Terakhir diperbarui Pada 20 Mei 2020 at 9:03 am

Mewabahnya Covid-19 berdampak pada banyak sektor usaha. Salah satunya adalah kredit di sektor multifinance juga terdampak oleh wabah Covid-19. Hal ini disebabkan karena sejak diberlakukannya social distancing dan work from home, banyak masyarakat yang pendapatannya terganggu dan mengalami penurunan. Bahkan tidak sedikit yang dipecat dari pekerjaannya. Bersamaan dengan itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat hingga 31 Maret 2020. Terdapat permintaan permohonan restrukturisasi kredit, oleh 11.235 debitur dari 14 perusahaan multifinance. Nah, sejauh apa dampak dari restrukturisasi kredit ini terhadap industri multifinance?

 

Kronologis Rekstruktrisasi Kredit

Restrukturisasi kredit multifinance meningkat seiring merebaknya penyebaran Covid-19 di tanah air. Alhasil, banyak debitur yang pendapatan usahanya turun. Sehingga mereka kesulitan untuk membayar kredit ke multifinance. Dengan kondisi tersebut, sejumlah multifinance merestrukturisasi atau menawarkan keringanan kredit berupa penundaan pembayaran hingga memperpanjang tenor pinjaman.

Ada beberapa contoh perusahaan yang telah memberikan “keringanan” pembayaran kredit. Seperti contohnya PT Mandiri Tunas Finance (MTF), yang memberikan penundaan angsuran selama tiga sampai 12 bulan, bergantung verifikasi petugas di lapangan. Para debitur tersebut berasal dari berbagai sektor mulai dari pariwisata, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) seperti jasa transportasi online dan sektor lainnya. Profil kegiatan usaha nasabah ini diperlukan untuk verifikasi pengajuan relaksasi kredit mereka ke MTF.

Sumber : tribunnews.com

 

Contoh perusahaan berikutnya, PT BCA Finance yang juga memberikan penundaan pembayaran ke nasabah. Direktur Utama BCA Finance Roni Haslim menyebut, pihaknya telah menerima 15.000 pengajuan relaksasi kredit. Ada beberapa ketentuan pengajuan relaksasi ke BCA Finance seperti nilai pembiayaan di bawah Rp 10 miliar, pekerja di sektor informal atau UMKM, tidak memiliki tunggakan sebelum tanggal 2 Maret 2020. Dan kemudian nama pemegang unit kendaraan atau jaminan, sesuai dengan Perjanjian Pembiayaan Konsumen (PPK). Terakhir, unit kendaraan yang dijaminkan masih dikuasai debitur.

Ada juga beberapa perusahaan terbuka yang telah melakukan pelonggaran, seperti contohnya PT BFI Finance Tbk (BFIN) telah melakukan pelonggaran pembayaran kredit nasabahnya. Sejalan kebijakan pemerintah untuk merestrukturisasi kredit di tengah pandemi Covid-19. Mengacu pada POJK No.11/POJK.03/2020 mengenai stimulus perekonomian Nasional, adapun yang berhak untuk mendapatkan keringanan ialah debitur maupun Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang kesulitan dalam memenuhi kewajibannya. Hal itu disebabkan usaha maupun pekerjaan debitur terdampak oleh pandemi Covid-19.

 

Sumber : bisnisjasa.id

 

Tak mau ketinggalan, PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (ADMF) telah melakukan sejumlah restrukturisasi kredit kepada debiturnya akibat dampak wabah virus corona (Covid-19). Dirut ADMF mengatakan pihaknya telah menylesaikan proses restrukturisasi kredit bagi nasabah per 9 April 2020 kemarin, melayani total 6.417 customer yang terdampak Covid-19 dengan total kredit sebesar Rp 302 miliar.

Sebagai informasi, mekanisme restrukturisasi kredit bisa bermacam-macam bentuknya, mulai dari penurunan suku bunga, perpanjangan waktu, hingga pengurangan tunggakan pokok, pengurangan tunggakan bunga, penambahan fasilitas kredit, dan konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara. Pemberian jangka waktu pun bisa bervariasi, akan sesuai dengan kesepakatan antara debitur dengan bank maupun leasing. Bisa 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan, sampai maksimal 1 tahun. Itu semua diatur dalam POJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus perekonomian sebagai kebijakan Countercyclical.

 

Dampak dari Restrukturisasi

Di tengah pandemi virus corona atau Covid-19, perusahaan multifinance meminta pengertian dari perbankan atas keringanan pembiayaan (restrukturisasi kredit). Langkah ini sebagai dukungan kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menyelamatkan semua pihak dari dampak gempuran wabah Covid-19, baik nasabah sebagai debitur maupun perbankan dan multifinance sebagai kreditur. Dalam situasi sulit, kedua pihak harus sama-sama hidup. Seperti diketahui, struktur pendanaan perusahaan multifinance 80% berasal dari perbankan, 10% dari penerbitan surat utang (obligasi), dan sisanya dari lain-lain. Di mana, berdasarkan data OJK utang perusahaan multifinance ke perbankan mencapai Rp 314 triliun. Sedangkan untuk Rp 170 triliun diantaranya kredit dengan pola executing, Rp 50 triliun di joint financing dan sisanya di channeling.

Asosiasi Perusahaan Pembiyaan Indonesia (APPI) mengakui terbebani dengan adanya kebijakan restrukturisasi kredit dari pemerintah. Perusahaan multifinance berpotensi merugi hingga Rp 87.64 triliun, jika seluruh nasabah pembiayaan motor dan mobil mengajukan restrukturisasi di tengah penyebaran virus corona. Jika dirinci, potensi kerugian dari kredit pembiayaan mobil sebesar Rp 45.58 triliun dan sepeda motor Rp 42.06 triliun.

Industri multifinance di Indonesia saat ini terdapat 183 perusahaan, di mana piutang pembiayaan per Februari 2020 mencapai Rp 452 triliun. Sebagai informasi penjabaran dari Rp 452 triliun piutang pembiayaan tersebut, kurang lebih 70% adalah untuk pembiayaan mobil, yang senilai dengan Rp 316 triliun. Sementara 30% sisanya adalah untuk pembiayaan motor. Apabila pihaknya harus melakukan penundaan cicilan atau pembebasan bunga selama tiga bulan untuk mobil dan motor. Maka dampak total bunga yang harus ditanggung perusahaan pembiayaan sebesar Rp 5.2 triliun.

Kerugian ini timbul karena perusahaan harus menanggung lebih dulu atas pokok dan bunga utang yang seharusnya menjadi kewajiban debitur. Ia mencontohkan konsumen mendapatkan pembiayaan mobil dengan tenor 60 bulan dengan pokok utang Rp100 juta dan bunga efektif 18%.

Secara general, dampak dari restrukturisasi ke industri multifinance adalah sebagai berikut :

  1. Potensi meningkatnya non-performing financing (NPF)

Memang secara umum perusahaan yang memberikan restrukturisasi kredit memberikan “napas lebih” kepada para debitur untuk melunaskan utangnya. Tetapi, tetap saja, para debitur tetap merasakan penurunan penerimaan pendapatan dikarenakan pandemic Covid-19. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya risiko perusahaan multifinance untuk menghadapi risiko pendanaan yang tidak dibayarkan ke depannya.

Sebagai informasi, per bulan April 2020 lalu NPF perusahaan multifinance masih terjaga di kisaran 3%, di mana pada tahun lalu sempat berhasil di tekan di posisi 2.4%. Ke depannya, diekspektasikan NPF akan meningkat karena adanya potensi default yang akan dihadapi perusahaan multifinance.

 

  1. Kesehatan arus kas perusahaan akan terganggu

Bisnis yang dijalankan oleh perusahaaan multifinance adalah dengan menyalurkan kredit ke masyarakat, menerima bunga pembayaran, dan menyalurkannya lagi. Begitu seterusnya. Tetapi, karena adanya potensi keterlambatan bayar atau bahkan gagal bayar, hal ini akan mengganggu kesehatan arus kas perusahaan, yang menyebabkan melambatnya kinerja perusahaan dalam memberikan kredit ke depannya.

 

Emiten yang Terdampak

Terjadinya restrukturisasi kredit tidak hanya di perbankan, tetapi juga sampai ke multifinance akan menyebabkan pengaruh terhadap operasional perusahaan di industri multifinance. Hal ini dikarenakan bisnis dari perusahaan multifinance adalah untuk menyalurkan kredit kepada debitur dan menerima bunga pengembalian sebagai sumber pemasukan perusahaan.

Masalahnya dengan restrukturisasi adalah, meningkatnya potensi peminjam tadi tidak dapat untuk mengembalikan pinjaman. Yang di mana hal ini akan mengakibatkan nilai kinerja operasional perusahaan akan mengalami penurunan. Ada beberapa emiten yang termasuk ke dalam perusahaan multifinance di Indonesia, antara lain :

  1. PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (ADMF)

Di tengah wabah Covid-19, ADMF telah melakukan restrukturisasi mulai dari bulan Maret dengan jumlah restrukturisasi pinjaman 2.000 nasabah senilai Rp 80 miliar. Untuk menanggulangi masalah penurunan operasional perusahaan, ADMF sudah berencana menerbitkan obligasi senilai total Rp 10 triliun dalam waktu dua tahun kedepan.Dengan rincian Rp 9 triliun obligasi penawaran umum berkelanjutan (PUB),dan sisanya Rp 1 triliun berupa obligasi syariah atau sukuk.

 

  1. PT BFI Finance Indonesia Tbk (BFIN)

Berikutnya untuk BFIN, hingga 30 April tercatat pengajuan relaksasi kredit mencapai 30.000 debitur dengan nilai kontrak sekitar Rp 2 triliun. Namun, dari angka tersebut BFI Finance hanya menyetujui 12.000 debitur yang didominasi oleh produk pembiayaan kendaraan. Sebagai informasi, debitur yang bisa mendapatkan keringanan ialah yang tidak memiliki nilai pembiayaan kurang dari Rp 10 miliar, pekerja sektor informal, UMKM maupun yang terdampak corona.

 

  1. PT WOM Finance Tbk Tbk (WOMF)

Per pertengahan April 2020 kemarin, WOMF telah menerima program restrukturisasi tercatat sebanyak 2.334 debitur dengan total nilai pembiayaan sebesar Rp 42.8 miliar. Sebagai tambahan informasi, WOMF menutup sementara 40 kantor cabangnya. 40 kantor tersebut terdiri dari tiga KSKC di DKI Jakarta, lima KSKC di Banten, lima KSKC di Jawa Barat, sembilan KSKC di Jawa Tengah, dua KSKC di Yogyakarta, sembilan KSKC di Jawa Timur, dua KSKC masing-masing di Nusa Tenggara Barat, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan serta satu KSKC di Sumatera Utara.

 

Selain itu, sebenarnya masih ada dua emiten multifinance lagi yang tercatat di BEI. Di mana kedua emiten tersebut adalah PT Mandala Multifinance Tbk (MFIN) dan PT Clipan Finance Indonesia Tbk (CFIN). Tetapi kedua perusahaan ini tidak mendaftarkan diri untuk memberikan relaksasi kredit / restrukturisasi kredit ke OJK. Hasilnya, potensi pemberian kredit yang dilakukan CFIN dan MFIN dapat berisiko terkena default dibandingkan perusahaan yang memberikan restrukturisasi kredit.

 

 

Kesimpulan

Restrukturisasi kredit multifinance meningkat seiring merebaknya penyebaran Covid-19 di tanah air. Alhasil, banyak debitur yang pendapatan usahanya turun sehingga mereka kesulitan untuk membayar kredit ke multifinance. Dengan kondisi tersebut, sejumlah multifinance merestrukturisasi atau menawarkan keringanan kredit berupa penundaan pembayaran hingga memperpanjang tenor pinjaman. Sebagai informasi, mekanisme restrukturisasi kredit bisa bermacam-macam bentuknya, mulai dari penurunan suku bunga, perpanjangan waktu, hingga pengurangan tunggakan pokok, pengurangan tunggakan bunga, penambahan fasilitas kredit, dan konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.

Untuk sektor multifinance sendiri potensi kerugian yang dapat dihasilkan karena adanya restrukturisasi kredit ini adalah sebesar Rp 87,64 triliun jika seluruh nasabah pembiayaan motor dan mobil mengajukan restrukturisasi di tengah penyebaran virus corona. Jika dirinci, potensi kerugian dari kredit pembiayaan mobil sebesar Rp45,58 triliun dan sepeda motor Rp42,06 triliun.  Beberapa dampak dari restrukturisasi kredit di sektor multifinance adalah meningkatnya rasio NPF dan terganggunya arus kas perusahaan multifinance.

Beberapa emiten dalam sektor multifinance antara lain PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (ADMF), PT BFI Finance Indonesia Tbk (BFIN), PT WOM Finance Indonesia (WOMF), PT Mandala Multifinance Tbk (MFIN) dan PT Clipan Finance Indonesia Tbk (CFIN).

 

###

 

Disclaimer : Penyebutan nama saham (jika ada) tidak bermaksud untuk memberikan penilaian bagus buruk, atau pun rekomendasi jual beli atau tahan untuk saham tertentu. Tujuan pemberian contoh adalah untuk menunjukkan fakta yang menguatkan opini penulis.

 

Info:

 

Tags : Dampak Restrukturisasi Kredit | Dampak Restrukturisasi Kredit | Dampak Restrukturisasi Kredit | Dampak Restrukturisasi Kredit | Dampak Restrukturisasi Kredit | Dampak Restrukturisasi Kredit | Dampak Restrukturisasi Kredit | Dampak Restrukturisasi Kredit 

1
Pastikan rekan Investor tidak ketinggalan Informasi ter-update

Subscribe sekarang untuk mendapatkan update artikel terbaru setiap minggunya

reCaptcha v3
keyboard_arrow_leftPrevious
Nextkeyboard_arrow_right

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *