
Daftar Isi
Artikel telah ditinjau oleh: Stock Market Analyst RK Team
Pemberlakukan kebijakan reciprocal tariffs yang diumumkan sejak 2 April 2025 kemarin, diklaim Trump sebagai momentum ‘Hari Pembebasan’. Di mana Trump berkeyakinan reciprocal tariffs ini dapat menyeimbangkan kembali tarif perdagangan global, melalui adanya pengenaan bea masuk tambahan terhadap barang-barang impor dari mitra dagang yang akan masuk ke AS. Pertanyaannya, bagaimana dampak tarif Trump kedepan? Apakah ini menjadi peluang atau ancaman bagi Indonesia?
Trump, Kebijakan Reciprocal Tariffs, dan Kondisi AS
Kepemimpinan Trump di AS, belum pernah gagal menarik perhatian global. Seperti diketahui, pada tahun 2018 untuk pertama kalinya Trump memberlakukan tarif bea masuk pada barang-barang asal China sebesar USD34 miliar. China kemudian merespon dengan menerapkan tarif yang serupa pada produk-produk dari AS. Situasi tersebut cukup menegangkan kondisi perdagangan global.
Subscribe Monthly Investing Plan terbaru dapatkan Portfolio Update, ikuti Meet The Company, dan Live Discussion! Buruan!

Dan kini, di bawah kepemimpinan yang kedua kalinya pada tahun 2025, Trump kembali menggebrak perdagangan global dengan menerapkan kebijakan reciprocal tariffs. Sebagai bentuk balasan terhadap tarif dagang yang dinilai tinggi dari Negara-negara yang menjadi mitranya. Bahkan Trump tak segan-segan memberikan tarif lebih dari 10% kepada sebanyak 54 Negara.
Trump berdalih kebijakannya tersebut, didasarkan oleh tarif yang tinggi pada produk-produk ekspor AS, mata uang yang dimanipulasi, hingga adanya hambatan perdagangan. Sehingga Trump menilai pentingnya kebijakan reciprocal tariffs diterapkan mulai tahun ini. Semata-mata untuk memberi perlindungan pada industri bisnis yang ada didalam ranah AS.
Namun melihat banyaknya kecaman yang ditujukan kepada orang pertama di AS ini. Tentu kebijakan reciprocal tariffs ini bukan sebuah solusi yang baik bagi para mitra dagang AS. Justru langkah Trump ini dikhawatirkan seperti ‘menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri’, mengingat kondisi ekonomi AS sendiri kurang baik sekarang ini. Tercatat untuk pertumbuhan GDP AS tahun 2024 berada di level 2.4%, yang dipicu oleh menurunnya ekspor dan impor, sedangkan pengeluaran Pemerintah meningkat.
Pertumbuhan GDP AS. Source: tradingeconomics
Dan berdasarkan tingkat inflasi AS per Februari 2025 juga susut di level 2.8%. Begitu juga dengan inflasi inti bulanan yang turun 0.2% menjadi 3.1%, menjadi angka paling rendah sejak April 2021.
Inflasi AS. Source: tradingeconomics
Inflasi Inti AS. Source: tradingeconomics
Kondisi AS juga diperburuk dengan jumlah pengangguran yang kembali melonjak di Maret 2025, menjadi 4.2%. Jumlah pengangguran AS melonjak sebanyak ±31.000, menjadi 7.08 juta. Sekalipun lapangan kerja di AS mengalami pertambahan sebanyak ±201.000, menjadi 163.51 juta.
Tingkat Pengangguran AS. Source: tradingeconomics
Dampak Tarif Trump ke Depan
Berkenaan dengan dampak tarif Trump secara global, sudah tentu akan menuai beragam respon dan kecaman dari Negara-negara yang dibebankan kebijakan reciprocal tariffs. Tidak hanya itu, bagi kelompok bisnis di Negara-negara yang menjadi importir maupun eksportir, akan sama-sama diberatkan karena tarif bea masuk yang tinggi.
Di mana, bagi importir seperti AS di awal-awal kebijakan reciprocal tariffs ini memang diuntungkan dari sisi peningkatan pendapatan Negara, sejalan dengan tingginya kenaikan tarif impor yang lebih besar dari sebelumnya.
Hanya saja dari sisi ranah global, akan mengalami penurunan efisiensi produksi global, lantaran terjadi penurunan jumlah ekspor. Pada gilirannya, kondisi tersebut akan memicu lonjakan inflasi, khususnya di AS. Sementara bagi Negara-negara eksportir berpotensi mengalami deflasi.
Itu kenapa Penulis menyebut langkah Trump saat ini, selayaknya pepatah ‘menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri’. Tujuannya memang untuk memberi perlindungan industri di AS, dengan meningkatkan daya saing produk buatan sendiri dibandingkan produk impor.
Namun di lain sisi, tarif impor yang tinggi justru menimbulkan potensi efisiensi produksi yang ‘dipaksa’. Padahal industri di AS juga masih membutuhkan ketersediaan bahan baku, yang umumnya masih harus diimpor dari luar AS. Jika kondisi seperti ini berlanjut, bukan tidak mungkin barang-barang hasil produksi AS akan mengalami lonjakan harga. Kemudian berimbas pada penurunan daya saing produk AS, hanya karena lonjakan harga, akibat sulitnya mendapatkan bahan baku impor dengan harga yang lebih rendah. Alih-alih Trump untuk melindungi industri, justru bisa menjadi boomerang bagi situasi ekonomi AS.
Gimana dengan Dampak Tarif Trump terhadap Indonesia?
Nah, Indonesia sendiri termasuk Negara yang terkena penerapan kebijakan reciprocal tariffs sebesar 32%. Hal ini wajar dibalas oleh AS, lantaran Indonesia memang memberlakukan tarif kepada barang-barang asal AS yang akan masuk ke Indonesia.
Melansir informasi yang dirilis oleh tempo.co, mengenai pernyataan yang diungkapkan laman Gedung Putih AS pada 2 April 2025 kemarin. Trump menyebutkan bahwa tarif impor atas produk etanol dari AS untuk bisa masuk ke Indonesia dikenakan tarif sebesar 30%. Ia mengklaim, bahwa tarif tersebut sangat besar, dibandingkan kebijakan AS terhadap tarif produk etanol yang hanya 2.5%.
Selain itu, Trump juga mempermasalahkan kebijakan non-tarif. “Indonesia menerapkan persyaratan TKDN di berbagai sektor, izin impor yang buruk dan kompleks, bahkan mewajibkan perusahaan di sektor SDA untuk menyimpan pendapatan ekspor ke dalam negeri untuk transaksi senilai US$250 ribu atau lebih,” ujar Trump.
Alasan tersebut yang menguatkan Trump untuk membebani tarif impor terhadap produk-produk asal Indonesia. Tetapi kabar baiknya, per 9 April 2025 Trump berubah pikiran untuk menurunkan tarif impor pada sebagian besar mitra dagangnya, menjadi 10% selama 90 hari ke depan. Keputusan Trump ini merupakan bentuk penundaan reciprocal tariffs, sebagai tanggapan AS atas pendekatan negosiasi yang dilakukan oleh puluhan Negara-negara mitra dagang tersebut.
Keputusan Trump tunda kebijakan reciprocal tariffs. source: googlesearch
Kendati begitu, dampak tarif Trump ini tetap menawarkan dua sisi yang cukup menantang bagi prospek ekonomi Indonesia, baik dari peluang maupun ancaman. Berikut pertimbangannya:
Peluang
Terbukanya peluang ekspansi pasar ke Negara lain
Pasar ekspor yang dapat disasar Indonesia, bukan hanya ke AS saja. Apalagi, China menjadi korban terbesar dari dampak tarif Trump. Tentunya hal ini membuka peluang bagi Indonesia, untuk masuk dan mengambil alih pasar China, yang sebelumnya diisi oleh AS. Misalnya saja, beberapa produk utama China yang di ekspor ke China, suku cadang mesin kantor, komputer, hingga peralatan penyiaran.
Terbukanya pilihan diversifikasi ekspor
Dampak tarif Trump ini, juga secara tidak langsung telah membuka banyak pilihan diversifikasi ekspor. Mendorong Negara-negara lain, termasuk Indonesia untuk mencari pasar non-AS dan tidak lagi bergantung pada AS. Mengingat, masih cukup banyak pangsa pasar global lain yang dapat disasar sebagai tujuan ekspor, misalnya India maupun Timur Tengah dan/atau lainnya.
Potensi masuknya investasi dari Negara lain
Investasi ini salah satunya bisa berupa relokasi pabrik, karena pertimbangan tarif bea masuk yang lebih murah dibandingkan AS. Hal ini bisa menjadi peluang yang baik bagi Indonesia, untuk mendapatkan investasi baru. Terlebih lagi, jika Indonesia mampu meningkatkan daya saing, baik dari sisi SDM, infrastruktur, hingga kepastian regulasi.
Ancaman
Potensi pelemahan angka penjualan
Bagi para eksportir Indonesia, kebijakan reciprocal tariffs yang terbaru ini dapat melemahkan angka penjualan. Terutamanya untuk industri tekstil maupun alas kaki, pembuatan furniture, produksi karet, hingga budidaya perikanan yang selama ini sangat mengandalkan pasar AS, yang menjadi tujuan ekspor cukup besar.
Melemahnya nilai tukar mata uang Rupiah terhadap dolar AS
Pelemahan Rupiah masih terus berlanjut dalam satu tahun terakhir, bahkan pada 8 April 2025 Rupiah sempat menyentuh level Rp17.000an per dolar AS. Dan per artikel ini ditulis, Rupiah berada di kisaran Rp16.800an – Rp16.900an. Dipicu oleh banyak sentimen, mulai dari Indonesia yang menghadapi kebijakan reciprocal tariffs dari AS sebesar 32%, hingga China yang juga dikenakan tarif mencapai 104% untuk barang-barangnya oleh AS. Tak pelak ketegangan global semakin meningkat, yang berimbas pada lemahnya Rupiah…
Pergerakan Nilai Tukar Rupiah per 9 April 2025. Source: tradingeconomics
Ancaman PHK secara besar-besaran
PHK yang belakangan marak terjadi di dalam industri Indonesia. Kondisi industri yang tengah ‘kocar-kacir’ sekarang ini, dengan semakin bertambahnya gelombang PHK. Kian diperburuk dengan potensi menurunnya permintaan akibat dampak tarif Trump yang cukup besar bagi barang-barang Indonesia, untuk masuk ke AS.
Gelombang PHK Industri di Indonesia. Source: tradingeconomics
Meningkatnya ketidakpastian global
Dampak tarif Trump yang cukup tinggi pada sejumlah Negara, dapat menimbulkan volatilitas ekonomi secara global. Terlebih lagi, ketika China kehilangan pangsa pasarnya dari AS. Bukan tidak mungkin produk China akan menyerbu pasar di wilayah Asia Tenggara, salah satunya yang potensial diincar China ialah Indonesia. Dengan begitu dampak tarif Trump ini akan berimbas pada semakin tertekannya harga produk lokal Indonesia.
Volume ekspor Indonesia tertekan
Indonesia memang bukan target utama dari AS, namun dengan banyaknya Negara yang dikenakan tarif bea masuk cukup tinggi, seperti China. Tentu dapat mengganggu rantai pasokan global dan membuat produk Indonesia kurang kompetitif. Terlebih lagi ada banyak komponen yang perakitannya dilakukan oleh Indonesia.
Persaingan pasar di Indonesia semakin ketat
Dengan beralihnya ekspor Negara-negara lain dari AS, seperti China. Maka persaingan pasar di Indonesia akan semakin ketat, karena ada banyak produk-produk impor dengan harga sangat murah menyerbu pasar domestik. Bukan itu saja, harga wajar pasar domestik juga menjadi rusak.
Kesimpulan
Dampak tarif Trump secara global, memang cukup mengancam situasi perekonomian global yang cenderung menjadi tidak pasti. Belum lagi dengan adanya tekanan impor yang lebih besar, terutamanya dalam jangka pendek ini.
Namun dibalik ancaman tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa dampak tarif Trump tetap menawarkan peluang baru bagi banyak Negara-negara yang terimbas kebijakan reciprocal tariffs. Di mana adanya potensi penguatan daya saing bagi industri lokal, terbukanya investasi asing, hingga perluasan pasar ekspor.
Source: kemendag.go.id
Terlepas dari dampak tarif Trump, Indonesia sendiri saat ini tengah berupaya melakukan negosiasi dengan Trump, guna mengurangi tarif impor sebesar 32% tadi. Ya, baru-baru ini Perwakilan Pemerintah Indonesia sudah berkomuniksi dengan U.S Trade Representative untuk membahas proposal negosiasi. Rencananya Indonesia tidak mengajukan permintaan untuk menurunkan tarif impor. Melainkan memberikan beberapa penawaran, seperti adanya relaksasi Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Termasuk opsi untuk meningkatkan pembelian produk-produk AS, sebagai upaya untuk mengurangi defisit neraca perdagangan baik untuk Indonesia maupun AS, yang belum lama ini mencapai USD18 miliar.
Dan seperti yang sudah ditegaskan di atas, bahwa Indonesia saat ini tengah menunggu keputusan Trump yang terbaru, berkenaan dengan penundaan reciprocal tariffs selama 90 hari.***
###
DISCLAIMER ON:
Tulisan ini bukan rekomendasi jual dan beli. Semua data dan pendapat pada artikel adalah bersifat informasi yang mengedukasi pembaca, berdasarkan sudut pandang penulis pribadi. Risiko investasi berada pada tanggung jawab masing-masing investor. Do Your Own Research!
Temukan Artikel Analisa dan Edukasi Saham lainnya di Google News.