Terakhir diperbarui Pada 10 September 2024 at 1:00 pm
Daftar Isi
Artikel telah ditinjau oleh: Stock Market Analyst RK Team
Sejak awal tahun 2019, harga saham HMSP terus mengalami penurunan sekitar 30% dari harga saham di level 4000-an dan terus turun ke level terendahnya di kisaran 2800-an. sebelum akhirnya kini harga saham HMSP kembali rebound di kisaran 3000-an. Merosotnya harga saham HMSP tentu menjadi pertanyaan bagi investor, apa yang melatarbelakangi penurunan harga saham HMSP tersebut ? Apakah penurunan harga saham HMSP sudah bisa disebut peluang untuk dikoleksi ?
Tentang Perusahaan HMSP
Berawal dari seorang imigran asal Tiongkok yang tinggal di Surabaya pada tahun 1913, memulai usaha kecilnya dengan menjadi usaha pertama di Indonesia yang membuat dan memasarkan rokok kretek dengan merek Dji Sam Soe. Hingga usahanya berkembang di tahun 1930, akhirnya berdirilah sebuah perusahaan dengan nama Sampoerna dengan pabrik yang berada di area kompleks bangunan di Surabaya yang bernama “Taman Sampoerna” dan masih aktif memproduksi Sigaret Kretek Tangan (SKT) milik Sampoerna. Dan pada Oktober 1963, akhirnya resmi berdiri menjadi perusahaan dengan nama PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk.
Setelah mengalami pertumbuhan pesat, akhirnya perusahaan resmi menjadi perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta dengan kode saham HMSP. Dan kemudian HMSP gencar melakukan investasi dan ekspansi. Kondisi HMSP saat itu, menarik perhatian Philip Morris International (PMII) melalui anak usahanya Philip Morris International Indonesia (PMID) untuk mengakuisisi mayoritas saham HMSP pada Mei 2005. Sejak saat itu, HMSP terus berkembang menjadi perusahaan tembakau terkemuka di Indonesia. Dan di tahun 2006, HMSP berhasil menduduki posisi nomor satu dalam pangsa pasar di pasar rokok Indonesia. Berikut ini adalah gambaran pemegang saham HMSP :
Pemegang Saham HMSP. Source : Laporan Tahunan HMSP 2018
Dalam operasionalnya, HMSP ini memproduksi sekitar merk rokok yang telah mendominasi pangsa pasar di Indonesia. Kelima diantaranya adalah : Merk rokok Dji Sam Soe sebagai merk rokok pertama dari HMSP di tahun 1913 dan juga dikenal sebagai ‘Raja Kretek’. Merk rokok Sampoerna Kretek di tahun 1968. Merk rokok Sampoerna A di tahun 1989. Merk rokok Sampoerna U di tahun 2005. Merk rokok Marlboro yang juga menjadi salah satu merk terbesar di dunia dan merk internasional ini diperkenalkan pada tahun 2016.
Merek-merek Rokok milik HMSP. Source : Laporan Tahunan HMSP 2018
Penyebab Merosotnya Harga Saham HMSP
Seperti yang disebutkan di atas, harga saham HMSP belakangan ini sedang berada dalam trend bearish dari awalnya berada di level 4000-an, namun terus melemah hingga di level terendah 2800-an. Itu artinya harga saham HMSP ini sudah terkoreksi hingga sebesar 30%. Pelemahan harga saham HMSP itu menjadi harga saham paling terendah dalam tiga tahun terakhir seperti screenshot di bawah ini:
Pergerakan Saham HMSP dalam 3 tahun. Source : yahoofinance.
Jika dilihat lebih jauh, penurunan harga saham HMSP ini dipengaruhi oleh beberapa hal seperti : Adanya rencana pemberlakukan Kebijakan 100% Free Float yang akan berlaku dalam rebalancing indeks LQ45 pada Agustus 2019 nanti. Kebijakan Free Float yang diterapkan BEI, menjadikan faktor jumlah saham beredar di publik sebagai salah satu faktor pembobot, di samping faktor likuiditas dan kapitalisasi pasar. Semakin besar jumlah saham beredar di publik, maka akan memberikan bobot yang lebih besar. Sementara semakin sedikit jumlah saham beredar di publik, maka akan memberikan bobot yang lebih kecil.
Seperti yang kita tahu bahwa saham HMSP ini merupakan salah satu emiten yang Market Cap nya sangat besar sekitar Rp 366 triliun per 2019 dengan kepemilikan bobot tadinya sekitar 11% terhadap IHSG. Namun perhitungan Free Float dalam indeks LQ45 nanti akan membuat bobot saham HMSP berkurang. HMSP, seperti Anda lihat pada struktur kepemilikan pemegang saham di atas, 92.5% kepemilikan sahamnya dipegang oleh Philip Morris, sementara jumlah saham beredar di masyarakat hanya 7.5% saja. Maka, dengan adanya variabel Free Float dalam indeks LQ45 maka bobot saham HMSP ini diprediksikan hanya akan sebesar 7.44%. Anyway, bagi Anda yang belum memahami apa itu Free Float, Penulis sendiri sudah pernah menulis artikel yang mengulas tentang rencana penerapan Free Float di tahun 2019 ini.
[Baca lagi: Rencana Penerapan Free Float, Bagaimana Dampaknya pada Saham Indeks LQ45 dan IDX30?]
Hal ini membuat sejumlah fund manager yang biasanya menempatkan portfolio pada emiten yang memiliki bobot besar terhadap IHSG, akan mengurangi porsi sahamnya di HMSP, sehingga turut menekan harga saham HMSP.
Dalam beberapa waktu belakangan ini saja saham HMSP sudah dilepas oleh sejumlah investor asing. Jika dihitung dalam tiga bulan terakhir, investor asing sudah melakukan penjualan bersih saham HMSP hingga sebesar Rp 423.7 miliar. Adapun investor asing yang sudah melancarkan aksi jual beli saham HMSP diantaranya Credit Suisse Sekuritas Indonesia (CS) yang tercatat sebagai broker penjual saham HMSP dengan hasil jual bersih paling besar. Di bawahnya, ada CLSA Sekuritas Indonesia (KZ). Dan ada Macquarie Sekuritas Indonesia (RX).
Selain itu, jika dilihat secara umum memang kondisi industri rokok saat ini sedang lesu. Dalam lima tahun terakhir ini saja tren penjualan rokok terus menurun, dari 352 miliar batang di tahun 2014 turun menjadi 332 miliar batang di 2018 kemarin. Dengan rata-rata penurunan sekitar 2% / tahun. Belum lagi hingga saat ini penjualan ritel rokok dan pasar rokok ilegal juga terus meningkat. Berdasarkan kajian Ernst & Young dalam “Kajian Singkat Dampak Ekonomi Industri Rokok di Indonesia 2018”, jumlah pasar rokok ilegal di tahun 2017 naik hingga 12.3%. Tentu hal tersebut menjadi ancaman tersendiri bagi pertumbuhan penjualan HMSP. Hal ini terlihat dari kinerja operasional HMSP. Di mana volume penjualan HMSP sepanjang Januari – Juni 2019 turun sekitar 1.8% menjadi 47.1 miliar batang, dari penjualan Januari – Juni 2018 yang sebanyak 48 miliar batang.
Industri Rokok Memasuki Sunset Period?
Belakangan ini industri rokok di Indonesia diramaikan dengan adanya wacana penggabungan golongan rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) yang kembali disuarakan oleh DPR RI. Penggabungan kedua golongan rokok akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat, terutama untuk industri hasil tembakau (IHT) Indonesia. Belum lagi ditambah dengan adanya rencana penyerderhanaan cukai rokok sejak beberapa tahun ke belakang yang dinilai akan mematikan industri kretek nasional, yang merupakan penyerap tembakau petani lokal dan bahkan nasional. Lantaran akan mengurangi volume produksi produk olahan tembakau sehingga industri tembakau akan semakin tergerus.
Bukan hal yang tidak mungkin nantinya akan membuat pengusaha pabrikan kecil tidak mampu bertahan dan akibatnya penyerapan tembakau lokal juga akan semakin rendah. Tidak hanya membuat volume produksi berkurang, namun Industri Hasil Tembakau (IHT) yang posisinya ada di lapisan yang dihilangkan, justru akan membayar cukai pada lapisan di atasnya dengan harga yang lebih tinggi.
Di sisi lain, pengurangan produksi juga berkaitan dengan pertumbuhan penerimaan pendapatan negara. Sehingga bukan hal yang tidak mungkin akan terjadi penurunan pertumbuhan pendapatan negara jika cukai rokok disederhanakan.
Di samping itu, industry rokok konvensional juga dihadapkan pada pertumbuhan rokok tembakau juga harus bersaing dengan jenis rokok elektrik alias ‘Vape’ atau ‘Vapor’ yang nampaknya sudah mendapatkan tempat tersendiri bagi penggemar rokok. Kehadiran rokok elektrik ini menjadi alternatif lain yang positif karena di nilai lebih murah ketimbang dengan rokok tembakau.
Memang awalnya untuk bisa mempunyai rokok elektrik ini, seseorang harus merogoh kocek cukup besar, mahalnya harga Vape ini karena di Indonesia sendiri masih sedikit penggunanya. Namun seiring dengan persaingan industri rokok, dan kenaikan harga rokok tembakau, akhirnya rokok elektrik ini mulai dikenal dan digunakan sebagian besar masyarakat.
Dari sisi penjualan pun, rokok elektronik ini masih cukup terbatas karena hanya bisa di beli melalui online strore ataupun outlet vape yang terbilang masih sangat jarang. Kendati demikian, pertumbuhan rokok elektrik ini kan menjadi pesaing bagi pertumbuhan rokok tembakau seperti HMSP.
Skema Kebijakan Cukai & Regulasi Rokok: Pro Kontra
Seperti yang kita tahu, khusus di tahun 2019 ini cukai rokok tidak mengalami kenaikan. Hal tersebut sempat diyakini bisa mendongkrak pertumbuhan penjualan rokok tembakau, selain dari kenaikan harga rokok itu sendiri sekaligus memberikan ruang gerak bagi perusahaan dan industri hasil tembakau (IHT). Cukai rokok yang tidak naik di tahun ini, dinilai sangat membantu industri rokok yang sedang dalam tren penurunan setiap tahunnya terhitung sejak 2016 lalu. Akibat kenaikan cukai rokok yang jauh melebihi angka inflasi.
Akan tetapi di lain pihak, kondisi berbanding terbalik pasca pelaksanaan pemilu 2019 di mana kenaikan cukai rokok kembali mencuat ke permukaan, yang diklaim juga akan membantu menurunkan angka pengguna rokok di Indonesia. Adapun target kenaikan cukai rokok pada masa mendatang adalah di atas 57%. Padahal kenaikan tarif cukai rokok itu sendiri akan menjadi peluang yang berimbas negatif terhadap industri rokok Indonesia.
Kebijakan pemerintah lainnya juga terkait dengan regulasi yang semakin ketat untuk industri rokok dalam negeri maupun internasional. Regulasi tersebut sangat mempertimbangkan perlindungan dari sisi konsumen dan juga kesehatan. Kondisi itu juga menyebabkan industri rokok semakin tertekan. Di sisi lain, pemerintah juga hingga saat ini masih berupaya membuat kebijakan yang mungkin bisa diterima oleh semua pihak.
Mengingat industri hasil tembakau (IHT) tetap perlu dikembangkan dengan memperhatikan keseimbangan kesehatan, penyerapan tenaga kerja, dan juga terhadap pendapatan negara. Lantaran hingga saat ini industri hasil tembakau (IHT) masih menjadi satu-satunya industri yang paling besar kontribusinya terhadap pendapatan negara melalui cukai. Cukai sendiri menjadi salah satu penerimaan negara terbesar ketiga, di mana sekitar 95% di antaranya berasal dari cukai hasil tembakau.
Sayangnya kebijakan cukai dan regulasi dari pemerintah tersebut selama ini kerap menjadi polemik, dan menuai pro kontra para pelaku usaha tembakau, baik kecil maupun besar. Tak heran jika sebenarnya industri rokok semakin kesini semakin tertekan.
Kesimpulan
Sejauh ini Penulis melihat trend bearish yang terjadi pada pergerakan harga saham HMSP dipengaruhi oleh beberapa hal. Mulai dari rebalancing LQ45 dengan menerapkan sistem free float 100%, membuat HMSP yang tadinya memiliki bobot sekitar 11% terhadap IHSG menjadi berkurang menjadi 7.44% karena jumlah saham beredar HMSP di publik yang kecil hanya sekitar 7.5%. Kondisi itu akan membuat sejumlah institusi broker baik lokal dan asing, akan melakukan aksi penjualan saham HMSP. Seperti yang sudah terjadi dalam tiga bulan terakhir ini, para institusi tersebut akan kembali menarik modal yang mereka tanam di saham HMSP.
Di sisi lain, HMSP juga dihadapkan pada sejumlah tantangan seperti industri rokok yang tidak bisa dipungkiri saat ini juga tengah lesu, di mana dalam beberapa tahun terakhir penjualan rokok terus menurun. Lesunya industri rokok tidak terlepas dari sejumlah kondisi, mulai dari wacana penggabungan golongan rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM), rencana penyerdehanaan cukai rokok, hingga ke pertumbuhan rokok tembakau yang harus bersaing dengan jenis rokok elektrik. Bahkan sebenarnya industri rokok kini semakin tertekan, lantaran ketidakpastian dari pemerintah terkait dengan kebijakan cukai beserta dengan regulasi yang selalu berubah-ubah menyesuaikan dengan dinamika industri.
Jadi menjawab pertanyaan di atas, apakah penurunan harga saham HMSP sebesar 30% merupakan opportunity atau bukan ? Dengan melihat CAGR penjualan HMSP yang hanya mencapai 1.3%, dan CAGR Net Profit hanya 5.2% dalam 5 tahun terakhir, mengindikasikan bahwa HMSP belum bisa lagi memberikan pertumbuhan yang optimal bagi para pemegang sahamnya.
Dari segi valuasi, meskipun harga saham telah terkoreksi sekitar 30%, namun HMSP juga belum bisa dikatakan murah secara nilai. Pada harga 2900 – 3000 an saat ini, HMSP berada pada valuasi PER 25x dan PBV 8.8x. Dengan mempertimbangkan HMSP ini terendahnya pernah dihargai pada PER 21x, maka dengan EPS HMSP yang saat ini sebesar Rp 116 / lembar saham, maka untuk lebih amannya Anda bisa masuk jika harga saham HMSP mencapai < 2500.
###
DISCLAIMER ON:
Tulisan ini bukan rekomendasi jual dan beli. Semua data dan pendapat pada artikel adalah bersifat informasi yang mengedukasi pembaca, berdasarkan sudut pandang penulis pribadi. Risiko investasi berada pada tanggung jawab masing-masing investor. Do Your Own Research!
Temukan Artikel Analisa dan Edukasi Saham lainnya di Google News.