Tantangan bisnis ritel dewasa ini semakin menjadi sebuah tantangan berat, mengingat kencangnya arus persaingan dengan toko ritel lainnya. Apalagi dengan maraknya marketplace online yang beberapa tahun terakhir ini membooming di segala lapisan masyarakat. Kondisi tersebut menjadi salah satu penyebab dari tutupnya salah satu toko ritel yang sudah familiar di kalangan masyarakat, yakni Giant Supermarket yang dimiliki oleh HERO. Lantas mengapa HERO harus sampai menutup 6 gerai Giant ? Dan benarkah “bangkrut” melatarbelakangi penutupan gerai Giant ?
Daftar Isi
Sekilas Tentang Giant
Giant merupakan segmen usaha bisnis makanan induk usahanya yakni HERO. Giant sendiri beroperasi komersial terhitung sejak tahun 2002, dan terbagi menjadi Hypermarket dan Supermarket. Kemudian di tahun 2013, induk usahanya HERO melakukan perubahan identitas terhadap Giant menjadi Giant Ekstra dan Giant Ekspress.
Dalam operasionalnya, Giant Ekstra lebih menawarkan ketersediaan produk yang lengkap untuk kebutuhan bulanan dengan harga yang murah. Meliputi produk segar, aneka makanan laut, bahkan produk non-makanan mulai dari elektronik, peralatan rumah tangga, perkakas, hingga furniture, dan lain sebagainya. Sementara, Giant Ekspress menyediakan produk kebutuhan mingguan dengan harga yang juga murah. Seperti daging, makanan laut, aneka bahan makanan, produk rumah tangga segar dan juga barang umum.
Penutupan Toko Ritel Giant
Giant Supermarket akan menutup 6 toko nya secara serentak pada 28 Juni 2019 kemarin. Penutupan tersebut disinyalir lantaran persaingan bisnis ritel yang saat ini semakin berkembang pesat dan semakin ketat, belum lagi di tengah maraknya platform jual-beli online yang ada saat ini. Rencananya gerai Giant Supermarket ini akan segera menutup outletnya di Giant Express Cinere Mall, Giant Express Mampang, Giant Express Pondok Timur, Giant Extra Jatimakmur, Giant Extra Mitra 10 Cibubur, dan Giant Extra Wisma Asri. Terkait dengan kondisinya itu, akhirnya Giant memberikan cuci gudang dengan diskon besar-besaran untuk seluruh barang yang dijualnya mulai dari kisaran 5% hingga 50%. Hal itu yang kemudian membuat Giant akhirnya diserbu oleh masyarakat, yang memanfaatkan adanya harga miring yang diadakan oleh Giant. Sebagai gambaran kondisi salah satu toko ritel Giant pada saat cuci gudang berlangsung, seperti terlihat di gambar bawah ini :
Source : Kompasiana
Dan ternyata HERO melalui Giant tidak hanya mengadakan cuci gudang untuk segala macam produknya. Bahkan secara bersamaan, untuk karyawannya sendiri ada beberapa yang sebelumnya sudah ditawarkan untuk pensiun dini, dan yang dikenakan PHK juga sekaligus ditawarkan pesangon yang jumlahnya sesuai dengan masa kerja.
Kendati demikian, alasan penutupan ke 6 toko Giant tersebut nampaknya tidak diketahui semua masyarakat. Mengingat sebenarnya bisnis ritel yang dijalani oleh Hero Group tersebut, kini memang sedang mengalami kerugian hingga Rp 1.2 triliun per tahun 2018 kemarin. Di mana rugi bersih justru semakin besar, di tengah berbagai upaya yang dilakukan oleh HERO Group untuk menyelamatkan bisnisnya. Anda bisa membaca kembali artikelnya pada link di bawah ini :
Faktor yang Mempengaruhi Penutupan 6 Gerai Giant
Berkaitan dengan penutupan sejumlah toko ritel Giant, ada baiknya jika kita meninjau lebih jauh apa saja sih faktor yang mempengaruhi nya ? Jika dilihat dari sisi Giant, tindakan penutupan toko ritelnya lebih dikarenakan pada efisiensi agar perusahaan dapat bertahan dan tetap menghidupi bisnisnya. Salah satunya, juga tidak lepas dari pengaruh pemilihan lokasi yang dirasakan tidak tepat, sehingga di tengah perjalanan operasional harus ditutup dan direlokasi ke lokasi lain atau bisnis lain dengan pertimbangan yang lebih strategis dan dengan potensi pendapatan yang lebih baik daripada gerai saat ini.
Di sisi lain perlu kita ingat, bahwa bisnis ritel sendiri mendapatkan keuntungan dari volume penjualan. Namun jika ternyata kontribusi pendapatan sebuah gerai retail kecil dan justru membuat gerai tersebut merugi secara operasional, bukan hal yang tidak mungkin perusahaan ritel akan melakukan penutupan terhadap sejumlah gerainya yang dianggap tidak memberikan kontribusi secara signifikan. Apalagi saat ini terdapat pergeseran trend. Jika dulu masyarakat lebih menyukai supermarket yang largest size dengan luas 5.000 m2 ke atas, maka saat ini area yang lebih kecil dengan kisaran luas 2.000 – 2.500 m2 lebih populer.
Namun tidak bisa dipungkiri, selain alasan efisiensi, tutupnya beberapa gerai Giant karena secara tidak langsung Giant memang kalah kuat dalam bersaing. Apalagi belakangan ini dunia ritel sudah kebanjiran berbagai macam platform jual beli online yang berani menawarkan aneka ragam produk, yang juga tidak kalah dari produk yang disediakan oleh toko-toko offline. Kondisi tersebut justru mengubah kebiasaan belanja masyarakat yang tadinya mereka cenderung melakukan secara langsung dan tunai, kini mereka lebih memiliki belanja secara online. Perubahan itu membuat sebagian besar masyarakat merasa lebih nyaman karena bisa berbelanja dari rumah ataupun di mana saja, dan lebih memudahkan mereka dalam mendapatkan barang yang diinginkan tanpa harus pergi ke toko-toko ritel offline.
Bukan hanya sistem belanja online saja yang marak terjadi, namun satu decade belakangan ini minimarket sudah semakin masif dalam menjamah lingkungan kita. Dan minimarket ini tidak tanggung-tanggung menyediakan kebutuhan belanja secara lengkap. Sebut saja sebagai contohnya, ritel kecil yang sudah masuk ke lingkungan perumahan seperti Indomaret dan Alfamart.
Sementara jika kita mengambil sudut pandang dari sisi Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) yang melihat arah segmen pasar Giant yang bergerak di bisnis makanan. Maka kita akan melihat adanya perubahan dan pergeseran perilaku konsumen atau consumen behaviour dari yang mulanya sebagai shopper lifestyle saja, kini justru berbalik arah menjadi leisure lifestyle. Hal itu terjadi karena biasanya masyarakat memasak di rumah, sekarang ini cenderung bepergian untuk kuliner makanan di luar rumah sekaligus mencari hiburan sehingga mempengaruhi penurunan transaksi komoditas pangan, baik untuk makanan dan minuman.
Di samping itu, bisnis makanan yang dijalani HERO melalui Giant, juga dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang lesu jika harga barang berada diatas harga normal. Bila dibandingkan dengan toko-toko ritel kecil yang sudah lebih dekat dengan lingkungan masyarakat. Fakta ini sejalan dengan kejadian Giant yang memberikan cuci gudang, dengan potongan harga yang tidak seberapa namun mampu menarik minat masyarakat luas.
Kinerja Keuangan HERO Kuartal I-2019
Jika Giant menutup 6 toko ritelnya, lantas bagaimana sebenarnya dengan kinerja keuangan induk usahanya HERO ? Pada tahun 2018 kemarin, HERO menanggung kerugian hingga Rp 1.2 triliun per tahun 2018. Kerugian HERO tersebut harus terulang lagi pada Kuartal I-2019 kemarin, di mana meskipun HERO mencatatkan kenaikan tipis sekitar 0.32% dari Pendapatan Bersih Rp 3.04 triliun di periode yang sama tahun 2018, menjadi sebesar Rp 3.05 triliun per kuartal I-2019, namun secara keseluruhan, pada kuartal I-2019 ini HERO masih harus mengalami kerugian hingga Rp 3.5 miliar. Meskipun kerugian tersebut tidak sebesar dengan kerugian Rp 4.1 miliar di Kuartal I 2018 kemarin.
Pendapatan HERO. Source : Laporan Keuangan Kuartal I-2019
Secara kontribusi segmen usaha HERO, memang mempegaruhi kinerja operasional HERO secara menyeluruh. Lantaran kontribusi Pendapatan HERO Group ini hanya berasal dari segmen makanan dan non-makanan seperti di bawah ini :
Kontribusi Segmen Usaha HERO. Source : Laporan Keuangan Kuartal I-2019
Berdasarkan screenshot di atas, terlihat memang secara akumulasi segmen makanan berkontribusi besar hingga 76% terhadap total Pendapatan HERO dengan nilai sebesar Rp 2.34 triliun per Kuartal I-2019. Sementara segmen non-makanan hanya berkontribusi sekitar 23.5% terhadap total Pendapatan HERO yakni Rp 715 miliar per Kuartal I-2019. Maka jika dibandingkan, kenaikan dari segmen non-makanan tidaklah mampu menutupi penurunan segmen makanan sekitar -4.4%, yakni dari sebesar Rp 2.45 triliun di periode yang sama tahun 2018, turun menjadi Rp 2.34 triliun di Kuartal I-2019.
Bahkan, Laba Usaha segmen makanan harus mengalami kerugian hingga sebesar Rp 64.3 miliar per Kuartal I-2019. Beda halnya dengan segmen Laba usaha non-makanan yang sebaliknya mencatatkan keuntungan hingga sebesar Rp 79 miliar per Kuartal I-2019.
Prospek Usaha HERO
Setelah kita melihat faktor apa saja yang mempengaruhi penutupan sejumlah gerai ritel Giant saat ini, besar kemungkinan HERO akan mengubah arah bisnisnya. Di mana HERO tidak akan lagi memperbesar jaringan kontribusi dari segmen makanan, melainkan HERO akan lebih menggenjot segmen non-makanan.
Dalam artikel sebelumnya, Penulis sudah menyebutkan bahwa HERO memiliki rencana berinvestasi di segmen non-makanan khusunya di IKEA. Mulai dari meluncurkan platform online IKEA, dan saat ini sedang membangun gerai IKEA kedua di wilayah Jakarta Garden City Cakung – Jakarta Timur. Bahkan ke depannya HERO akan melebarkan sayap bisnis IKEA hingga ke luar Jabodetabek, seperti halnya berencana membangun IKEA di Kota Baru Parahyangan Bandung – Jawa Barat yang rencana keduanya akan dibuka pada akhir 2020 mendatang. Sehingga bukan hal yang tidak mungkin bila penutupan gerai Giant pada Juli 2019 ini, nantinya akan berpotensi diubah menjadi gerai IKEA.
Lantas, apakah HERO akan bangkrut, sejalan dengan tutupnya ke 6 gerai Giant ? Penutupan gerai Giant yang terjadi pada Juli 2019 kemarin, tidak selalu menandakan bahwa perusahaan ritel tersebut akan menuju kebangkrutan. Seperti yang sudah Penulis sebutkan di atas, bahwa penutupan gerai Giant adalah salah satu upaya induk usaha HERO agar bisa mempertahankan bisnisnya ditengah ketatnya persaingan pasar ritel belakangan ini.
Salah satu yang membuat Penulis cukup yakin bahwa HERO belum akan mengalami kebangkrutan, adalah karena setidaknya hingga saat ini, jumlah asset lancar HERO yang masih sebesar Rp 2.8 triliun masih jauh lebih besar ketimbang kewajiban jangka pendek yang sebesar Rp 1.9 triliun (Liquidity Ratio : 1.4x). Demikian pula dalam jangka Panjang, total liabilitas HERO yang sebesar Rp 2.1 triliun masih berada jauh di bawah ekuitas yang sebesar Rp 3.9 triliun (Debt to Equity Ratio : 0.54x)
Adapun jika kita bandingkan dengan kasus collapse nya sebuah perusahaan ritel lain seperti MDRN, nampaknya masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa HERO akan segera collapse. Adapun artikel tentang MDRN ini bisa Anda baca lagi di bawah ini :
[Baca lagi : Laba Bersih Tidak Menjamin Perusahaan Pasti Bagus, Ini Alasannya…]
Kesimpulan
Penutupan ke 6 gerai Giant yang dilakukan oleh HERO, tidak serta merta menjadikannya sebagai perusahaan yang akan menuju collapse. Namun lebih mengarah kepada persaingan bisnis ritel, khususnya dalam bisnis makanan yang sudah mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, dan mempengaruhi perubahan perilaku konsumen. Meski HERO melakukan penutupan pada sejumlah gerai Giant, namun ternyata HERO sendiri kini sedang mengembangkan bisnis lainnya yakni segmen non-makanan yang terdiri dari toko-toko kesehatan dan kecantikan GUARDIAN. Serta toko perabotan rumah tangga IKEA. Oleh karena itu, bisnis HERO Group saat ini masih terlalu dini untuk dikatakan collapse.
Namun juga bukan berarti karena harga saham HERO sudah terkoreksi dari 3000 an di 2014 menjadi 800 an di 2019 ini, membuatnya layak untuk diinvestasikan. Terutama karena selama beberapa tahun terakhir, HERO masih terus mencatatkan kerugian. Seperti yang Penulis sampaikan di atas, alangkah lebih baik kalau misalkan kita mencermati transformasi HERO yang berencana untuk memperbesar segmen non-makanan nya. Jika transformasi bisnis ini berhasil dan membawa perbaikan pada kinerja HERO, maka kita baru bisa pertimbangkan untuk berinvestasi di HERO dengan risiko yang lebih rendah, tentunya dengan melakukan Analisa yang lebih menyeluruh.
###
Tags : Benarkah HERO Mengalami Kebangkrutan | Benarkah HERO Mengalami Kebangkrutan | Benarkah HERO Mengalami Kebangkrutan | Benarkah HERO Mengalami Kebangkrutan | Benarkah HERO Mengalami Kebangkrutan | Benarkah HERO Mengalami Kebangkrutan | Benarkah HERO Mengalami Kebangkrutan