Terakhir diperbarui Pada 28 Maret 2019 at 3:36 pm
Amerika Serikat (AS) merupakan penggerak ekonomi terbesar di dunia dengan pertumbuhan GDP yang stabil. Selain itu menjelang akhir tahun 2018 kemarin, data perekonomian AS juga mulai menunjukkan perbaikan yang positif. Meskipun data perekonomian AS menunjukan perbaikan positif, namun yang menarik perhatian Penulis adalah munculnya issue resesi AS di 2019.
Sejumlah pengamat memprediksikan bahwa AS akan mengalami resesi AS di 2019 ataupun di 2020 mendatang. Isu resesi AS di 2019 tersebut menjadi topik pembicaraan di pasar keuangan global, begitu pun di Indonesia. Tak pelak kabar ini membuat pelaku pasar sempat panik. Apa penyebab munculnya prediksi resesi AS di 2019 dan bagaimana dampaknya terhadap IHSG ?
Daftar Isi
Current Condition Amerika Serikat (AS)
Jika kita mengacu pada kondisi AS saat ini, maka indikator-indikator yang ada tidak menunjukkan bahwa kondisi AS saat ini mengalami penurunan aktivitas ekonomi. Sebaliknya perekonomian AS saat ini justru sedang membaik. Kita dapat melihat kinerja perekonomian AS yang saat ini tengah membaik, yang ditunjukkan dari sejumlah indikator yang turut mengalami peningkatan. Di antaranya :
Pertumbuhan GDP / Produk Domestik Bruto AS
Pertumbuhan GDP/Produk Domestik Bruto AS, sebelumnya sempat down sebesar 1.3% pada pertengahan tahun 2016. Namun akhirnya GDP AS terus mengalami peningkatan hingga per tahun 2018 kemarin GDP AS berada di sekitar 3%. Pertumbuhan GDP AS ini, bisa Anda lihat pada screenshot berikut ini :
GDP Annual Growth Rate. Source : tradingeconomics.com
Pertumbuhan Inflasi AS
Selain pertumbuhan GDP yang meningkat, pertumbuhan inflasi AS juga stabil di kisaran 2.0% – 2.5% per November 2018 kemarin. Dan seperti yang sudah kita ketahui, pertumbuhan inflasi AS sempat memuncak hingga ke 2.9% dan bertahan selama Mei – Juni 2018. Sehingga bisa dikatakan bahwa pertumbuhan inflasi AS termasuk stabil, dan sebagai gambarannya bisa dilihat pada screenshot berikut :
Inflation Rate. Source : tradingeconomics.com
Tingkat Pengangguran
Demikian pula positifnya kondisi AS tersebut, juga didukung oleh semakin berkurangnya tingkat pengangguran / Unemployment Rate yang sudah mencatatkan penurunan jumlah pengangguran hingga 3.7% sejak September hingga November 2018 kemarin. AS sendiri sebelumnya pernah mencatatkan tingginya angka pengangguran hingga ke 4.1% selama kurun waktu tiga bulan di awal tahun 2018, sedangkan angka Unemployment Rate sebelumnya berada di 4.5% pada tahun 2017. Sebagai gambarannya bisa dilihat pada screenshot berikut :
Unemployment Rate. Source : tradingeconomics.com
Dari stabilnya GDP Growth, Inflasi dan Unemployment Rate tersebut sudah menunjukkan kinerja perekonomian AS di tahun 2018 kemarin justru lebih baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Prediksi Resesi AS di 2019
Kalau benar begitu, mengapa isu resesi AS di 2019 harus muncul di tengah membaiknya perekonomian AS ? Apalagi jika isu resesi AS di 2019 benar terjadi, maka AS akan menghadapi resesi yang kelima kalinya .
Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai isu resesi AS di 2019, ada baiknya kita memahami lebih dulu definisi dari “Resesi”. Resesi adalah suatu kondisi dari Produk Domestik Bruto (GDP) yang turun secara signifikan, dan biasanya terjadi selama beberapa kuartal maupun lebih dalam satu tahun. Munculnya isu resesi bisa ditandai dengan beberapa hal seperti penurunan PDB (Produk Domestik Bruto), menurunnya tingkat produksi persediaan, penjualan ritel yang juga menurun, serta meningkatnya level pengangguran.
Berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, AS sendiri sudah empat kali mengalami resesi yang terjadi di tahun 1980, 1990, 2001, dan 2007. Resesi yang sudah pernah terjadi di AS, salah satunya didorong oleh fenomena yang disebut inverted yield.
So, Apa itu Inverted Yield? Inverted Yield ini terjadi karena imbal hasil obligasi AS bertenor pendek lebih tinggi dibandingkan dengan imbal hasil obligasi AS bertenor panjang. Sejumlah pengamat ekonomi biasanya menggunakan indikator Inverted Yield ini untuk memprediksi terjadinya resesi. Indikator yang menunjukkan akan terjadinya resesi adalah jika imbal hasil obligasi jangka pendek > imbal hasil obligasi jangka panjang.
Historical menunjukkan Inverted yield terjadi pada obligasi tenor 3 dan 5 tahun sekitar 26.3 bulan sebelum resesi terjadi. Demikian halnya dengan inverted yield terjadi pada obligasi tenor 3 tahun dan 10 tahun, terjadi sekitar 89 hari setelah inversi pertama. Adapun gambaran terjadinya resesi AS adalah seperti berikut :
Histori Resesi AS. Source : Bloomberg
Seperti yang sudah kita ketahui, saat ini AS kembali diterpa isu resesi AS di 2019 sejak Desember 2018. Isu ini bermula ketika imbal hasil obligasi tenor pendek dan imbal hasil obligasi tenor panjang AS mulai terbalik atau disebut dengan inverted yield.
Dan fenomena inverted yield ini kembali terjadi sejak akhir 2018 kemarin. Yield obligasi pemerintah AS memiliki tenor 2 tahun saat ini berada sekitar 2.70% lebih tinggi ketimbang tenor 3 tahun yang sebesar Rp 2.68%. Fenomena inilah yang kemudian mencuatkan isu resesi AS di 2019 akan kembali terjadi. Dengan imbal hasil obligasi tenor 2 tahun > imbal hasil obligasi tenor 3 tahun, mulai menggambarkan kondisi inverted yield dan mengindikasikan gejala awal akan terjadinya resesi AS di 2019.
Demikian pula, imbal hasil obligasi tenor 2 tahun yang sebesar 2.50%. Hanya terpaut tipis dengan imbal hasil obligasi tenor 10 tahun yang sebesar 2.66%. Dengan kondisi inverted yield tersebut membuat gap yang sangat minim yaitu sekitar ± 0.16%. Gap ini cenderung membuat risiko ekonomi yang lebih besar dalam jangka pendek. Dengan minimnya gap tersebut, peluang resesi bisa saja terjadi karena seharusnya imbal hasil obligasi tenor 10 tahun lebih tinggi karena dalam periode yang lebih panjang.
Sebagai gambaran jelasnya bisa dilihat pada screenshot berikut ini :
Source : treasury.gov
Pemicu Terjadinya Inverted Yield
Melihat pada fenomena inverted yield di atas, salah satu hal pemicu yang menyebabkan terjadinya inverted yield saat ini adalah berlakunya kebijakan pemotongan pajak bagi korporasi yang dicetuskan oleh Donald Trump. Sementara pendapatan utama AS sendiri bersumber dari pajaknya. Pemotongan pajak korporasi ini dilakukan dalam rangka memenuhi janji Donal Trump dalam kampanye, sehingga pemimpin AS tersebut memutuskan membuat kebijakan pemotongan pajak bagi korporasi yang cukup signifikan.
Kebijakan pemotongan pajak korporasi tersebut turut memberikan dampak positif maupun negatif. Sisi positifnya adalah keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan di AS dalam meraup peningkatan laba bersih dan juga pertumbuhan ekonomi rakyatnya yang ikut meningkat. Sementara dari sisi negatifnya adalah sumber penghasilan AS yang semakin berkurang, sehingga mendorong AS agar menerbitkan obligasi dalam jumlah yang tidak sedikit. Kondisi tersebut juga diperburuk dengan keputusan Bank Sentral AS (The Fed) yang kembali menaikkan Fed Rate nya menjadi sekitar 2.25% – 2.50% sebelum tutup tahun 2018 kemarin. Belum lagi dengan adanya sentimen negatif dari perang dagang AS dengan China yang hingga kini masih berlanjut, meskipun belakangan sudah mulai mereda.
Dampak Terhadap Indonesia ?
Lantas apa dampaknya terhadap Indonesia, jika ternyata benar AS akan memasuki fase resesi di tahun 2019 ? Mengingat kondisi pasar saham Indonesia yang relatif mudah dipengaruhi oleh sentimen eksternal, bisa jadi sentimen prediksi resesi AS di 2019 ini akan berpengaruh secara negatif terhadap pergerakan IHSG dan pasar saham dalam jangka pendek.
Namun, jika kita cermati lebih jauh, sentimen prediksi resesi AS di 2019 ini justru bisa menjadi katalis positif bagi Indonesia. Jika suku bunga obligasi tenor 2 tahun sudah lebih besar dari suku bunga obligasi tenor 10 tahun, maka peluang AS untuk mengalami resesi menjadi lebih besar. Jika AS benar mengalami resesi, bisa jadi akan membuat The Fed berpikir ulang untuk kembali menaikkan Fed Rate, di mana The Fed akan berpotensi mengerem kenaikan suku bunga 1 – 2x di tahun 2019 nanti.
Perekonomian Indonesia sendiri sudah cukup tertekan dengan adanya kebijakan The Fed yang berulang kali menaikkan Fed Rate sebanyak 4 kali selama 2018 kemarin. Maka dengan The Fed berpotensi mengerem kenaikan suku bunga menjadi hanya 1 – 2x di tahun 2019, maka kondisi itu justru menjadi kabar baik bagi Indonesia.
Dengan The Fed mengerem kenaikan suku bunga, maka akan membuat tekanan terhadap Bank Indonesia dalam menaikkan suku bunga akan menjadi lebih rendah. Bank Indonesia akan memiliki keleluasaan untuk menahan suku bunga nya di angka 6%. Hal ini tentu nya bisa menjadi salah satu faktor yang mendukung penguatan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS setelah sempat melemah di tahun 2018 kemarin. Tidak hanya itu saja, potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih baik dan berpotensi mengalami peningkatan.
Kesimpulan
Sentimen negatif dari meluasnya isu resesi AS di 2019 akan membuat pasar saham dan IHSG akan berfluktuasi. Akan tetapi dalam jangka panjang bisa berpotensi menjadi sentimen positif. Sebenarnya, saat-saat ini masih terlalu dini untuk membenarkan fenomena inverted yield tersebut akan memicu resesi AS di 2019 ini. Jadi alangkah baiknya jika kita lihat bagaimana perkembangan ke depannya. Lagi pula kondisi ini tidak ada satu pun orang/kelompok yang bisa memastikan kapan AS akan mengalami resesi.
Apalagi sebenarnya fenomena inverted yield tidak selalu berakhir dengan kondisi resesi. Ambil saja contohnya pada pertengahan 1960-an, AS juga mengalami inverted yield yang muncul dan ternyata tidak menyebabkan resesi. Kondisi tersebut membuat sebagian ekonom menilai tidak ada hubungan sebab-akibat yang pasti antara inverted yield dengan resesi. Namun yang ada hanya permasalahan waktu, bahwa seringkali sebelum terjadinya resesi biasanya terjadi inverted yield lebih dulu.
###
Info:
jika benarbenar terjadi resisi maka Rupiah akan stabil,, yeay