Terpilihnya Boris Johnson sebagai Perdana Menteri Inggris yang baru dengan janjinya untuk mengeluarkan Inggris dari Uni Eropa baik dengan ataupun tanpa kesepakatan pada tanggal 31 Oktober 2019 kemarin, merupakan hal yang diingat banyak orang. Karena Johnson menggunakan janji tersebut untuk berkampanye, dan setelah terpilih pun ia terlihat sangat fokus untuk mencapai tujuan tersebut. Meskipun dalam realitanya, apa yang ia perjuangkan harus menghadapi tantangan dan penolakan dari Parlemen Inggris, hingga penundaan Brexit sampai 31 Januari 2020. Apakah Brexit yang tertunda ini akan terealisasikan kali ini?
Daftar Isi
Kronologis British Exit
Brexit sebenarnya bukanlah hal baru yang terjadi di Inggris. Pencetusan apakah sebaiknya Inggris tetap berada di Uni Eropa atau keluar saja sudah dicetuskan dari tahun 2016. Kala itu, Inggris melakukan semacam voting untuk menentukan langkah apa yang sebaiknya diambil oleh Inggris. Sebelumnya harus dipahami dulu bahwa Inggris yang kita maksudkan di sini sebetulnya adalah United Kingdom, yaitu kerajaan yang mempersatukan Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara.
Voting tadi diberi nama referendum – yang kemudian dilaksanakan pada tanggal 23 Juni 2016.
Hasil referendum terkait Brexit. Souce: beritasatu.com
Secara singkat, masyarakat yang tinggal di Inggris diminta untuk menentukan pilihannya apakah sebaiknya Inggris tetap berada di Uni Eropa (remain) atau keluar dari Uni Eropa (leave). Hasilnya, Di Inggris Brexit menang 53,4% berbanding 46,6%, demikian juga Wales 52,5% melawan 47,5%. Namun, Skotlandia memilih remain dengan keunggulan cukup besar 62% berbanding 38%, seperti halnya Irlandia Utara ingin tetap bersama UE 55,8% melawan 44,2%. Setelah ditotal, leave menang atas remain dengan persentase 51,9% berbanding 48,1%.
Leave | Stay | |
Inggris | 53.4% | 46,6% |
Wales | 52,5% | 47.5% |
Scotlandia | 38.0% | 62.0% |
Irlandia Utara | 44.2% | 55.8% |
TOTAL | 51.9% | 48.1% |
Setelah keluar hasilnya bahwa leave menang atas remain, Brexit pun pertama kali harusnya dilaksanakan pada 29 Maret 2019 atau sekitar dua tahun setelah disahkannya Article 50 atau Pasal 50 Traktat Lisabon UE tentang tata cara keluar dari blok tersebut. Masalahnya, perjanjian antara UE dengan UK soal Brexit justru ditolak sampai tiga kali oleh parlemen UK sendiri. Para pemimpin UE kemudian setuju penundaan Brexit hingga 12 April 2019. Namun, Perdana Menteri Inggris kala itu –Theresa May – kembali meminta perpanjangan hingga 30 Juni 2019 dan disetujui parlemen Inggris. Pada 4 April 2019, UE menyetujui tenggat waktu baru 31 Oktober 2019.
Sebagai tambahan informasi, Article 50 adalah bagian dari Traktat Lisabon yang ditandatangani oleh negara-negara Uni Eropa pada Desember 2009. Pasal ini mengatur tata cara anggota untuk lepas dari Uni Eropa. Theresa May kala itu memakai Pasal 50 pada akhir Maret 2017 ketika Inggris mulai masuk periode dua tahun untuk keluar dari Uni Eropa. Pasal ini memang sebelumnya belum pernah digunakan. Karena itu, setelah menggunakan pasal ini, Inggris dikucilkan dari setiap proses pengambilan keputusan tingkat tinggi di Uni Eropa.
Setelah dipilihnya Boris Johnson sebagai pengganti Theresa May, Johnson tetap fokus untuk menyelesaikan misinya untuk melaksanakan Brexit. Kala itu, Johnson mengatakan bahwa ia akan menyelesaikan Brexit, baik dengan ataupun tanpa kesepakatan paling lama pada tanggal 31 Oktober 2019. Penulis pernah menuliskan hal-hal terkait Brexit pada tahun lalu, Anda dapat membacanya pada link berikut ini :
[Baca lagi : Apa Saja yang Perlu Anda Ketahui tentang Boris Johnson dan No-Deal Brexit]
Perkembangan terakhir pada tahun lalu, apa yang Johnson perjuangkan masih belum berhasil karena mayoritas anggota parlemen belum menyetujui terlaksananya Brexit. Terbaru, per 21 Desember 2019 kemarin, hasil pemungutan suara menyatakan anggota parlemen yang mendukung Rancangan Undang – Undang Kesepakatan Pengunduran Diri (Withdrawal Agreement Bill) mencapai 358 orang. Sedangkan yang menolak sebanyak 234 orang.
Isi RUU tersebut menyatakan Inggris akan mundur dari keanggotaan Uni Eropa pada 31 Januari 2020. Sedangkan seluruh negosiasi perdagangan Uni Eropa dan negara anggotanya akan berakhir pada Desember 2020.
Tetapi, sejumlah pakar ekonomi pesimis Uni Eropa dan Inggris akan bisa menyepakati perjanjian perdagangan hanya dalam waktu 11 bulan saja – karena telah melalui proses panjang sejak 2016. Johnson pun tetap bersikeras akan membawa Inggris keluar dari Uni Eropa.
Ketidakpastian Inggris akan meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan membuat banyak pengusaha cemas karena akan menyebabkan kekacauan dalam proses perdagangan dengan Uni Eropa dan bisa menyeret Inggris ke dalam resesi ekonomi.
Perkembangan Pertumbuhan Perekonomian Inggris
Brexit akan menyebabkan ketidakpastian dalam jalannya roda operasional bisnis. Hal kecil dari satu dua bisnis nantinya juga akan memberikan domino effect mencapai perekonomian Inggris secara makro. Penulis mengambil contoh pertumbuhan GDP Inggris berikut ini :
Pertumbuhan ekonomi Inggris secara tahunan (YoY). Source: tradingeconomics.com
Terlihat pertumbuhan GDP Inggris mengalami penurunan mencapai hanya 1,1% pada Q3 2019 kemarin, menurun bila dibandingkan dengan sebelumnya sempat mencapai 2% pada awal tahun 2019. Untuk pertumbuhan pada Q4 2019 justru lebih mengkhawatirkan lagi. Hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi Inggris secara bulanan mencatatkan penurunan sebesar 0,3% pada bulan November 2019 kemarin, dilansir dari Kantor Statistik Nasional Inggris.
Pertumbuhan ekonomi Inggris secara kuartalan (QoQ). Source: tradingeconomics.com
Dapat dilihat dari data di atas, ekonomi Inggris pernah menyusut pada Q2 2019 kemarin sebesar -0,2% secara QoQ. Dengan menurunnya GDP Inggris pada bulan November 2019 lalu, berarti dibutuhkan pertumbuhan sebesar 0,1% – 1,2% pada Desember 2019 untuk mencegah kontraksi ekonomi secara kuartalan pada Q4 2019.
Melalui data di atas saja, pertumbuhan ekonomi Inggris secara keseluruhan hanya bertumbuh sebesar 0,6% pada periode yang sama dari periode sebelumnya, hal ini merupakan yang terlemah sejak 2010.
Hal yang menyebabkan melemahnya pertumbuhan ekonomi Inggris pada November 2019 lalu antara lain adalah karena output manufaktur yang turun sebesar 1,7%, yang juga merupakan dampak dari tren penutupan pabrik perakitan mobil untuk menghindari disrupsi dari Brexit yang tertunda dari 31 Oktober 2019. Dari sana saja, output telah turun lebih dari 6%.
Kekhawatiran para pebisnis semakin menjadi kala Boris Johnson menghapus salah satu pasal dalam RUU yang menyatakan Inggris akan mundur dari keanggotaan Uni Eropa pada 31 Januari 2020. Di dalam RUU tersebut, Johnson menghapus pasal yang mulanya dicantumkan untuk memperbolehkan anggota Parlemen agar bisa terlibat dalam perundingan dagang dengan Uni Eropa di masa mendatang. Di mana mulanya, pasal itu dibuat untuk meraih dukungan dari Partai Oposisi.
Kemudian Pemimpin Partai Buruh, Jeremy Corbyn, sempat menyatakan sebanyak 203 anggotanya di Parlemen akan menentang RUU itu. Dia mengatakan pemerintah di bawah kepemipinan Johnson akan mengambil langkah ceroboh untuk nasib negara Inggris.
Dampak Brexit terhadap Indonesia
Seperti yang telah Penulis bahas pada artikel sebelumnya, Brexit tidak memberikan dampak yang terlalu signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini dikarenakan nilai ekspor-impor Indonesia dari atau ke Inggris tidak terlalu besar.
Negara di Uni Eropa yang merupakan tujuan utama Indonesia dalam ekspor adalah Jerman, Belanda dan Italia. Dari sini terlihat bahwa setidaknya Inggris bukan merupakan tujuan ekspor pertama bagi Indonesia.
Dampak yang kemungkinan dapat dirasakan oleh Indonesia apabila terjadi Brexit adalah; terkenanya beban tariff perdagangan 2 kali, yakni di border Uni Eropa dan border Inggris. Hal ini nantinya akan mempersulit eksportir yang menargetkan Inggris sebagai negara tujuannya, karena Inggris bukan merupakan suatu kesatuan dengan Uni Eropa lagi.
Jika hal ini terjadi juga, maka para eksportir yang menargetkan Inggris juga perlu mempertimbangkan lokasi kantor / cabang perwakilan baru di Inggris, apabila dulunya menggunakan Inggris sebagai perwakilan untuk penetrasi pasar ke Uni Eropa. Nantinya, berarti tidak bisa menggunakan Inggris sebagai negara perwakilan, tetapi harus juga mendirikan kantor atau melakukan penetrasi pasar ke negara Uni Eropa lainnya.
Tetapi, ada dampak positif yang bisa diraih juga. Misalnya, kesepakatan dagang antara Inggris dan Indonesia bisa dilakukan tanpa adanya intervensi dari pihak ketiga – Uni Eropa. Hal ini bisa meminimalisir kesepakatan yang mengikat, yang cenderung merugikan. Sebut saja contohnya tentang ekspor sawit yang sedang hangat dibicarakan.
Secara historis, Indonesia selalu mencatatkan surplus perdagangan dengan Inggris. Tetapi ke depannya apabila terjadi British Exit, tentu saja Inggris harus lebih berhati-hati dalam menentukan perdagangan dengan rekan dagangnya, karena sudah pasti akan terjadi gejolak perdagangan antara Inggris dan negara-negara dari Uni Eropa sendiri.
Hal inilah yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk menjadi peluang apabila Indonesia secara proaktif dapat melobi Inggris dan negara-negara di Uni Eropa sebagai mitra dagang yang baru.
Salah satu strategi yang bisa dilakukan adalah membuat bilateral Free Trade Agreement (FTA) dengan Inggris. Kesimpulannya, dalam jangka pendek, pasar keuangan Indonesia mungkin agak bergejolak gara-gara Brexit. Namun dalam jangka panjang, Brexit justru bisa menguntungkan Indonesia secara fundamental.
Kesimpulan
Kesepakatan Brexit yang sebelumnya “harusnya” diselesaikan pada tanggal 31 Oktober 2019 lalu, malah diundur menjadi 31 Januari 2020. Peristiwa Brexit yang katanya telah diinginkan masyarakat Inggris sejak 2016 ini mendapatkan perlawanan ataupun rasanya sangat sulit untuk direalisasikan karena anggota parlemen Inggris yang terkadang menolak dan sulitnya mencapai kesepakatan dalam merealisasikan Brexit dengan pihak Uni Eropa.
Sekarang saja dalam kondisi Brexit belum pasti kapan terlaksana, telah menimbulkan banyak ketegangan dan ketidakpastian dalam perdagangan dan ekonomi, baik dari Uni Eropa maupun dampaknya secara global. Maklum, Inggris merupakan negara dengan ekonomi terkuat ke-dua di Uni Eropa dan ke-6 di dunia apabila dibahas berdasarkan GDP. Yang artinya, apabila terjadi gejolak perekonomian di Inggris dan Uni Eropa, tentu saja akan mempengaruhi ekonomi dan perdagangan negara-negara yang bermitra dagang dengan mereka.
Bagi Indonesia sendiri, Inggris bukan merupakan target ekspor utama di Uni Eropa, melainkan adalah negara Jerman, Belanda dan Italia. Namun, apabila Brexit benar-benar terjadi, pada jangka pendek mungkin akan mempengaruhi ekonomi dan pasar keuangan, tetapi, dalam jangka panjang akan ditemukan keseimbangan / equilibrium dan dapat menjadi peluang yang baik bagi Indonesia apabila dapat melobi Inggris dan negara-negara di Uni Eropa terkait menjadi mitra dagang Indonesia ke depannya.
###
Info:
mohon maaf pak, saya masih binggung dengan terkenanya beban tarif perdagangan 2 kali.
saya pikir jika terjadi brexit maka beban tarif dagang akan tetap sekali dengan inggris. karena karena inggris sudah keluar dari UE sehingga EU tidak akan ikut campur soal tarif dagang antara negara di luar UE, seperti Inggris – Indonesia.
mohon pencerahannya. terimakasih