Utang merupakan salah satu komponen yang tidak dapat dihilangkan dari perekonomian. Utang negara, utang korporasi, sampai utang individu merupakan salah satu komponen perekonomian yang, jika dimanfaatkan dengan baik, akan dapat membuahkan hasil yang baik. Namun sebaliknya, apabila tidak dapat dimanfaatkan dengan baik, hutang akan menjadi backfire. Nah, baru-baru ini banyak beredar kabar bahwa utang dunia semakin membesar, apakah ini menjadi sebuah risiko ekonomi global yang baru setelah resesi dan perang dagang?

 

Sekilas Tentang Utang Dunia

Utang suatu negara salah satunya berasal dari utang swasta yang berutang terhadap pihak lain di luar negeri.Berbicara mengenai utang, Anda perlu memahami bahwa utang negara tidak hanya didominasi dari sektor bisnis saja. Pemerintah sebagai pemegang kuasa atas aset suatu negara juga bisa berutang, di mana sebagian besar negara di dunia ini memiliki utang luar negeri. Utang luar negeri di sini maksudnya adalah suatu negara biasanya berutang kepada negara lain.

Pemerintah suatu negara juga bukannya berutang tanpa memiliki alasan. Utang tentu saja masih diperlukan oleh suatu negara dengan berbagai tujuan. Bisa untuk menutupi kekurangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sebagai modal untuk membangun infrastruktur atau pembangunan yang lainnya, menjalin hubungan bilateral, atau sebagai bentuk pengakuan terhadap negara lain terutama yang memberikan pinjaman, dan sebagainya.

Supaya lebih mudah dipahami, kita ambil contoh utang luar negeri Indonesia. Hingga akhir 2019 kemarin, Utang Luar Negeri Indonesia mencapai Rp 4.778 triliun, di mana rasio utang terhadap GDP masih berada di angka 29,8%. Sebagai informasi, dalam UU no.17 tahun 2013 tentang Keuangan Negara dijelaskan bahwa rasio utang pemerintah diperbolehkan hingga menyentuh 60% dari PDB. Dengan demikian, angka rasio utang terhadap GDP Indonesia yang sebesar 29,8% masih dikategorikan aman.

Apabila kita membandingkan rasio utang negara terhadap GDP dengan negara lain, Indonesia merupakan negara yang masih dikategorikan cukup aman. Hal ini karena banyak negara yang memiliki rasio jauh di atas Indonesia. Misalkan, Filipina yang memiliki rasio utang mencapai 38,9% dari GDP, Malaysia 55,6% dari GDP, dan Singapura sebesar 113,6% dari GPD.

Secara rata-rata, negara berkembang memiliki rasio utang kurang lebih sebesar 50,6% dari GDP. Sedangkan rata-rata negara maju memiliki rasio utang negara sebesar kurang lebih 102% dari GDP.

Meskipun termasuk ke dalam kategori aman, dari pihak pemerintah sendiri akan terus menjaga kehati-hatian pemerintah dan swasta dalam pengelolaan utang agar tidak terlalu kebanyakan dan tetap berada di rasio yang aman.

 

Besaran Utang Dunia

Meskipun rasio utang terhadap GDP Indonesia masih dapat dikategorikan aman, namun perspektif berbeda dapat kita lihat apabila kita melihat dari kacamata yang lebih luas, yaitu utang dunia.

Beban utang dunia yang sangat besar belakangan ini telah memecahkan rasio utang terhadap GDP, bahkan sebelum 2019 kemarin berakhir.

Dilaporkan oleh CNN, berdasarkan data dari Institute of International of Finance (IIF), per Q3 2019 kemarin, utang global yang terdiri dari pinjaman rumah tangga, pemerintah, dan utang perusahaan swasta, bertambah kurang lebih USD 9 triliun menjadi totalnya hampir mencapai USD 253 triliun, atau setara Rp 3.5 juta triliun (Kurs USD 1 = Rp 14.000). Dan dari jumlah tersebut, rasio utang terhadap GDP global mencapai 322%. Angka ini melampaui rasio utang pada 2016 yang sebelumnya memegang rekor tertinggi.

Kebanyakan dari jumlah utang ini berasal dari Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa. Perlu Anda ketahui, dari kedua daerah ini saja rasio utang terhadap GDP-nya sudah mencapai 383%. Demikian pula dengan China. Rasio utang China terhadap PDB mendekati level 310%, tingkat tertinggi di negara berkembang. Amerika Serikat dan China yang terlibat dalam perang dagang, secara kolektif berkontribusi pada 60% peningkatan utang dunia.

Di sisi lain, negara-negara maju seperti Selandia Baru, Swiss, dan Norwegia semuanya memiliki tingkat utang rumah tangga yang meningkat, sementara rasio utang pemerintah terhadap PDB di AS dan Australia berada pada titik tertinggi sepanjang masa.

 

Alasan Meningkatnya Utang Dunia

Meningkatnya jumlah utang negara ini memang bersumber dari beberapa alasan. Salah satunya adalah karena suku bunga yang rendah karena banyak Bank Sentral yang bersikap dovish di tahun kemarin. Sebut saja The Federal Reserve menurunkan suku bunga tiga kali tahun lalu, dan suku bunga acuan Bank Sentral Eropa masih pada posisi terendah pasca krisis keuangan. Indonesia sendiri pada tahun 2019 lalu telah menurunkan suku bunga acuan BI7DRR sebanyak 4 kali dari 6% ke 5%.

Terlepas dari kondisi pinjaman yang menguntungkan, risiko pembiayaan kembali atau refinancing sangat besar. Total lebih dari US$ 19 triliun pinjaman dan obligasi sindikasi akan jatuh tempo pada tahun 2020. Tidak mungkin semua ini akan dibiayai kembali atau dilunasi.

Tetapi tentu saja, semakin tinggi tingkat pinjaman, semakin tinggi risiko default untuk individu, perusahaan dan pemerintah di setiap lingkungan ekonomi mungkin. Bahkan sebelumnya Bank Dunia memperingatkan dampak ‘gelombang’ akumulasi utang yang terus meningkat selama lima dekade terakhir.

 

 

Dalam laporan Prospek Ekonomi Global (GEP) dua tahunan yang diterbitkan pada 8 Januari 2020, Bank Dunia menyatakan ada empat gelombang akumulasi utang selama 50 tahun terakhir.

Gelombang utang saat ini yang telah dimulai pada 2010, disebutkan telah mencatatkan peningkatan utang global terbesar, tercepat, dan terluas sejak tahun 1970-an. Dikutip dari World Bank, walaupun tingkat suku bunga rendah mengurangi beberapa risiko yang terkait dengan tingkat utang yang tinggi, namun berdasarkan tiga gelombang akumulasi utang berbasis luas sebelumnya, semuanya berakhir dengan krisis keuangan di banyak negara berkembang seperti Indonesia (emerging countries / EM).

Bank Dunia menyebut, “gelombang keempat” utang global ini memiliki banyak kesamaan dengan tiga gelombang sebelumnya di antaranya adalah perubahan kondisi keuangan global dan peningkatan kerentanan dan kekhawatiran tentang penggunaan dana pinjaman yang tidak efisien. Tiga gelombang pertama akumulasi utang global diidentifikasi berjalan dari 1970-1989, 1990-2001 dan 2002-2009.

Bank Dunia menyebut ada empat opsi kebijakan yang bisa diterapkan untuk mengurangi kemungkinan gelombang utang global saat ini berakhir dengan krisis. Atau, untuk mengurangi dampak jika krisis terjadi.

  • Pertama, manajemen utang yang baik dan transparansi utang harus membantu mengurangi biaya pinjaman dan mengandung risiko fiskal.
  • Kedua, kerangka kerja moneter, nilai tukar dan kebijakan fiskal yang kuat dapat melindungi negara-negara berkembang di lingkungan ekonomi yang rapuh.
  • Ketiga, adalah menciptakan regulasi dan pengawasan sektor keuangan yang kuat untuk mengenali dan mengatasi risiko yang muncul.
  • Keempat adalah membuat manajemen keuangan publik dan kebijakan yang mempromosikan tata kelola perusahaan yang baik, sehingga dapat membantu memastikan bahwa utang digunakan secara produktif.

 

 

Terkait dengan utang global ini pun, lembaga pemeringkat utang internasional Moody’s telah mengeluarkan prospek tahunan “negatif” untuk kelayakan surat utang (sovereign creditworthiness) di kawasan Euro untuk tahun 2020. Peringkat blok itu diturunkan dari yang sebelumnya “stabil” pada tahun lalu.

Dalam laporannya, Moody’s menyebut alasannya menurunkan peringkat di zona euro adalah akibat memburuknya lingkungan global. Lembaga itu juga mengatakan bahwa ekonomi kawasan euro rentan terhadap meningkatnya proteksionisme dan risiko geopolitik, sementara itu kemampuan mereka untuk menangani guncangan ekonomi juga terhambat.

 

Dampak Utang Dunia Ke Indonesia

Dengan data-data di atas, sebenarnya yang perlu ditekankan kepada kita adalah utang dunia memang meningkat, tetapi utang negara Indonesia masih berada pada rasio yang wajar dan tergolong baik apabila di bandingkan dengan negara lain.

 

 

Jadi, meskipun ada risiko, risiko yang dihadapi oleh Indonesia lebih minim dibandingkan dengan negara lain. Tetapi, tentu saja Indonesia tidak bisa menutup mata juga dengan risiko ini karena minim risiko bukan berarti tidak memiliki risiko. Risiko tersebut masih tetap ada, hanya lebih kecil.

Sekali lagi perlu diketahui bahwa utang negara Indonesia tidak sepenuhnya berasal dari utang pemerintah saja, Utang negara juga terdiri dari utang korporasi swasta. Data terbaru dari Bank Indonesia adalah, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada November 2019 tumbuh melambat. Pada akhir November 2019, ULN Indonesia tercatat sebesar USD 401,4 miliar, di mana ULN tersebut dari ULN sektor public (pemerintah dan Bank Sentral) sebesar USD 201,4 miliar dan sisanya ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar USD 200,1 miliar.

Dari angka ini bisa dilihat bahwa porsi utang yang dimiliki public dan swasta sebenarnya kurang lebih hampir sama. Selama Indonesia masih bisa me-manage utangnya dan tidak terlalu jor-joran mengambil utang, Penulis rasa risiko yang dihadapi Indonesia tidak akan terlalu besar.

Tetapi, hal ini tidak menutup kemungkinan apabila utang dunia yang membesar dan menimbulkan default (gagal bayar) di global yang besar, Indonesia juga dapat terkena domino effectnya.

 

Kesimpulan

Utang dunia saat ini sedang berada pada puncak tertingginya. Per Q3 2019 kemarin, utang global hampir mencapai USD 253 triliun, atau setara Rp 3.5 juta triliun (Kurs USD 1 = Rp 14.000). Secara global, rasio utang terhadap GDP global mencapai 322%. Angka ini melampaui rasio utang pada 2016 yang sebelumnya memegang rekor tertinggi.

Meningkatnya jumlah utang negara ini bersumber dari beberapa alasan. Salah satunya adalah karena suku bunga yang rendah karena banyak Bank Sentral yang bersikap dovish di tahun kemarin.

Hal ini menjadi suatu sinyal negatif terhadap ekonomi global, setelah beberapa sinyal negatif seperti resesi dan perang dagang yang sebelumnya menghiasi media.

Untuk Indonesia sendiri, karena rasio utang Indonesia terhadap GDP masih terjaga, risiko yang dialami Indonesia pun lebih minim dibandingkan dengan negara lain yang memiliki rasio utang terhadap GDP yang tinggi maupun di level global.

Tetapi, karena ini adalah utang global, tidak menutup kemungkinan risiko yang dihadapipun juga menimpa secara global, tidak terkecuali Indonesia yang dapat terkena dampak dari domino effectnya apabila utang global terjadi default (gagal bayar) yang massif.

 

###

 

Info:

  • Monthly Investing Plan Februari 2020 akan segera terbit. Anda dapat memperolehnya di sini.
  • Cheat Sheet LK Q3 2019 telah terbit, Anda dapat memperolehnya di sini.
  • E-Book Quarter Outlook LK Q3 2019 telah terbit. Anda dapat memperolehnya di sini.
  • Jadwal Workshop : 
Tags : Utang Dunia Meningkat | Utang Dunia Meningkat | Utang Dunia Meningkat | Utang Dunia Meningkat | Utang Dunia Meningkat | Utang Dunia Meningkat | Utang Dunia Meningkat | Utang Dunia Meningkat | Utang Dunia Meningkat | Utang Dunia Meningkat | Utang Dunia Meningkat | Utang Dunia Meningkat | Utang Dunia Meningkat | Utang Dunia Meningkat | Utang Dunia Meningkat | Utang Dunia Meningkat | 
1
Pastikan rekan Investor tidak ketinggalan Informasi ter-update

Subscribe sekarang untuk mendapatkan update artikel terbaru setiap minggunya

reCaptcha v3
keyboard_arrow_leftPrevious
Nextkeyboard_arrow_right

2 comments on “Utang Dunia Semakin Meningkat, Risiko Ekonomi Global yang Baru?

  1. Tulisan yang menarik.
    Thanks telah berbagi informasi.
    Sekedar info, bahwa menkeu menyebutkan satuan seribu triliun rupiah dengan istilah quadriliun (pada apbn 2020), memang belum sampai pada level sejuta triliun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *