Terakhir diperbarui Pada 6 Agustus 2024 at 3:53 pm
GJTL baru-baru ini kembali terkena sentimen negatif terkait kasus Sjamsul Nursalim, yang belakangan ini kembali mencuat ke permukaan publik. Setelah sekian lama Sjamsul Nursalim terus diinterogasi oleh KPK, kini status Sjamsul Nursalim resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus BLBI. Seberapa besar pengaruh kasus Sjamsul Nursalim ini akan mempengaruhi GJTL ? Dan akan seperti apa prospek GJTL pasca terseret kasus tersebut ?
Daftar Isi
Kronologis Kasus Sjamsul Nursalim dan Pengaruhnya terhadap Harga Saham GJTL
Baru-baru ini nama pengusaha nasional Sjamsul Nursalim (atau dengan nama China nya Liem Tjoen Ho) kembali harus kembali mencuat ke permukaan publik. Lantaran pada 10 Juni 2019 kemarin, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi menetapkan Sjamsul Nursalim beserta istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Kasus ini bermula saat BDNI (Bank Dagang Nasional Indonesia) mendapatkan bantuan dana BLBI sebesar Rp 37 triliun di tahun 1999 – 2001, yang terdiri dari fasilitas surat berharga pasar uang khusus, fasilitas saldo debet, dan dana tabungan valas. Sayangnya, dana tersebut tidak dimanfaatkan dengan semestinya dan membuat BDNI dinyatakan sebagai bank yang melakukan pelanggaran hukum, sehingga semestinya BDNI wajib mengembalikan dana tersebut. Namun Sjamsul Nursalim terus mangkir dari tanggung jawab dan kasus BLBI tersebut tetap belum terselesaikan hingga mencapai 2 dekade. Sjamsul Nursalim sendiri merupakan pemilik sekaligus pemegang saham pengendali dari BDNI. Sehingga memang bisa dikatakan ada keterkaitan lantaran kendala likuiditas yang dihadapi BDNI saat krisis moneter tahun 1998.
Mencuatnya kasus Sjamsul Nursalim juga merupakan bagian dari pengembangan kasus dugaan korupsi yang lebih dulu menjerat Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung yang diduga sudah memperkaya (kongkalikong) Sjamsul dan istrinya dengan menerbitkan SKL (Surat Keterangan Lunas) BLBI kepada BDNI. Padahal waktu itu Sjamsul Nursalim diperkirakan belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI kepada para petambak. KPK sendiri akhirnya menetapkan Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka sejak September 2018 dengan vonis 13 tahun penjara.
Mencuatnya kasus Sjamsul Nursalim ini sebenarnya bukan pertama kalinya terjadi. Sebelumnya, kasus Sjamsul Nursalim juga sempat kembali mencuat pada April 2018 lalu. Pada saat itu, Sjamsul Nursalim sudah menjadi buronan KPK. KPK terus mengupayakan kehadiran Sjamsul, namun Sjamsul sendiri terus mangkir dari panggilan KPK. Berdasarkan catatan Penulis, setidaknya Sjamsul sudah mangkir 3x dari panggilan KPK. KPK pernah memanggil Sjamsul pada 8 Oktober 2018, 22 Oktober 2018, dan juga pada 28 Desember 2018. Barulah beberapa saat yang lalu, KPK menetapkan Sjamsul Nursalim menjadi tersangka. Seiring Sjamsul Nursalim resmi menyandang status tersangka korupsi, akan diikuti pula dengan proses asset recovery (pengembalian aset) milik Sjamsul Nursalim yang akan dilakukan oleh KPK. Adapun asumsi kerugian yang ditanggung negara karena kasus BLBI diperkirakan mencapai Rp 4.58 triliun.
Mencuatnya kasus Sjamsul Nursalim pertama kali ke publik di April 2018 lalu, membuat sejumlah pemegang saham GJTL menjadi khawatir dan memutuskan untuk melepas kepemilikan sahamnya. Akibatnya harga saham GJTL yang sempat berada di level 900 an, harus terkoreksi hingga ke level 600 an per Juni 2018, atau turun sekitar 30%. Namun sulit mengatakan bahwa penurunan harga saham GJTL sebesar 30% tersebut hanya disebabkan oleh faktor berita Sjamsul Nursalim saja, karena di saat yang bersamaan IHSG juga memulai periode bearishnya saat itu. Selain itu, penurunan harga sahamnya juga bertepatan dengan saat GJTL merilis Laporan Keuangan Kuartal I 2018 yang “terlihat mengecewakan” (laba bersih GJTL di Q1 2018 drop karena faktor kerugian selisih kurs mata uang asing). Dan hingga saat ini, harga saham GJTL masih belum beranjak di kisaran 600 – 700 an.
Harga saham GJTL drop dari 900 an ke 600 an di April 2018. Source : YahooFinance
Apakah Kasus Sjamsul Nursalim Mencederai GCG GJTL ?
Mengingat kasus Sjamsul Nursalim ini cenderung menyeret GJTL, tidak sedikit spekulasi pasar yang menilai bahwa GJTL ikut melakukan praktik GCG yang kurang baik. Lantas apakah dengan kasus Sjamsul Nursalim ini dapat dikatakan GJTL melakukan praktik GCG yang kurang baik ? Untuk menjawab pertanyaan ini, sebenarnya tergantung bagaimana Anda melihatnya. Bila mengacu pada LK Audit GJTL tahun 2018, nama Sjamsul Nursalim memang tidak lagi tercantum dalam daftar kepemilikan langsung saham perusahaan.
Pemegang Saham GJTL per 2018. Source : Laporan Tahunan GJTL 2018
Meskipun nama Sjamsul Nursalim tidak lagi tercantum dalam pemegang saham GJTL, namun disinyalir Sjamsul masih memegang saham GJTL melalui Denham Pte Limited yang menjadi pemegang saham terbesar GJTL dengan total kepemilikan hampir mencapai 49.51% atau setara dengan Rp 1.18 triliun. Denham sendiri merupakan anak usaha dari Giti, yang merupakan pemain besar industri ban dan berkedudukan di Singapore.
Munculnya dugaan Sjamsul Nursalim memegang GJTL melalui Denham adalah berdasarkan informasi forum keadilan tanggal 20 Mei 2017. Saat itu GJTL milik Sjamsul Nursalim dilego, serta dipakai oleh Denham dan Lightspeed Resources Ltd Singapura yang berbasis di British Virgin Islands. Entah masih menjadi pengendali di GJTL atau tidak, namun yang jelas secara struktural Sjamsul Nursalim sudah tidak aktif dalam penentuan kebijakan strategis GJTL.
Tentunya hal ini berbeda jika dibandingkan dengan sejumlah kasus hukum lainnya yang melibatkan manajemen aktif secara langsung. Sebut saja kasus beras oplosan AISA (PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk) di tahun 2017 yang melibatkan manajemen yang masih aktif. Anda bisa membaca kembali bagaimana GCG AISA di bawah ini :
[Baca Lagi : Hampir 1 Tahun Disuspend, Apa Kabar AISA Saat ini ?]
Lalu, ada juga kasus hukum serupa yang juga menimpa bos besar BKSL (PT Sentul City Tbk) yakni Kwee Cahyadi Kumala yang ditahan oleh KPK saat masih aktif menjadi Presiden Direktur BKSL di tahun 2014. Kwee Cahyadi Kumala tersandung kasus dugaan suap rekomendasi tukar menukar kawasan hutan di Kabupaten Bogor, dan melibatkan Bupati non-aktif Kabupaten Bogor yakni Rahmat Yasin.
Bos BKSL Kwee Cahyadi Kumala saat memakai rompi tahanan KPK di September 2014. Source : tribunnews
Kasus serupa juga pernah menimpa APLN (Agung Podomoro Land Tbk), di mana saat itu Ariesman Widjaja yang masih aktif sebagai Presiden Direktur APLN ditahan oleh KPK di tahun 2016. Ariesman Widjaja ditahan KPK lantaran tersandung kasus suap reklamasi pantai Utara Jakarta, di mana Ariesman Widjaja diduga sengaja menyuap M. Sanusi untuk memuluskan tujuannya dalam proyek reklamasi. Suap diberikan agar M. Sanusi dapat membantu mempercepat pembahasan dan pengesahan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, sekaligus mengakomodir pasal-pasal sesuai keinginan Ariesman Widjaja.
Ariesman Widjaja bersama PA APLN Trinanda Prihantoro di PN Tipikor Jakarta Pusat. Source : detikcom
Sama hal nya dengan GJTL, harga saham BKSL dan APLN pun jatuh pasca munculnya berita bahwa Presiden DIrekturnya ditahan oleh KPK (harga saham BKSL sempat jeblok dari 200 ke 80 di 2014, dan harga saham APLN juga jeblok dari 300 an ke 200 an di 2016). Meskipun kasus hukum BKSL dan APLN berdampak terhadap harga sahamnya dalam jangka pendek, akan tetapi setelah beritanya mereda dan publik mulai lupa dengan kasus hukum tersebut, dengan sendirinya harga saham BKSL dan APLN kembali naik setelahnya.
Prospek GJTL Pasca Kasus Sjamsul Nursalim?
Okay Pak RK, lalu gimana prospek GJTL ke depan pasca kasus Sjamsul Nursalim resmi menjadi tersangka saat ini ? Well, mengingat berita ini bukan pertama kalinya muncul ke publik (ingat sebelumnya berita ini mengemuka ke publik di April 2018), rasanya dampaknya tidak akan sesignifikan di bulan April 2018 lalu. Apalagi bisa dikatakan market sudah priced-in ketika berita ini muncul di tahun lalu. Jadi sebenarnya, berita ini sudah tidak terlalu mengejutkan lagi bagi publik karena toh beritanya sebenarnya sudah lama, hanya baru-baru ini saja akhirnya ditangkap. Jadi kalaupun harga sahamnya akan terkoreksi dalam jangka pendek, seharusnya tidak sesignifikan di April 2018 lalu. Dan bukan hal yang tidak mungkin, harga saham GJTL justru akan kembali meningkat ke depannya dengan catatan GJTL dapat menampilkan kinerja yang baik ke depannya.
Tapi pak, kalau aset Sjamsul Nursalim disita KPK, apakah nanti aset nya di GJTL juga akan ikut disita? Well, kalaupun memang benar dugaan bahwa Sjamsul Nursalim masih menjadi pemegang saham pengendali di GJTL melalui Denham dan akhirnya disita oleh KPK, pastinya akan ada prosedurnya misalkan melalui proses lelang atau proses peralihan saham, bukan seperti membalikkan telapak tangan kemudian menjadi saham GJTL menjadi tak bertuan. Dan perlu diingat bahwa kepemilikan aset Sjamsul Nursalim ini bukan hanya di GJTL, melainkan juga di sejumlah perusahaan lain, seperti ADMG (PT Polychem Indonesia Tbk) dan juga MAPI (PT Mitra Adiperkasa) yang juga tidak kalah besarnya.
Selain itu, perlu diingat bahwa GJTL sendiri baru merestrukturisasi susunan direksi dan komisaris di tahun 2018 kemarin. Di mana saat ini Presiden Komisaris GJTL dipegang oleh Sutanto, yang pernah menjabat sebagai kepala BIN 2009 – 2011, Komisaris Utama PT Pertamina, Komisaris Utama PT Angkasa Pura II, Kepala Kepolisian RI, Kepala BNN, dan masih banyak lainnya lagi. Demikian pula Presiden Direktur GJTL saat ini dipegang oleh Sugeng Rahardjo, menggantikan Budhi Santoso Tanasaleh yang menjabat pada periode 2016 – 2018. Sugeng Rahardjo sendiri pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Tiongkok merangkap Mongolia, Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri, bahkan pernah memegang banyak jabatan penting di Departemen Luar Negeri. Dengan latar belakang seperti di atas, setidaknya Penulis cukup yakin bahwa GJTL berada di bawah kendali manajemen yang memiliki kompeten dan mampu menjunjung tinggi Good Corporate Governance.
Apakah Harga Saham GJTL Masih Bisa Bangkit?
Ini pertanyaan yang pastinya menjadi pertanyaan bagi banyak pihak. Well, tidak menutup kemungkinan meskipun market sudah priced in ketika berita Sjamsul Nursalim ini muncul di April 2018, harga saham GJTL tetap akan berfluktuasi dalam waktu dekat. Namun dalam jangka yang lebih Panjang, maka kembali fundamental perusahaan yang akan mempengaruhi harga sahamnya.
Penulis tidak akan membahas fundamental GJTL terlalu detail pada arikel kali ini, karena di tahun 2018 kemarin, Penulis sudah pernah mengulas kinerja fundamental GJTL yang bisa kembali Anda baca pada link di bawah ini :
[Baca lagi : Harga Saham Terdiskon Hampir 50%, Apakah GJTL Layak Disebut “Salah Harga” ?]
Demikian pula, Penulis juga pernah membahas potensi GJTL yang bisa diuntungkan dari Perang Dagang antara AS dan China. GJTL justru berpeluang untuk memperbesar pasar ekspor, khususnya Amerika Serikat yang berkontribusi sekitar 25% penjualan. Anda juga bisa membaca kembali artikelnya di bawah ini :
[Baca lagi : Perang Dagang AS – China Memasuki Babak Baru, Bagaimana Investor Harus Menyikapinya ?]
Namun yang jelas, di tahun 2019 ini GJTL baru saja membalikkan kerugian yang diderita sepanjang tahun 2018 lalu, menjadi keuntungan di awal 2019 ini (Turnaround Company). Per Q1 2019, GJTL kembali mencatatkan laba bersih sebesar Rp 168.9 miliar. Penjelasan lebih lengkap mengenai analisa kinerja fundamental GJTL yang terbaru dapat Anda pelajari lebih lanjut di dalam E-Book Quarter Outlook LK Q1 2019.
Kesimpulan
Kasus Sjamsul Nursalim kembali menjadi sentiment negatif bagi GJTL. Kasus ini sendiri sempat membuat harga saham GJTL terpuruk dari 900 an ke 600 an saat pertama kali muncul ke publik di April 2018. Namun karena market sudah priced in dengan berita ini di tahun 2018 lalu, maka pengaruh berita Sjamsul Nursalim yang baru-baru ini kembali mencuat tidak sesignifikan sebelumnya. Meskipun tidak menutup kemungkinan, berita ini akan tetap mempengaruhi harga saham GJTL dalam jangka pendek.
Di sisi lain, kasus Sjamsul Nursalim ini belum dapat dikategorikan mencederai praktik GCG GJTL, karena meskipun benar Sjamsul masih menjadi pemegang saham pengendali GJTL melalui Denham Pte Limited, namun Sjamsul tidak berperan aktif dalam keputusan strategis GJTL. Hal ini berbeda dengan sejumlah kasus hukum lain seperti kasus beras oplosan AISA di 2017 yang melibatkan manajemen aktif AISA, ataupun ketika Kwee Cahyadi Kumala ditangkap KPK saat masih aktif menjabat sebagai Presdir BKSL di 2014, dan Ariesman Widjaja yang juga ditangkap KPK saat masih aktif menjabat sebagai Presdir APLN di 2016.
Perlu diingat bahwa GJTL juga baru merestrukturisasi manajemen di tahun 2018 lalu, di mana Presiden Komisaris GJTL yang baru, Sutanto, dan juga Presiden Direktur GJTL yang baru, Sugeng Rahardjo, memiliki latar belakang yang diyakini akan membuat GJTL tetap menjalankan praktik GCG dengan baik.
Meskipun dalam jangka pendek kasus Sjamsul Nursalim yang ditangkap KPK ini mungkin saja akan tetap mempengaruhi pergerakan harga saham GJTL. Akan tetapi, jika GJTL mampu mempertahankan kinerjanya, bukan tidak mungkin harga saham GJTL akan kembali memasuki periode bullish. Mengingat di Q1 2019 sendiri, GJTL berhasil membalikkan kerugian yang diderita sepanjang 2018, menjadi keuntungan di Q1 2019 ini. Ditambah lagi dengan potensi untuk menumbuhkan pasar ekspor terutama ke AS, seiring dengan perang dagang antara AS dan China.
Disclaimer: Saat ini GJTL telah menjadi bagian dalam Portfolio Penulis di harga Rp 670 per lembar saham. Posisi ini dapat berubah setiap saat tanpa pemberitahuan sebelumnya.
###
Tags : Nasib GJTL Ke Depan | Nasib GJTL Ke Depan | Nasib GJTL Ke Depan | Nasib GJTL Ke Depan | Nasib GJTL Ke Depan | Nasib GJTL Ke Depan | Nasib GJTL Ke Depan | Nasib GJTL Ke Depan | Nasib GJTL Ke Depan | Nasib GJTL Ke Depan | Nasib GJTL Ke Depan | Nasib GJTL Ke Depan | Nasib GJTL Ke Depan | Nasib GJTL Ke Depan
GJTL diuntungkan dari trade war US China, dan GJTL terkena dampak negatif dari Sjamsul Nursalim.
tapi saya sendiri jadi optimis kalo saham GJTL akan meningkat, karena kasus Sjamsul Nursalim bakalan cepat tengelam ko