Terakhir diperbarui Pada 22 Juli 2023 at 9:13 am

 

Siklus. Adalah putaran waktu yang di dalamnya terdapat serangkaian kejadian – yang dipercaya – terjadi berulang-ulang, secara tetap dan teratur. Tidak dipungkiri dalam dunia ekonomi pun terdapat banyak siklus, salah satunya adalah siklus utang (debt cycle). Menurut Ray Dalio – hedge fund manager terkemuka di dunia – sistem ekonomi di dunia secara sederhana hanya terdiri dari 3 siklus; siklus produktivitas, siklus utang jangka pendek, dan siklus utang jangka panjang. Tersebar kabar bahwa Amerika Serikat akan mengalami resesi di tahun depan, dan dikaitkan juga dengan short-term debt cycle. Sebenarnya, apa itu short-term debt cycle dan apakah ada dampaknya ke Indonesia?

 

Sistem Ekonomi dan Utang

Sebelum memasuki pembahasan terkait short-term debt cycle, izinkan Penulis untuk membahas tentang sistem ekonomi secara sekilas.

Secara sederhana, penggerak terjadinya perekonomian adalah transaksi. Transaksi jual beli – barang ataupun jasa – oleh penjual ataupun pembeli. Terjadinya transaksi akan meningkatkan perputaran ekonomi di suatu negara. Dan hal ini tentunya adalah hal yang baik, setuju?

Nah, transaksi tadi bisa dilakukan dengan dua cara. Yang pertama tentu saja menggunakan cash kita – dalam bentuk apapun – yang sekarang telah ada dalam bentuk e-wallet, debit card, dsb dan yang ke-dua dengan kredit. Yap, kredit. Atau dalam bahasa sehari-harinya kita sebut saja dengan utang.

Source: https://www.financeglobe.com/post/credit-card-transactions-that-are-just-like-cash-advances

Utang adalah hal yang lumrah dalam bisnis dan perekonomian. Orang berutang karena ingin berekspansi usaha, orang berutang karena ingin membayar utang lainnya, atau bahkan orang berutang karena ingin membeli sesuatu – yang sebenarnya ia tidak sanggup beli saat itu menggunakan cash-nya. Ingat, perjanjian terkait utang adalah ketika peminjam akan mengembalikan utangnya kepada yang meminjamkan uangnya, bersamaan dengan bunganya.

Dalam pembahasan kali ini, Penulis bukan menganggap bahwa utang adalah hal yang jelek. Tidak sama sekali. Namun Anda perlu mengetahui bahwa utang ada 2 jenis : Utang produktif dan utang konsumtif. Utang yang produktif justru adalah utang yang sangat baik, tetapi harus dibarengi dengan kemampuan membayar utang tersebut di masa yang akan datang. Utang yang produktif berarti adalah utang yang digunakan untuk meningkatkan pendapatan si peminjam, bisa dengan ekspansi usaha dan sebagainya – yang nantinya juga akan meningkatkan roda perekonomian.  Contohnya : Anda seorang pemilik usaha di bidang kuliner. Untuk ekspansi usaha, Anda mengajukan pinjaman ke bank dengan bunga 8% per tahun. Meskipun Anda berhutang, namun Anda bisa menggunakan pinjaman tadi untuk mengembangkan usaha dengan return yang lebih besar dari 8%. Anda pun tidak ada kesulitan untuk melunasi pinjaman ke bank beserta dengan bunga 8% tadi. Usaha Anda bertumbuh, Bank pun ikut bertumbuh. Perekonomian bertumbuh.

Berbeda cerita dengan utang dengan tujuan konsumtif – yang sebenarnya tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan. Hal ini berarti peminjam sebenarnya tidak memiliki kemampuan untuk membeli sesuatu – tetapi memaksa meminjam uang orang lain untuk membeli / mengkonsumsi sesuatu tadi. Contoh utang dengan tujuan konsumtif, misalnya, brand Sams*ng atau App*e mengeluarkan produk terbaru mereka, ada satu orang (sebut saja Bambang), yang merasa gengsi jika tidak membeli produk ini. Akhirnya, Bambang memutuskan untuk mengutang (kredit) produk ini selama 3 tahun ke depan. Tujuannya bukan untuk bisnis atau apapun, tetapi hanya sekedar untuk menggunakan (konsumsi) produk ini. Pada akhirnya, dengan pendapatan yang tetap segitu-segitu saja, Bambang harus stop mengkonsumsi yang biasanya ia konsumsi, dan dana tersebut digunakan untuk mencicil produk tadi. Bersama bunganya.

Dengan berutang, kita berarti mengurangi konsumsi kita di masa yang akan datang karena kita harus membayar utang + bunga pinjaman kita tadi.

Utang yang baik adalah utang yang dibarengi dengan peningkatan pendapatan juga. Jika seseorang berutang tetapi tidak mengalami peningkatan pendapatan, maka konsumsinya akan berkurang di masa yang akan datang. Karena konsumsi yang berkurang, akan menyebabkan perlambatan ekonomi dalam jangka pendek (short-term debt cycle).

 

Apa itu Short-Term Debt Cycle?

Seperti yang telah dijelaskan di atas, siklus terjadi secara berulang-ulang. Sebut saja krisis moneter pada 1998 di Indonesia dan subprime mortgage pada 2008 di dunia dan Indonesia. Sebelum itupun, telah terjadi banyak krisis di belahan dunia yang lain, seperti krisis di Amerika Serikat pada akhir 1930-an. Salah satu “metode” untuk mengakali kejadian tersebut adalah dengan “menurunkan tingkat suku bunga acuan” – seperti yang telah (dan sedang) dilakukan sekarang.

Perlu dicatat, pada krisis Amerika Serikat di akhir 1930an dan 2008, The Fed – Bank Sentral Amerika Serikat – menurunkan suku bunga acuan sampai ke 0% untuk menunjang perekonomian. Di tahun ini, The Fed telah menurunkan suku bunga acuan sebanyak 2 kali dari 2,5% menjadi 2%.

Historical data suku bunga acuan di Amerika Serikat.
Source:
https://www.youtube.com/watch?v=PHe0bXAIuk0

 

Short-term debt cycle atau siklus utang jangka pendek – seperti namanya – adalah siklus utang jangka pendek, di mana penumpukan utang-utang yang dilakukan para pelaku ekonomi dalam jangka pendek tertumpuk. Utang yang tertumpuk ini menyebabkan konsumsi berkurang karena harus membayar utang yang diambil sebelumnya. Dari skala makro, biasanya suatu negara membandingkan struktur utangnya (kreditnya) dengan GDPnya. Kredit suatu negara tadi bisa terdiri dari utang beberapa pihak, baik pemerintah maupun swasta.

Terjadilah fase perlambatan ekonomi atau dalam bahasa yang sering dibahas sekarang – resesi. Sebagai antisipasi dari resesi ini, bank sentral tiap negara biasanya melakukan berbagai stimulus moneter maupun fiscal untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Salah satunya melalui penurunan suku bunga acuan. Baru-baru ini saja Penulis membahas terkait potensi resesi ekonomi yang akan terjadi di tahun 2020, Anda dapat membacanya melalui artikel di bawah ini :

Baca Lagi : Potensi Resesi Ekonomi Di Tahun 2020

http://rivankurniawan.com/2019/09/16/potensi-resesi-ekonomi/

Tidak hanya melalui penurunan suku bunga acuan, Bank Indonesia juga kemarin melonggarkan pengurangan penyimpanan Giro Wajib Minimum (GWM) tiap bank sebesar 50 bps untuk tiap bank konvensional maupun bank Syariah. Pelonggaran GWM ini mengakibatkan bertambahnya uang beredar di masyarakat sebesar hingga Rp 100 triliun. Bank Indonesia berharap pelonggaran kebijakan ini dapat membantu pertumbuhan ekonomi. Sejarah membuktikan, siklus kredit jangka pendek (short-term debt cycle) dapat menyebabkan perlambatan ekonomi. Sebagai buktinya, mari kita bahas bersama-sama setelah sejarah siklus kredit di Amerika Serikat terlebih dahulu.

 

Posisi Debt Cycle Amerika Serikat

Pertumbuhan ekonomi yang disebabkan karena kredit memang terkesan baik pada awalnya. Tetapi, bagaimana jika kredit (utang) tadi tidak dapat dibayarkan pada akhirnya – karena mayoritas peminjaman kredit tadi tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan juga?

Ingat, memang mengambil utang di masa sekarang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi – karena kita dapat mengkonsumsi lebih banyak. Dan konsumsi mendorong perekonomian. Tetapi, jangan lupa juga bahwa utang (kredit) berarti bahwa kita mengurangi konsumsi kita di masa yang akan datang ketika kita harus melunasi utang tadi (bahkan ditambah bunga-bunganya). Dan, konsumsi yang berkurang akan menyebabkan perlambatan perekonomian. Kredit suatu negara terdiri dari beberapa pihak, antara lain pemerintah, swasta, pribadi, dan lain sebagainya. Tentu saja, biasanya porsi terbesar kredit suatu negara bersumber dari pihak pemerintah dan pihak swasta.

Berikut Penulis sajikan data tentang kondisi kredit yang terjadi di Amerika Serikat (dari segi korporasi). Sejarah membuktikan, beberapa kali telah terjadi puncak kredit cycle, yang kemudian diikuti oleh penurunan kredit dan juga perlambatan ekonomi. Terlihat jelas bahwa saat ini (2019) Amerika Serikat sedang dalam puncak Credit Cycle. Sebelumnya, cycle ini terjadi di tahun 1990, 2001, dan 2008, yang mana diikuti dengan resesi tidak lama sesudahnya.

Posisi Corporate debt-cycle Amerika Serikat. Source: https://www.marketwatch.com/story/when-the-us-falls-into-a-recession-a-credit-bubble-will-explode-2019-03-20

 

Perlambatan ekonomi Amerika Serikat pun telah tercermin di pertumbuhan GDP-nya yang mulai melambat pada tahun 2019 ini. Selain karena perang dagang yang terjadi, bersamaan juga dengan memuncaknya short-term debt cycle Amerika Serikat dan sudah mulainya perlambatan ekonomi ini. Ke depannya sudah terlihat masih ada perlambatan lagi seiring dengan akan berkurangnya konsumsi masyarakat dan pemerintah.

Data pertumbuhan GDP Amerika Serikat. Source: tradingeconomics.com

Apa Dampaknya ke Indonesia?

Jika Anda perhatikan sekali lagi, siklusnya adalah seperti ini :

  1. Saat ini US masuk dalam Short Term Debt Cycle
  2. Short Term Debt Cycle ini terjadi ketika pertumbuhan utang > pertumbuhan pendapatan.
  3. Ketika pertumbuhan utang > pertumbuhan pendapatan terjadi, maka konsumsi akan berkurang.
  4. Ketika konsumsi berkurang, maka perlambatan ekonomi akan terjadi.

 

Dan siklus inilah yang sedang terjadi di Amerika Serikat. Lalu, apa dampaknya ke Indonesia ?

Amerika Serikat adalah roda penggerak perekonomian terbesar di dunia. Maka secara tidak langsung, Jika perlambatan ekonomi AS melambat, maka akan mempengaruhi perlambatan ekonomi secara global, termasuk Indonesia.

 

Jika kita membandingkan rasio utang – GDP, sebenarnya Indonesia tergolong masih dalam kategori “sehat” karena berada di bawah angka 30% (sekitar 29,8%). Angka 29,8% ini berarti bahwa utang Indonesia setara dengan 29,8% dari GDP Indonesia.

Sebagai informasi, rasio utang – GDP Amerika Serikat terakhir tercatat mencapai sekitar 106,1%. Yang berarti – utang Amerika Serikat lebih besar daripada penghasilan yang dihasilkannya (utang > GDP)

Government Debt to GDP Ratio 2009 – 2018. Source : trading economics.com.

 

Sebagai tambahan informasi, utang Indonesia sendiri tidak semuanya ditanggung oleh pemerintah. Berikut pembagian utang Indonesia.

Detail utang Indonesia. Source: https://www.cnbcindonesia.com/market/20191001154204-17-103575/rentan-default-utang-korporasi-ri-capai-ribuan-triliun

 

Detail utang Indonesia dipegang oleh pihak Swasta sebesar USD 66,12 miliar, BUMN sebesar USD 52,81 miliar, Swasta Campuran sebesar USD 60,38 miliar dan Swasta Asing sebesar USD 18,48 miliar. Bandingkan dengan Indonesia yang mengasilkan GDP sebesar USD 1.042 miliar. Sebenarnya nominal utang ini masih termasuk tolerablejika dibandingkan dengan negara-negara lain.

Namun Lembaga pemeringkat sepertinya melihat hal yang berbeda. Salah satu lembaga rating utang terkemuka di dunia – Moody’s – baru saja merilis hasil riset mereka tentang risiko kredit dari 13 negara di Asia Pasifik. Dalam laporan risetnya yang berjudul “Risks from Leveraged Corporate Grow as Macroeconomic Conditions Worsen” tersebut, Moody’s menyebutkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang paling rentan terkena default atau gagal bayar utang.

Hal ini menjadi kabar buruk bagi Indonesia karena berarti Indonesia dianggap kesulitan untuk membayar utang. Jika Indonesia memfokuskan untuk membayar utang, maka konsumsi akan berkurang yang berujung ke perlambatan ekonomi.

Di saat yang bersamaan, jika Indonesia tidak memperbaiki masalah utang ini, kepercayaan investor asing akan hilang juga dan membuat Indonesia kurang diminati oleh Investor asing. Perlu Anda ketahui bahwa investasi juga merupakan salah satu tolak ukur pertumbuhan ekonomi.

 

Kesimpulan

Berbicara panjang lebar terkait ekonomi dan short-term debt cycle, penulis akan memberikan beberapa kesimpulan:

  1. Kredit yang produktif dapat menunjang pertumbuhan ekonomi. Kredit konsumtif yang tidak dibarengi pertumbuhan pendapatan akan malah menyebabkan perlambatan ekonomi di masa yang akan datang.
  2. Short-term debt cycle terjadi karena pertumbuhan utang lebih tinggi daripada pertumbuhan pendapatan. Akhirnya, konsumsi yang menjadi patokan pertumbuhan ekonomi tadi malah melambat karena budget konsumsi tadi digunakan untuk membayar utang.
  3. Tanda-tanda perlambatan ekonomi dan resesi sudah mulai terlihat di seluruh dunia, terutama melalui perlambatan ekonomi di Amerika Serikat.
  4. Amerika merupakan roda penggerak ekonomi terbesar di dunia. Perlambatan ekonomi di Amerika Serikat akan mempengaruhi perlambatan ekonomi di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
  5. Utang Indonesia masih relatif kecil terhadap GDP. Namun untuk dapat dikategorikan sebagai utang yang baik, harus dibarengi juga dengan pertumbuhan ekonomi yang baik dan kemampuan membayar utang tersebut. Hal ini yang belum tampak karena Moody’s justru malah menganggap risiko default Indonesia sebagai yang tertinggi di Asia Pasifik.
  6. Sebagai investor, sebaiknya kita harus siap akan segala kemungkinan yang terjadi dan mengantisipasi melalui strategi investasi kita.

 

 

Info:

  • Monthly Investing Plan Oktober 2019 sudah terbit. Anda dapat memperolehnya di sini.
  • Cheat Sheet LK Q2 2019 sudah terbit, Anda dapat memperolehnya di sini.
  • E-Book Quarter Outlook LK Q2 2019 sudah terbit. Anda dapat memperolehnya di sini.
  • Jadwal Workshop :
    • Workshop & Advance Value Investing (Medan, 02 – 03 November 2019) dapat dilihat di sini.
    • Workshop & Advance Value Investing (Jakarta, 23 – 24 November 2019) dapat dilihat di sini.

 

Tags : Short term debt cycle | Short term debt cycle | Short term debt cycle | Short term debt cycle | Short term debt cycle | Short term debt cycle | Short term debt cycle | Short term debt cycle | Short term debt cycle | Short term debt cycle | Short term debt cycle | Short term debt cycle | Short term debt cycle | Short term debt cycle | Short term debt cycle | 

1
Pastikan rekan Investor tidak ketinggalan Informasi ter-update

Subscribe sekarang untuk mendapatkan update artikel terbaru setiap minggunya

reCaptcha v3
keyboard_arrow_leftPrevious
Nextkeyboard_arrow_right

1 comment on “Waspada ! AS Masuk dalam Short Term Debt Cycle. Apa Dampaknya bagi Indonesia ?

  1. Tulisan yang sangat bagus pak Rivan, sedikit koreksi saja bahwa angka rasio utang 30 persen PDB itu dihitung utang pemerintah saja (outstanding) sedangkan angka swasta dan BUMN belum termasuk di dalamnya, sampai dengan Juli utang BUMN 26,7 dan swasta 24,0 % PDB, secara total outstanding utang BUMN, pemerintah, dan swasta sekitar 80% PDB. Dengan likuiditas dan aset BUMN, sepertinya memang utang BUMN terlalu besar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *