal II 2018. Untuk lebih jelasnya bisa lihat pada grafik di bawah ini.         

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2000 – 2018.

 

Dari gambar di atas, jelas bahwa agak aneh kalau misalkan Indonesia dikatakan masuk dalam fase resesi. Memang pertumbuhan ekonomi Indonesia belum bisa mencapai 6% seperti di tahun 2011 lalu, namun sebagai perbandingan, di tahun 1998 Indonesia justru sedang memasuki Pertumbuhan Ekonomi Negatif (Penulis lupa persisnya berapa, tapi beberapa sumber menyebutkan Pertumbuhan Ekonomi di tahun 1998 adalah Negatif 13%).

Jadi kita bisa mengatakan bahwa Indonesia masih dalam tahap recovery, hanya saja karena faktor eksternal yang berat saat ini, menyebabkan pertumbuhan ekonomi pun sedikit terhambat.

 

Mitos 3 : Inflasi Indonesia Tinggi Sehingga Daya Beli Melemah ?

Sebagian dari kalangan masyarakat mengeluhkan harga-harga yang meningkat tinggi yang membuat daya beli masyarakat secara keseluruhan melemah (asumsi nya adalah tingkat inflasi yang berada di atas pertumbuhan ekonomi).

Padahal kalau kita lihat sepanjang tahun 2016 – 2018, inflasi di Indonesia justru sedang dalam masa kondusif nya di mana inflasi terkendali sesuai dengan target Bank Indonesia yaitu 4% dengan toleransi batas atas dan batas bawah 1%. Ketika artikel ini ditulis pun, inflasi di Indonesia adalah sebesar 3.2%. Bandingkan dengan inflasi yang terjadi pada tahun 1998, di mana inflasi waktu itu meningkat sebesar 81% ! yang artinya harga-harga barang meningkat hampir 2x lipat dalam waktu singkat.

 

Inflasi Indonesia 1996 – 2018. Perhatikan Inflasi di tahun 1998.

Dari gambar di atas, kita dapat melihat bahwa saat ini tingkat inflasi masih aman terkendali di sekitar 3.2%. Jadi rasanya agak aneh juga jika dikatakan tingkat inflasi Indonesia menyebabkan daya beli pelanggan mengalami penurunan.

 

Mitos 4 : Indonesia Tidak Mampu Membayar Hutang Luar Negeri ?

                Utang luar negeri Indonesia yang jatuh tempo tahun 2019 memang cukup besar, yaitu mencapai Rp 409 triliun. Meski utang jatuh tempo terbilang besar, Rasio utang terhadap berada pada level di bawah 30% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pemerintah juga menargetkan untuk mengendalikan tambahan utang. Bandingkan dengan di tahun 1998 di mana Government Debt to GDP Ratio Indonesia mendekati angka 100%.

Artinya, meskipun saat Ini hutang luar negeri Indonesia terbilang besar (di mana setengah dari jumlah utang saat ini juga merupakan warisan dari tahun-tahun sebelumnya), namun jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto), masih dapat dikategorikan aman.

Rasio Utang Pemerintah Terhadap PDB 1998 –  2018

 

Imbas Krisis Global Terhadap Indonesia ?

                Banyak pihak yang mengaitkan krisis yang terjadi secara global akan berimbas pada krisis di Indonesia. Misalkan setelah Krisis Turki, krisis pun mulai terjadi di Argentina. (Actually selain Argentina, Venezuela dan Afrika Selatan juga dapat dikategorikan sedang mengalami krisis, namun akan terlalu panjang jika dibahas semuanya.) Berikut adalah beberapa fakta yang Penulis coba kumpulkan mengenai Krisis di Argentina:

 

Fakta 1 : Mata uang Peso yang anjlok terhadap dollar AS

Dalam setahun terakhir, nilai mata uang Peso Argentina terperosok hingga 108%. Pada awal 2017, nilai tukar Peso Argentina masih di sekitar 15 Peso / USD. Saat ini, nilai tukar mata uang Peso adalah 37.3 Peso / USD. Sementara seperti disampaikan di atas, nilai tukar Rupiah hanya melemah 11%.

Nilai Tukar Mata Uang Peso Argentina 2008 – 2018.

 

Fakta 2 : Tingkat Inflasi Sangat Tinggi mencapai 31%.

Bisa dibilang saat ini Argentina sudah secara resmi bisa dikatakan mengalami krisis, dimana para investor sudah mulai cemas dengan inflasi yang sangat tinggi hingga mencapai 31%. Mirip dengan Turki, tingkat inflasi di Argentina ini jauh di atas pertumbuhan ekonomi Argentina yang stagnan (hanya sekitar 4%). Masih ingat dengan angka inflasi Indonesia saat ini ? Yup hanya sekitar 3.2%, dan masih berada di bawah tingkat pertumbuhan ekonomi (5.27%).

Tingkat Inflasi Argentina 2008 – 2018.

 

Fakta 3 : Suku bunga acuan naik hingga 60 %

Disaat inflasi yang semakin tinggi, tentu saja pemerintah Argentina tidak tinggal diam. Demi mengurangi peso yang beredar di pasaran, Bank Sentral Argentina atau Banco Central de la República Argentina (BCRA) mengambil keputusan untuk menaikkan suku bunga acuan. Suku bunga acuan saat ini perlahan-lahan naik hingga menjadi 60 % untuk meredam laju inflasi sekaligus menahan keluar dana investasi dari Argentina, namun sayangnya sejauh ini masih belum memberikan dampak yang signifikan. Sementara di sisi lain, suku bunga acuan di Indonesia “hanya” 5.5% masih memberikan ruang untuk bertumbuhnya pertumbuhan ekonomi.

Suku Bunga Acuan Argentina 2013 – 2018

 

Kesimpulan

Dari berbagai indikator di atas, dapat kita katakan bahwa Krisis Global seperti yang terjadi di Argentina dan Turki memang sudah cukup jelas terjadi. Namun tidak demikian dengan Indonesia di tahun 2018 ini. Sehingga Penulis tetap berkeyakinan bahwa Indonesia saat ini masih memiliki fundamental yang kuat, meskipun di sisi lain Indonesia tetap memiliki risiko yaitu Deficit Current Account yang melebar serta tantangan untuk menahan pelemahan nilai tukar Rupiah lebih jauh lagi.

Sebagai Penutup, Penulis juga menyajikan rangkuman data antara indikator makroekonomi Indonesia di tahun 2018 ini dan perbandingannya dengan Indonesia di 1998 serta indikator negara lain yang terkena krisis dan resesi seperti Turki, Argentina, Venezuela, dan Afrika Selatan. Semoga artikel ini dapat bermanfaat dan memberikan rasa percaya diri kepada Anda dalam berinvestasi.

 

 

Indonesia 2018Indonesia 1998Turki

2018

Argentina

2018

Venezuela 2018

Afrika Selatan 2018

Nilai Tukar

Rp 13.300 / USD – Rp 15.000 / USD (11%)Rp 3000  / USD – Rp 14.000 / USD (450%)3.7 Lira / USD – 6.7 Lira / USD (76%)15 Peso / USD – 37.7 Peso / USD (108%)0.5 Bolivar / USD – 250.000 Bolivar / USD (250.000%)

12 Rand / USD – 15.5 Rand / USD (29%)

Inflasi

3.2%81%17.9%31.2%82766%5.1%

Pertumbuhan Ekonomi

5.27%-13.10%7.4%3.6%-13.2%

0.4%

Suku Bunga Acuan5.5%60%17.75%60%20.8%

6.5%

Cadangan Devisa

USD 118.3 miliarUSD 17.4 miliarUSD 124.3 miliarUSD 51.3 miliarUSD 8.5 miliarUSD 50.5 miliar
Government Debt to GDP Ratio27.8%100%28.3%57.1%23%

53.1%

Perbandingan indikator makroekonomi Indonesia 2018 VS 1998 VS Krisis Negara Global.

 

Info:

  • Monthly Investing Plan September 2018 telah terbit. Anda dapat memperolehnya di sini.
  • Cheat Sheet LK Q2 2018 telah terbit, Anda dapat memperolehnya di sini
  • E-Book Quarter Outlook LK Q2 2018 telah terbit. Anda dapat memperolehnya di sini.
  • Jadwal Workshop Value Investing (Jakarta, 8 September 2018), (Bali, 22 September 2018), dan (Medan. 6 Oktober 2018) dapat dilihat di sini. Info lebih lanjut WA ke 0896-3045-2810 (Johan)

 

 

Tags : |Rupiah Tembus 15.000 | Rupiah Tembus 15.000 | Rupiah Tembus 15.000 | Rupiah Tembus 15.000 | Rupiah Tembus 15.000 | Rupiah Tembus 15.000 | Rupiah Tembus 15.000 | Rupiah Tembus 15.000|

1
Pastikan rekan Investor tidak ketinggalan Informasi ter-update

Subscribe sekarang untuk mendapatkan update artikel terbaru setiap minggunya

keyboard_arrow_leftPrevious
Nextkeyboard_arrow_right

2 Comments

  • One More Trade
    8 September 2018 at 9:01 AM

    Sebagai investor, pelamahan nilai tukar itu selalu membuahkan risiko maupun kesempatan. Kalau misalnya orang pada panik dan jual sahammnya di perusahaan2 yang ada banyak foreign denominated debt, itu sekaligus merupakan kesempatan untuk beli perusahaan tsb. di harga yang sangat rendah. DENGAN SYARAT kita sudah cukup terdiversifikasi sebelum krisis nilai tukar melanda 🙂

  • Adam S
    5 March 2019 at 3:16 PM

    Thanks ko informasinya,, sangat membantu

Komentar

Artikel Lainnya

Youtube Update

Our Social Media

Arsip Artikel