Sepanjang tahun 2019 kemarin, Bank Indonesia mencatat pergerakan nilai tukar Rupiah yang cenderung mengalami penguatan di kisaran Rp 14.000,-an per USD hingga Rp 13.800,-an per USD. Bahkan Rupiah terus mengalami penguatan hingga ke Rp 13.600,-an per USD hingga saat ini. Penguatan nilai tukar Rupiah tersebut, tentu memunculkan optimisme di kalangan pelaku pasar, apalagi di tengah ketidakpastian ekonomi global dan juga ancaman resesi yang semakin dekat. Lantas, apakah tren penguatan Rupiah yang terjadi belakangan ini akan terus berlanjut dan bisa terjaga stabilitas nilai tukarnya di sepanjang 2020 ?
Daftar Isi
Pergerakan Rupiah di Empat Tahun Terakhir
Sebelum masuk pada pembahasan lebih detail, ada baiknya jika kita kembali mereview kronologi pergerakan nilai tukar Rupiah selama empat tahun ke belakang. Dengan harapan kita jadi lebih mudah untuk mengetahui hal-hal apa saja yang turut mempengaruhi pergerakan Rupiah selama ini…
- Nilai Tukar Rupiah di tahun 2016 – 2017 : Stabil di kisaran Rp 13.200,-an – Rp 13.500,-an.
Dalam rentang waktu dua tahun ini Rupiah sangat terapresiasi. Sebut saja di sepanjang tahun 2016, nilai tukar Rupiah sempat mencapai level terkuat di kisaran Rp 12.800,-an per USD. Dan saat memasuki tahun 2017, nilai tukar Rupiah cenderung stabil di kisaran Rp 13.200,-an per USD hingga ke Rp 13.500,-an per USD. Nah sebagai tambahan informasi, berdasarkan realisasi APBN-P 2017 nilai tukar Rupiah saat itu ternyata masih sesuai dengan target pemerintah yang sebesar Rp 13.400,-an per dolar AS.
Pergerakan Rupiah Tahun 2016 – 2017. Source : tradingeconomic.com
Stabilnya pergerakan Rupiah sepanjang tahun 2016 – 2017 karena terdorong oleh sejumlah faktor intern. Adapun faktor pendorong tersebut, seperti :
Pertama, pertumbuhan neraca dagang dalam dua tahun berturut-turut berhasil mencatatkan angka surplus. Di mana sepanjang tahun 2016 surplus US$ 7.79 miliar, sedangkan sepanjang tahun 2017 surplus mencapai US$ 11.84 miliar.
Kedua, aliran masuk modal asing (Capital inflow) ke pasar keuangan domestik yang juga terbilang positif. Di mana sepanjang tahun 2016 capital inflow mencapai Rp 126 triliun, sedangkan di tahun 2017 capital inflow lebih tinggi mencapai Rp 138 triliun. Dalam dua tahun tersebut capital inflow meningkat hingga Rp 12 triliun, itu mencerminkan kondisi ekonomi domestik yang membaik.
Ketiga, pergerakan inflasi yang relatif stabil, menjadi salah satu pendukung menguatnya Rupiah. Tercatat pertumbuhan inflasi sebesar 3.02% di tahun 2016, dan inflasi sebesar 3.61% di tahun 2017. Saat itu tekanan harga dari sisi permintaan terjaga, diikuti dengan volatiles foods, dan juga administered prices. Sehingga mampu menjaga stabilitas pergerakan Rupiah.
- Nilai Tukar Rupiah di tahun 2018 : Melemah ke level Rp 15.000,-an.
Memasuki tahun 2018, nilai tukar Rupiah mulai mengalami pelemahan terhadap dolar AS. Bahkan Rupiah harus terdepresiasi cukup dalam di kisaran Rp 14.000,-an per USD hingga tembus di level Rp 15.200,-an per USD.
Rupiah Terdepresiasi di Tahun 2018. Source : tradingeconomic.com
Depresiasi Rupiah yang terjadi saat itu didorong oleh sejumlah sentimen negatif, baik dari intern ataupun ekstern. Sentimen negatif dari sisi eksternal mulai dari The Fed Bank Sentral AS di tahun 2018 yang menaikkan Fed Rate hingga 4x. Padahal di tahun 2017 Fed Rate sudah naik sebanyak 3x. Akibatnya, banyak investor asing yang menarik kembali dananya kembali ke negara asalnya dan menciptakan Capital Outflow. Sementara sentimen negatif dari dalam negeri, adalah Bank Indonesia yang justru baru menaikkan suku bunga acuan di akhir Mei 2018. Masalah lain yang juga muncul adalah melebarnya defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) ke kisaran -3% dari GDP di 2019.
- Nilai Tukar Rupiah di Tahun 2019 : Kembali menguat ke level Rp 13.800,-an
Pergerakan nilai tukar Rupiah di sepanjang 2019 menjadi salah satu yang terbaik di Asia. Lantaran pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS justru menguat di kisaran Rp 14.000,-an per USD hingga ke level Rp 13.800,-an per USD.
Rupiah Menguat di Tahun 2019. Source : tradingeconomic.com
Penguatan nilai tukar Rupiah di 2019 kemarin, tidak lepas dari stabilitas eksternal yang terjaga. Kondisi itu tercermin dari sejumlah sentimen positif :
Pertama, sikap dovish The Fed yang berpotensi membuat Rupiah menguat. Seperti halnya, saat The Fed menurunkan Fed Rate nya sebanyak 25 basis poin (bps) pada Juli 2019 dari level 2.25% – 2.5%. Dampaknya saat itu, Rupiah mengalami penguatan ke level Rp 13.900,-an.
Penguatan Rupiah karena The Fed Dovish. Source : https://tradingeconomics.com/
Penguatan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS, membuat investor asing segera menarik dana mereka untuk dialihkan ke negara emerging market lainnya, termasuk Indonesia. Alhasil aliran masuk modal asing kembali terdorong dan nilai tukar Rupiah semakin kuat.
Kedua, pertumbuhan Neraca perdagangan 2019 yang walaupun masih defisit, namun tidak sebesar di tahun 2018. Defisit neraca tahun 2019 yang sebesar US$ 3.20 miliar, tidak sebesar defisit di tahun 2018 kemarin yang mencapai US$ 8.57 miliar. Hal ini pula yang turut mendorong penguatan Rupiah di tahun 2019 kemarin.
Ketiga, defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) yang membaik pada Kuartal III-2019. Berdasarkan data Bank Indonesia, CAD tercatat sebesar US$ 7.7 miliar atau 2.7% dari produk domestik bruto (PDB). Pencapaian ini juga membalik dari periode sebelumnya di mana CAD sempat tercatat sebesar 3.0% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Prediksi Nilai Tukar Rupiah di 2020 ?
Setelah mengetahui kronologi pergerakan nilai tukar Rupiah selama empat tahun ke belakang. Kira-kira akan bagaimanakah pergerakan Rupiah sepanjang tahun ini ? Mengingat beberapa waktu terakhir ini Rupiah semakin mengalami penguatan, bahkan ketika artikel ini di tulis Rupiah mencapai level Rp 13.600,-an per USD. Gambaran lebih jelasnya seperti di bawah ini…
Penguatan Rupiah sejak Desember 2019 – Januari 2020. Source : tradingeconomic.com
Penguatan Rupiah yang terjadi, memunculkan berbagai perspektif positif terhadap kinerja Rupiah di sepanjang tahun ini. Bahkan banyak di antara pelaku pasar yang menilai, Rupiah masih akan menguat hingga menyentuh level Rp 13.000,-an per USD. Jika demikian prediksinya, lantas apa saja faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pergerakan nilai tukar Rupiah sepanjang tahun ini ?
- Faktor-Faktor yang berpotensi membuat Rupiah stabil dan cenderung menguat ?
Pertama, Rupiah akan bergerak stabil jika aliran masuk modal asing (Capital inflow) bisa terus bertumbuh. Adapun sebagai gambaran nyata, capital inflow yang sudah masuk saat ini terhitung sejak per 1 Januari 2020 sudah mencapai Rp 10 triliun. Diharapkan dana yang masuk ke domestik terus bertambah, apalagi Indonesia yang juga sebagai emerging market. Tentu akan mendukung ekonomi Indonesia lebih stabil dan pasar bisa positif.
Kedua, defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) bisa diperkecil. Jika saat ini CAD berada di sekitar -2.7% dari PDB, maka jika CAD bisa diperkecil ke kisaran -2.5% dari PDB, akan turut mendorong penguatan Rupiah.
Ketiga, potensi kembali meningkatnya ruang untuk ekspor di tahun 2020. Salah satu alasan yang dapat membuat ekspor kembali meningkat adalah meredanya perang tarif yang sudah terjadi dalam beberapa tahun kebelakang, yang ditandai dengan kesepakatan fase 1 antara US dan China. Dengan tercapai kesepakatan fase satu, akan membuka peluang positif bagi perbaikan kinerja ekspor. Meningkatnya ekspor akan membuat permintaan akan Rupiah menjadi lebih besar, dan membuat Rupiah bisa bergerak menguat.
- Faktor-Faktor Apa yang berpotensi membuat Rupiah lemah ?
Pertama, jika tensi geopolitik kembali memanas. Terutama apabila tensi geopolitik antara AS dan Iran kembali memanas, pasca Trump memerintahkan aparatnya untuk membunuh Jenderal Iran yakni Qassim Suleimani di Baghdad melalui serangan udara. Dampak terburuk dari berlanjutnya konflik antara AS dan Iran, tidak akan hanya di Indonesia saja namun juga ke pasar global. Jika tensi geopolitik ini berlanjut ke depannya, maka nilai tukar Rupiah terancam melemah. Ketidakpastian dari konflik Brexit, yang hingga saat ini masih belum mencapai kesepakatan antara Inggris dan Uni Eropa juga bisa membuat Rupiah berfluktuasi. Meskipun tidak signifikan, namun Inggris juga memiliki hubungan dagang dengan Indonesia. Ketidakpastian Brexit bisa saja membuat Rupiah bergerak melemah.
Kedua, jika terjadi capital outflow. Belajar dari pengalaman di tahun 2015 dan 2018, di mana saat itu terjadi Capital Outflow, maka Rupiah cenderung bergerak melemah. Tahun 2015 terjadi capital outflow karena faktor Taper Tantrum, dan tahun 2018 terjadi capital outflow karena faktor The Fed yang menaikkan suku bunga secara agresif, yang membuat sejumlah investor asing menarik dana investasi nya dari Indonesia dan dikembalikan ke negara asalnya.
Aliran Modal Asing 2007 – 2019. Source : Haver, Kemenkeu.
Ketiga, Rupiah bisa kembali melemah jika neraca perdagangan kembali defisit. Secara historical, tahun-tahun di mana Neraca perdagangan tercatat defisit seperti di tahun 2013. 2015. 2019, Rupiah cenderung bergerak melemah. Sebaliknya tahun-tahun di mana neraca perdagangan tercatat surplus seperti di tahun 2014, 2016, 2017. Rupiah cenderung menguat. Oleh karena itu, jika neraca perdagangan di 2020 kembali defisit, maka bisa turut menekan Rupiah kembali.
Langkah Pemerintah menjaga Stabilitas Rupiah di 2020
Terjaganya pergerakan nilai tukar Rupiah yang tetap stabil, tentu membutuhkan campur tangan dari pemerintah. Bahkan untuk mengontrol pergerakan Rupiah di sepanjang tahun ini, pemerintah sudah menyediakan sejumlah alternatif pilihan. Mulai dari melakukan intervensi ganda baik di pasar valas atau valuta asing, juga melakukan pemberian SBN dari pasar sekunder sebagai antisipasi jika terjadi tekanan.
Terlepas dari itu, pemerintah juga akan berupaya menjaga stabilitas pertumbuhan antara ekspor dan juga impor. Di mana untuk menjaga tingkat ekspor, pemerintah akan lebih dulu meningkatkan daya saing bagi produk-produk ekspor. Agar bisa mendorong kenaikan permintaan mitra dagang dan juga harga beberapa komoditas ekspor utama.
Selain itu pemerintah juga berupaya meningkatkan daya saing produk domestik, agar bisa menekan angka impor. Salah satu langkahnya, adalah menjalankan program peningkatan penggunaan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk seluruh sektor. Sebut saja misalnya program B20 pada tahun 2018 yang lalu. Sedangkan untuk di tahun ini, pemerintah sudah mulai memberlakukan penggunaan B30 untuk segala jenis kendaraan. Langkah ini dinilai berpotensi untuk mengurangi jumlah impor minyak, lebih khususnya mengurangi ketergantungan untuk impor solar.
Kesimpulan
Dengan penguatan nilai tukar Rupiah yang terjadi beberapa waktu belakangan ini, seharusnya tidak membuat kita sebagai investor lalai terhadap potensi sentimen negatif baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Mengingat hingga saat ini masih ada beberapa faktor yang berpotensi membuat Rupiah melemah terhadap dolar AS.
Secara overall, yang harus kita ketahui terkait penguatan Rupiah adalah karena mendapatkan stimulus positif. Misalnya didorong oleh pasokan valas dari para eksportir dan juga besaran aliran masuk modal asing (capital inflow) yang terus bertumbuh. Seiring dengan perekonomian domestik yang membaik, dan juga ketidakpastian global yang mulai mereda.
###
Info: