Terakhir diperbarui Pada 19 Februari 2019 at 7:24 am
Indonesia menjadi produsen kertas peringkat ke-6 dan juga sebagai industri pulp peringkat ke-9 di dunia. Fakta ini menjadikan pulp dan paper sebagai salah satu potensi ekonomi yang berperan penting bagi Indonesia. Bahkan di tahun 2017 – 2018 kemarin, harga saham dua emiten (INKP dan TKIM) mencetak return yang luar biasa. Hal ini seiring dengan meningkatnya harga Pulp & Paper.
Sayangnya sejak November 2018 kemarin harga Pulp & Paper merosot. Hal ini turut mengancam kinerja emiten Pulp & Paper di Indonesia. Bagaimanakah prospek industri Pulp & Paper dalam menghadapi kemerosotan harga kertas belakangan ini ?
Daftar Isi
Penyebab Merosotnya Harga Kertas
Kinerja industri pulp & paper nasional belakangan ini dipengaruhi oleh turunnya harga kertas global, serta diiringi dengan melemahnya pertumbuhan industri kertas domestik. Hal tersebut sangat disayangkan, mengingat pulp & paper mampu memberikan kontribusinya yang cukup besar dalam pembentukan PDB hingga sekitar Rp 87.7 triliun di tahun 2015 kemarin. Demikian pula dengan kontribusinya terhadap devisa negara, untuk pulp sebesar USD 1.73 miliar dan untuk kertas sebesar USD 3.57 miliar di tahun 2015.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan kinerja ekspor pulp Indonesia kembali menurun pada November 2018 sebesar US$ 71.6 juta. Turunnya ekspor tersebut, berdampak pada lemahnya permintaan yang menjadi salah satu penyebab merosotnya harga kertas sejak November – Desember 2018 kemarin. Lemahnya permintaan tersebut lantaran telah terjadi peningkatan persediaan yang melimpah (oversupply), akibatnya harga kertas merosot sekitar 10% hingga 20% lebih rendah. Dengan persediaan kertas yang melimpah itu, berdampak pada sejumlah produsen kertas yang mengalami kelebihan stok. Normalnya stok produsen hanya berkisar 2.000 ton, namun saat ini justru stok kertas mencapai kisaran 4.000 ton.
Selain itu penyebab lainnya, yang turut mengakibatkan kemerosotan harga kertas adalah persaingan ketat dalam mengalihkan pasar ke negara alternatif juga masih sulit, karena ternyata produsen kertas dari negara lain juga mengincar pasar-pasar alternatif. Di samping itu, berdasarkan kontrak ShFE pulp front-month SSPM9 untuk pengiriman Juni 2019 nanti, harga pulp & paper sudah merosot dari harga dasar 5.980 Yuan ($ 861) per ton sejak November 2018 lantaran tingkat persediaan yang tinggi baik di China maupun Internasional, dan permintaan yang rendah musiman untuk pulp.
Sementara penyebab eksternal yang saat ini terjadi, adalah industri pulp & paper harus berpacu dengan adanya yang sudah hampir 10 tahun ini menguasai pasa global. Sehingga era digitalisasi saat ini di sinyalir membuat kebutuhan kertas menurun, yang biasanya melonjak untuk kebutuhan menulis, ataupun untuk kertas cetak. Sedangkan saat ini kebutuhan kertas sudah di gantikan dengan media online. Tak pelak hal ini membuat industri kertas Indonesia mengalami tekanan dan harus mencari alternatif lain. Berdasarkan data FAO menunjukkan penurunan pemakaian kertas cetak dunia yang turun sejak 2006 hingga 2016 sekitar negatif 4.6%, demikian halnya dengan konsumsi kertas untuk kebutuhan tulis-menullis, yang secara rata-rata turun sekitar negatif 1.3%.
Prospek Industri Pulp & Paper Indonesia
Merosotnya harga kertas sudah tentu memberikan dampak terhadap emiten Pulp & Paper di Indonesia. Namun demikian, sejumlah emiten tetap menyikapi positif penurunan harga ini. Bahkan beberapa emiten justru terus melakukan langkah ekspansi seperti yang dilakukan PT Oki Pulp & Paper Mills yang resmi diakuisisi oleh Grup Asia Pulp & Paper milik Grup Sinar Mas, di mana proses kepemilikannya dilakukan oleh APP melalui PT Kertas Tjiwi Kimia (TKIM) sebesar 49.08% per September 2018 kemarin. Dari akuisisi tersebut, angka kepemilikan TKIM naik tipis dari sebelumnya 578.886 menjadi 793.888 saham.
Aktivitas bagian konverting kertas di pabrik PT Indah Kiat Pulp & Paper di Perawang Kabupaten Siak, Riau.
Demikian pula dengan pabrik pengolahan pulp milik Oki Pulp senilai Rp 40 triliun, yang rampung dibangun pada 2017. Dengan kapasitas produksi sebesar 2 juta ton pulp dan sekitar 500.000 ton kertas tisu per tahun, disinyalir bisa mendongkrak industri pulp & paper Indonesia.
Sementara dari sisi produksinya, para produsen pulp & paper di Indonesia semakin melancarkan beberapa inovasi guna bisa mendongkrak kembali harga jual kertas. Salah satunya yakni dengan mengeluarkan varian kertas yang bisa digunakan untuk mencetak produk-produk digital. Sehingga nantinya produksi kertas bisa bersinergi dengan pertumbuhan era digitalisasi.
Adapun penjajakan kerja sama industri pulp & paper Indonesia, yang dilakukan oleh Grup Asia Pulp & Paper milik Grup Sinar Mas yang sejak sekitar tahun 2017 kemarin sudah memiliki posisi strategis untuk melayani pasar Meksiko yang berkembang pesat. Dengan APP menawarkan dua produk terbarunya yakni produk kertas fotokopi dan kertas kemasan makanan.
Baru-baru ini industri pulp & paper Indonesia mulai dilirik oleh Finlandia sejak Oktober 2018. Finlandia sedang menjajaki peluang investasi pulp dan paper di Indonesia, serta pembangunan pusat inovasi dan teknologi. Ketertarikan Finlandia ini pun disambut positif oleh Menteri Perindustrian Indonesia. Serta memutuskan bekerja sama untuk mengembangkan industri berbasis Agro khususnya pulp & paper. Kerjasama antara industri pulp & paper Indonesia dengan Finlandia tercatat dalam data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di tahun 2018. Investor Finlandia telah menanamkan modal di sektor industri pulp & paper, serta percetakan dengan nilai sebesar USD 1.75 juta. Dengan adanya kerjasama ini di prediksi akan menjadi sentimen positif bagi Indonesia, lantaran akan membantu menyerap tenaga kerja.
Peluang Bagi Indonesia
Kendati saat ini harga harga pulp & paper sedang merosot, dan menghadapi ketatnya persaingan antara industri pulp & paper dengan era digitalilasi sekarang, namun Indonesia tetap tidak kehilangan peluangnya. Hal ini dikarenakan kinerja industri dasar masih mampu naik sekitar 24.01% dibandingkan dengan industri lain. Seperti yang sudah Penulis sebutkan di atas bahwa industri pulp & paper ini menjadi salah satu potensi ekonomi di Indonesia, dan juga berhasil menjadi saham penggerak indeks.
Meskipun saat ini industri pulp & paper masih harus mengalami tekanan dari penurunan harga kertas, namun sebenarnya hal ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk meraup keuntungan yang banyak dari produksi bubur kertas. Di mana Indonesia bisa meningkatkan jumlah produksi bubur kertas, dengan biaya produksi yang lebih murah dibandingkan dengan negara lain. Hal tersebut lantaran ada beberapa hal yang mendukungnya, seperti :
Pertama, kinerja industri pulp & paper masih tetap bisa positif. Hal ini didorong meningkatnya permintaan yang berasal dari China. China sudah menguasai sekitar 26% dari total konsumsi kertas dunia sehingga hal tersebut berpotensi menarik kembali harga pulp. China sendiri hingga saat ini tercatat untuk konsumsi kertas kemasan baru sekitar 50 kg per kapita. Angka konsumsi kertas tersebut masih rendah jika dibandingkan dengan negara lainnya (seperti : AS sekitar 128 kg per kapita, Jepang sekitar 91 kg per kapita, Eropa sekitar 78 kg per kapita). Dari konsumsi kertas kemasan di China yang masih rendah tersebut diprediksi ada peningkatan permintaan kertas kemasan yang terus naik ke Indonesia.
Selain itu China juga sedang mengalami defisit produksi kertas, ini terjadi karena pertumbuhan produksi kertas tidak mampu mengimbangi pertumbuhan konsumsi kertas di China. Sebagai gambaran, produksi pulp di China meningkat dari sekitar 52 juta ton menjadi kisaran 79 juta ton, sementara konsumsi kertas meningkat lebih cepat dari kisaran 60 juta ton menjadi kisaran 97 juta ton, yang terjadi sejak 2006 hingga 2016.
Dari defisit produksi kertas tersebut, disinyalir ke depannya China akan mengalami defisit kertas yang semakin lebar. Jika hal ini terjadinya, maka mengharuskan China untuk meningkatkan lebih banyak impornya agar bisa menutupi defisitnya. Tentu hal ini menguntungkan Indonesia sebagai produsen kertas terbesar di dunia.
Jika China harus meningkatkan impornya guna menutupi defisitnya, kemungkinan besar China akan mengimpor pulp dari Indonesia dan Brazil. China akan impor bubur kertas dari Indonesia dan Brazil. Kondisi ini menjadi momentum yang tepat bagi Indonesia untuk bisa meningkatkan jumlah produksinya, dengan biaya produksi yang lebih murah. Sejak 2 tahun ini China sudah mengeluarkan aturan yang melarang produksi kertas dengan menggunakan limbah kertas sebagai bahan utamanya. Tentunya ini semakin menjadi sentimen positif bagi industri pulp & paper di Indonesia untuk bisa meningkatkan ekspor pulp & paper ke China.
Solusi Yang Harus Diupayakan
Melihat anjloknya harga pulp & paper yang terjadi sejak akhir tahun 2018 kemarin, perlu penanganan yang berkesinambungan dan campur tangan pemerintah dalam menormalisasikan kembali harga pulp & paper. Langkah utama yang perlu dilakukan dengan mengupayakan peningkatkan volume produksi. Hal ini perlu dilakukan agar bisa mengisi kosongnya celah pasar sehingga bisa mengimbangi turunnya kinerja penjualan.
Upaya lainnya juga bisa dilakukan melalui persetujuan dagang antara Indonesia dengan AS atau yang dikenal dengan Perjanjian Bilateral. Indonesia bisa mengajukan barter produk melihat potensi Indonesia yang saat ini menjadi pengimpor kedelai dan kapas terbesar dari AS. Dengan ini Indonesia berpeluang melobi AS dalam barter produk dan bisa memasukkan produk kertas dan tekstil milik Indonesia ke AS.
Jika perjanjian bilateral dilaksanakan akan semakin membangkitkan perindustrian Indonesia. Masyarakat Indonesia lebih dominan dalam menggunakan produk kertas untuk kemasan seperti pabrik alas kaki, garmen, boneka, dan semen. Serta kertas kemasan yang saat ini banyak digunakan sebagai kemasan makanan, karena diklaim lebih aman dan sehat. Kertas kemasan makanan yang digunakan seperti berkut ini :
Source : https://twitter.com/asiapulppaper
Source : http://www.sinarmas.com
Kesimpulan
Seperti yang telah Penulis sampaikan di atas, meskipun harga pulp & paper tengah merosot dari 10% hingga ke 20% akibat melemahnya permintaan yang berdampak pada oversupply yang terjadi. Namun hal ini tidak serta merta menjadi sentimen negatif bagi industri pulp & paper di Indonesia dan emiten Pulp & Paper. Justru sebaliknya, kondisi ini membuka peluang bagi Indonesia untuk memacu industri pulp & paper lebih berkembang, Sejumlah emiten juga masih terus berekspansi dan berinovasi.
Di sisi lain, potensi pertumbuhan juga masih besar seiring dengan defisit kertas yang terjadi di China, di mana pertumbuhan konsumsi kertas, belum mampu ditutupi oleh pertumbuhan produksi kertas di China, yang memunculkan peluang bagi emiten Pulp & Paper di Indonesia. Meskipun tentu saja tidak mudah karena tingkat kompetisi juga cukup ketat.
###
Info:
akankah harga saham dari emiten pulp dan paper akan naik? atau ditahun ini menjadi kesempatan bagi investor untuk masuk?
Halo Mas Rahmad.. Perhatikan dari harga komoditas pulp nya itu sendiri.. sejauh ini masih terjadi oversupply yang membuat harga pulp sendiri jatuh..