Terakhir diperbarui Pada 6 Mei 2020 at 5:55 pm
Setiap dari seorang investor saham pasti nya menginginkan satu hal dalam berinvestasi saham : PROFIT. Tak ada satupun dari seorang investor yang ingin menanggung loss. Masalahnya, kebanyakan investor memiliki kebiasaan yang menurut saya kurang tepat. Ketika sebuah saham uptrend, justru tangan gatel ingin cepat-cepat pencet tombol SELL untuk merealisasikan keuntungan. “Takut turun lagi soalnya Pak, sayang mending saya taking profit dulu”. Sudah profit berapa? “Lumayan 10%”. Kemudian ketika dicek fundamental nya, ternyata saham tersebut meskipun sudah terapresiasi 10%, harganya masih relatif muraahhhh.
Memang tidak ada yang salah dengan taking profit dan memang benar ada kemungkinan saham tadi akan terkoreksi dahulu dalam waktu dekat, katakanlah 5%. Namun dalam Value Investing, selama saham tadi fundamentalnya bagus dan valuasinya masih murah, dianjurkan untuk hold terus. Lalu kapan jualnya?? Bisa ada 4 kemungkinan :
- Ketika saham tersebut laporan keuangannya sudah tidak sebagus sebelumnya lagi
- Ketika saham tersebut sudah terlalu mahal valuasinya
- Kalau ada keperluan mendesak atau urgent sehingga harus menarik uang investasi
- Terjadi krisis ekonomi
Di luar dari 4 alasan tadi, yaa anda pegang terus saja. Toh Anda sudah menemukan saham yang bagus, di harga murah, kurang apa lagi?
Mungkin Anda sering membaca berita bahwa saham A target price nya adalah naik 10%, sehingga ketika tercapai 10% tadi, Anda langsung buru-buru jual saham Anda. Saya ingin membuka wawasan Anda lebih jauh. Apakah Anda tahu bahwa di 2016 kemarin, beberapa saham bisa terapresiasi sahamnya hingga ratusan persen? Berikut adalah 10 kenaikan saham terbesar sepanjang 2016 :
– NIKL : PT Pelat Timah Nusantara Tbk ( + 4,840%)
– INAF : PT Indofarma Tbk ( + 2,525%)
– BRPT : PT Barito Pacific Tbk ( + 1,011 %)
– DOID : PT Delta Dunia Makmur Tbk ( + 789%)
– SMBR : PT Semen Baturaja Tbk ( + 783%)
– PPRO : PT Properti Tbk ( + 551%)
– SSTM : PT Sunson Textile Manufacture Tbk ( + 534%)
– INDY : PT Indika Energy ( + 513%)
– TPIA : PT Chandra Asri Petrochemical ( + 488%)
– DEFI : PT Danasupra Erapacific ( + 443%)
Mau contoh yang lebih fenomenal lagi? Anda pasti tahu investor saham kawakan Indonesia yang saat ini memiliki kekayaan sekitar Rp 2.5 triliun dari investasi di saham. Bapak Lo Kheng Hong pada tahun 2005 membeli saham PT Multibreeder Adirama Indonesia Tbk (MBAI), perusahaan ternak ayam terbesar kedua di Indonesia seharga Rp 250. Bapak Lo Kheng Hong mendapatkan sekitar 6 juta saham MBAI atau sekitar 8,28 % dari total saham MBAI yang beredar di pasar. Setelah beliau simpan selama 6 tahun, harganya naik menjadi Rp 31.500 dan beliau menjualnya di 2011. Beliau memperoleh untung 12.500%.
Investor terbesar di dunia, Warren Buffett juga sama. Beliau seorang Value Investor sejati. Kepemilikannya di berbagai saham seperti American Express (sejak 1960-an), Wells Fargo (sejak 1989) serta Coca-Cola Company (sejak 1987) sudah dipegangnya sejak puluhan tahun yang lalu.
So, poin yang ingin saya sampaikan di sini adalah ketika Anda sudah yakin dengan saham yang Anda pilih, jangan terburu-buru untuk menjual. Apalagi jika Anda sudah cek fundamental perusahaan tersebut. Let the profit runs, begitu kira-kira istilah kerennya. Memang tidak mudah untuk menerapkan kedisiplinan ala Bapak Lo Kheng Hong dan Warren Buffett ini. Namun, tidak ada salahnya jika kita belajar menerapkan strategi kedua tokoh Value Investor terbesar di dunia ini.
###
Tags : Let The Profit Runs | Let The Profit Runs | Let The Profit Runs | Let The Profit Runs | Let The Profit Runs | Let The Profit Runs | Let The Profit Runs | Let The Profit Runs | Let The Profit Runs | Let The Profit Runs |