
Terakhir diperbarui Pada 18 Juli 2025 at 11:21 pm
Artikel telah ditinjau oleh: Stock Market Analyst RK Team
Kebijakan reciprocal tariffs yang dicetuskan Trump pada 2 April 2025 lalu, nampaknya sudah menemui hasil negosiasi yang disetujui antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) dengan tarif final sebesar 19%. Hasil negosiasi tersebut dikeluarkan pada 16 Juli 2025 dan cukup mengejutkan publik. Karena diputuskan lebih cepat, dari tenggat waktu yang sudah ditentukan per Agustus 2025 nanti. Pertanyaannya, dengan final tarif Trump 19% ini apakah menjadi keputusan yang buruk atau baik bagi Indonesia?
Lika Liku Final Tarif Trump 19%
Sebelum terjadinya final tarif Trump 19%, Trump secara sepihak mengenakan kenaikan tarif sebesar 32% kepada Indonesia. Selang beberapa waktu kemudian, Trump justru memberlakukan tarif 10% untuk Indonesia selama 90 hari lamanya, sebagai bentuk penundaan kebijakan reciprocal tariffs. Sekaligus memberi peluang negosiasi kepada Indonesia sampai awal Juli kemarin.
Kendati Trump tak puas dengan hasil negosiasi, orang pertama di AS tersebut kembali mengenakan tarif sebesar 32% yang semula akan diberlakukan mulai 1 Agustus 2025. Tetapi, AS kembali memberikan opsi kepada Indonesia untuk bernegosiasi sampai di batas waktu awal Agustus nanti.
Ilustrasi Indonesia dan Amerika Serikat. Source: ekbis.sindonews.com
Fakta yang ada, negosiasi antara Trump dan Presiden Prabowo, justru lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Dengan hasil final tarif Trump 19% ke Indonesia, yang akan dikenakan pada seluruh produk asal Indonesia yang masuk ke pasar AS. Keputusan tarif ini dijadwalkan efektif mulai di 1 Agustus 2025. Tarif tersebut sudah lebih rendah dari kebijakan sebelumnya yang sebesar 32%.
“Pagi ini saya mencapai kesepakatan penting dengan Indonesia, setelah berbicara dengan Presiden yang saya hormati, Prabowo Subianto. Kesepakatan penting ini akan membuka seluruh pasar Indonesia bagi AS untuk pertama kalinya dalam sejarah,” ungkap Trup dalam Truth Social, 16 Juli 2025.
Tidak berhenti di situ, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi Indonesia untuk dapat menikmati tarif 19%, antara lain:
- Indonesia menetapkan bea masuk sebesar 0% atas seluruh produk AS.
- Indonesia harus patuh pada komitmen membeli energi senilai US$15 miliar dari AS atau setara Rp244 triliun.
- Indonesia harus melakukan impor atas produk pertanian AS senilai US$4.5 miliar atau setara Rp73 triliun.
- Indonesia harus membeli 50 pesawat buatan Boeing terbaru, yang sebagian besar tipe Boeing 777. Salah satu pesawat wide body yang menjadi andalan pabrikan asal AS.
- Jika terjadi transshipment dari Negara dengan tarif yang lebih tinggi, maka tarif tersebut akan ditambahkan dalam tarif yang dibayarkan oleh Indonesia.
“Indonesia akan membayar tarif 19% atas semua barang yang mereka ekspor ke Amerika Serikat. Sedangkan ekspor Amerika Serikat ke Indonesia akan terbebas dari hambatan tarif dan non-tarif,” ucap Trump.
Trump juga menyebutkan bahwa Indonesia sepakat untuk menghapus seluruh hambatan perdagangan, baik itu tarif maupun non-tarif bagi seluruh produk asal AS yang akan masuk ke Indonesia. Kesepakatan ini, secara langsung menegaskan bahwa AS tidak akan membayar tarif apapun ketika mengekspor barangnya ke Indonesia. Tentu ini sangat menguntungkan bagi Negeri Paman Sam tersebut.
Selain itu, Trump turut menegaskan jika ada barang dari Negara ketiga yang ingin di ekspor ke AS melalui Indonesia dan dikenakan tarif yang lebih tinggi. Maka tarif 19% tetap akan berlaku terhadap produk tersebut.
Hal lain yang juga dibahas antara Indonesia dan AS ialah isu hambatan non-tarif, kerja sama dalam bidang ekonomi digital, hingga kolaborasi dalam sektor mineral strategis, seperti halnya tembaga dan nikel. Untuk sektor mineral ini, AS sempat mengungkapkan minatnya untuk memperdalam kemitraan strategis di sektor potensial tersebut.
Final Tarif Trump 19% Paling Rendah
FYI, hasil akhir negosiasi Indonesia dan AS menjadi yang paling rendah di antara negara-negara Asia lainnya. Beberapa diantaranya seperti:
Negara | Tarif Terbaru Usai Negosiasi |
Indonesia | 19% |
Vietnam | 20% |
Filipina | 20% |
Malaysia | 25% |
Jepang | 25% |
Korea Selatan | 25% |
Brunei Darussalam | 25% |
Thailand | 36% |
Myanmar | 40% |
Laos | 40% |
Kamboja | 36% |
Bangladesh | 35% |
Moldova | 25% |
Kazakhstan | 25% |
Tunisia | 25% |
Afrika Selatan | 30% |
Irak | 30% |
Sri Lanka | 30% |
Libya | 30% |
Boznia & Herzegovina | 30% |
Uni Eropa | 30% |
Serbia | 35% |
Kanada | 35% |
Brazil | 50% |
Bahkan untuk barang yang ‘diduga’ hasil transshipment, seperti produk asal negara ketiga misalnya China, yang perakitan ringannya di negara lain akan dikenai tarif sebesar 40%. Kebijakan ini secara langsung mengincar Vietnam, yang dianggap negara transit utama dalam rantai pasokan global.
Pandangan dari Pengamat
Merespon keputusan final tarif Trump 19% ini, beberapa pengamat mengungkapkan peringatan kepada Pemerintah. Seperti yang diungkapkan M. Rizal Taufikurahman – Kepala Departemen Makroekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), untuk Pemerintah berhati-hati terhadap potensi jebakan Negara berpendapatan menengah (Middle Income Trap), yang dapat membesar akibat skema perdagangan yang baru disepakati. Menyoroti risiko eksploitasi komoditas strategis, seperti tembaga sebagai komoditas strategis yang memiliki nilai komersial tinggi dan penting bagi roadmap hilirisasi nasional. Terutamanya dalam pengembangan sektor EBT.
Tidak hanya itu, ia juga mendorong pemerintah untuk bergerak cepet menetapkan kebijakan ekspor, mulai dari: Kuota ekspor; Kewajiban DMO, hingga Skema harga ganda. Tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan nasional dan mempertahankan nilai tambah penjualan ke luar negeri. Ia turut menekankan, pentingnya mekanisme pengaman dan evaluasi berkala. Semata-mata agar Indonesia terhindar dari jebakan pola dagang yang merugikan secara struktural.
Senada dengan itu, Media Wahyu Askar – Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), juga merespon bahwa pembebanan tarif 19% atas produk Indonesia oleh AS ini sebagai langkah tidak adil. Sekaligus membuktikan Indonesia tunduk dalam negosiasi, yang berpotensi merugikan negara. Khususnya pada kesepakatan syarat pembelian wajib produk-produk AS tanpa adanya keringan tarif sebagai timbal balik yang imbang.
Keuntungan Bagi Indonesia
Meski final tarif Trump 19% ini masih terbilang tinggi bagi Indonesia, namun jika dilihat dari sisi positif ada beberapa keuntungan, seperti:
Pertama, tarif 19% ini sudah lebih rendah dari tarif awal yang sebesar 32%, yang berpotensi menguntungkan bagi para pelaku usaha lokal untuk melanjutkan kembali ekspansi. Yang dalam beberapa bulan terakhir sempat bersikap wait and see, karena ketidakpastian tarif Trump.
Kedua, keuntungan berikutnya, dapat dirasakan oleh sektor-sektor unggulan, seperti : Tekstil, Alas kaki, Perikanan, Furniture, hingga Komoditas manufaktur lain untuk menggenjot kembali volume ekspornya. Sekaligus mempertahankan pangsa pasar di AS, yang pada gilirannya dapat melindungi sektor unggulan dari risiko kerugian dan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ketiga, Indonesia masih dapat bersaing dengan negara di Kawasan Asia lainnya, yang dikenakan tarif di atas 19%. Seperti Vietnam 20%, Thailand 36%, hingga Myanmar 40%.
Kerugian Bagi Indonesia
Meski final tarif Trump 19% dinilai menguntungkan, namun tidak dapat ditampik, bahwa kebijakan ini tetap memberi dampak buruk.
Pertama, dari sisi surplus perdagangan Indonesia dengan AS yang berpotensi mengecil. Tercatat di tahun 2024 kemarin, jumlah ekspor Indonesia ke AS mencapai US$26.31 miliar dan impor sebesar US$9.47 miliar, sehingga surplus perdagangan US$16.84 miliar. Potensi kerugian ini muncul, dari adanya kesepakatan Indonesia yang menyanggupi impor produk US senilai US$20 miliar. Di mana Indonesia berpotensi mengalami defisit perdagangan sekitar US$3.16 miliar. Jika nantinya ini benar terjadi, maka pemerintah harus menutupi defisit perdagangan sekitar US$3.16 miliar, guna menjaga pertumbuhan GDP Indonesia ke depan.
Kedua, potensi hancurnya daya saing produk lokal. Dengan semakin banyaknya produk AS yang membanjiri pasar Indonesia, imbas dibebaskannya biaya masuk produk AS ke Indonesia, tentu ini berpotensi merusak pasar Indonesia. Apalagi saat ini saja, kompetisi jual beli produk lokal sudah bersaing ketat dengan produk-produk asal China yang lebih dulu menyerbu pasar Indonesia. Hal ini dapat mengakibatkan persaingan usaha yang semakin ketat dan tidak sehat. Sementara dari sisi pemerintah belum mampu memberikan solusi yang efektif dalam mendongkrak daya saing para pengusaha lokal.
Ketiga, beban fiskal Indonesia yang berpotensi melonjak signifikan dan semakin berat. Hal ini muncul dari adanya syarat AS yang mewajibkan Indonesia membeli produk-produk AS, mulai dari energi, pertanian, hingga pesawat Boeing. Bukan tidak mungkin AS akan menjual produk-produk tersebut dengan harga yang lebih mahal.
Keempat, Indonesia berisiko menjadi pasar konsumsi. Masih dari kewajiban Indonesia untuk membeli produk AS, yang dapat dikatakan sebagai ‘pembelian secara besar-besaran’. Kondisi ini dapat membuat Indonesia kehilangan manfaat ekonomi, karena nilai ekonominya hanya mengalir ke tenaga kerja dan industri AS saja. Sehingga Indonesia hanya akan menjadi objek pasar konsumsi, apalagi dengan kondisi produsen lokal yang belum memiliki daya saing tinggi, baik dari sisi efisiensi maupun kualitas.
Kelima, adanya potensi tuntutan yang sama dari mitra dagang lain ke Indonesia. Bukan tidak mungkin mitra dagang dari negara lain, seperti China maupun Uni Eropa akan meminta perlakuan yang sama dari Indonesia atas sejumlah produk dagang. Jika tuntutan ini terjadi, tentu perdagangan Indonesia dengan negara lain berada dalam tekanan.
Stock Market Mastery, program belajar saham komprehensif yang didesain oleh RK Team secara komprehensif, membantu Anda mendapatkan profit secara konsisten di pasar saham, diadakan lagi untuk periode Agustus - September 2025, segera daftar di sini!

Manfaatkan Voucher 200k bagi Pendaftar Tercepat SMM RK!

Kesimpulan: Bad Deal or Good Deal?
Final tarif Trump 19% tercapai, setelah Presiden Prabowo turun tangan secara langsung melakukan negosiasi bilateral dengan Trump. Meski keputusan akhir, justru sangat menguntungkan posisi Amerika Serikat. Lantaran barang-barang ekspor dari Amerika Serikat sama sekali tidak dikenai pajak oleh Indonesia. Ditambah lagi dengan adanya sejumlah persyaratan pembelian produk AS yang harus dipenuhi Indonesia, untuk bisa menikmati tarif 19%. Membuat AS memiliki akses penuh ke sumber daya Indonesia.
Menurut Penulis, kebijakan tarif 19% ini secara tidak langsung memang terkesan ‘bad deal’, karena merugikan posisi Indonesia yang cenderung sudah memberikan banyak keuntungan bagi AS. Namun AS tetap memberlakukan kebijakan yang justru memberatkan Indonesia.
Akan tetapi jika, dilihat secara bijaksana sebenarnya ini bisa jadi salah satu tujuan Pemerintah Indonesia untuk terlebih dulu menjaga keberlanjutan hubungan diplomasi yang baik, antara Indonesia dan Amerika Serikat. Meski dalam pelaksanaannya, ada konsekuensi dan pengorbanan yang cukup besar. Adapun dalam hal ini, Penulis berpandangan sewajarnya Indonesia dapat dikenakan tarif yang lebih rendah di kisaran 10% – 15%.
Terlepas dari apapun keputusan Pemerintah Indonesia terhadap kesepakatan final tarif Trump 19%. Diharapkan tidak menjadi pisau bermata dua, yang dalam jangka pendek memberik keuntungan bagi Indonesia. Namun dalam jangka panjang justru semakin merugikan dan menekan Indonesia. Apalagi dengan adanya kewajiban Indonesia terhadap AS, yang membuat AS seolah-olah memiliki kontrol penuh atas Indonesia, terutamanya dari sisi perdagangan. ***
###
DISCLAIMER ON:
Tulisan ini bukan rekomendasi jual dan beli. Semua data dan pendapat pada artikel adalah bersifat informasi yang mengedukasi pembaca, berdasarkan sudut pandang penulis pribadi. Risiko investasi berada pada tanggung jawab masing-masing investor. Do Your Own Research!
Temukan Artikel Analisa dan Edukasi Saham lainnya di Google News.